Lansia Bahagia dan Api Kecil di Balik Usia

Dikdik Sadikin

_(Bedah Buku Antologi Cerpen Lansia Bahagia, 12 September 2025)_


SAYA datang ke PDS HB Jassin Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat siang itu, dengan perasaan yang ganjil.


Sebagai seorang laki-laki yang telah melintasi usia 60, saya ingin menemukan semacam cermin—sebuah gema—dari mereka yang sebaya, terutama kaum pria, di forum yang membedah antologi cerpen Lansia Bahagia.


Namun kenyataan menampar dengan lembut: dari sekitar tiga puluh orang yang hadir, hanya ada tiga laki-laki—termasuk saya sendiri. Selebihnya adalah perempuan. Emak-emak dengan jilbab warna pastel, dengan tawa renyah, dengan tatapan yang masih menyimpan bara semangat.


Mereka duduk sebagai peserta, mereka bicara sebagai narasumber. Mereka, dengan penuh gairah, menenun cerita tentang hidup yang tak berhenti berdenyut sekalipun usia tak lagi muda.


Buku yang kami bedah bukan sembarangan. Kumpulan Kisah Inspiratif Lansia Bahagia terbit pada Agustus 2025, dihimpun oleh Pipiet Senja sebagai penyunting. Ada 15 penulis, 33 cerpen, sederet nama yang sudah akrab di dunia sastra: Pipiet Senja sendiri, Sastri Bakry, Canting Pujeng, Baby Juwono, Fanny J. Poyk, Gus Nas Munto Abi, Minarni, Nurul Jannah, Rita Andriyati, Rzal Pandiya, Munasri Handini, Sintalya Azis—dan ada pula “penggembira” seperti saya, yang menyumbang secuil kisah di antara nama-nama itu.


Di tengah forum, perdebatan pun lahir. Saat saya menyinggung soal “menari di ujung senja”, Sastri Bakry bilang tidak setuju. “Saya tidak punya pasangan untuk menari,” ujarnya penuh humor. Lalu ia menoleh ke forum: siapa di antara mereka yang sudah tidak lagi memiliki pasangan? Ternyata hampir separuh ruangan terangkat tangannya. 


Sebagian besar perempuan itu, para ibu yang datang sendiri, bahkan ada yang terbang jauh dari Singapura di usia lebih dari 70 tahun. Ada sepi yang terasa, tapi bukan sepi yang murung—melainkan sepi yang ditemani keberanian.


Dominasi perempuan, bagi saya, lebih dari sekadar data. Ia menyingkap satu wajah kenyataan: perempuanlah yang tampaknya lebih tangguh merawat ingatan, lebih tekun menyulam kreativitas, lebih sabar menjaga kebijaksanaan di hari tua.


Ketahanan hidup—yang sering kita artikan dalam istilah ekonomi atau politik—di forum ini berubah wujud menjadi daya lenting batin. Sesuatu yang tidak kasatmata, tapi terasa ketika seorang ibu membacakan puisi tentang kehilangan, atau ketika seorang nenek berbicara tentang cucu yang menjadi alasan ia berjuang tetap hidup dan terus menulis.


Saya, seorang pria di antara sedikit pria, merasa seperti tamu di rumah besar perempuan. Dan mungkin itu bukan hal yang buruk. Sebab dari mereka, saya belajar bahwa menua bukan berarti surut, melainkan menemukan cara lain untuk tetap hadir: lewat kata, lewat cerita, lewat kebijaksanaan yang lahir dari luka maupun cinta.


Bedah buku Lansia Bahagia itu pada akhirnya bukan hanya soal sastra. Ia adalah selebrasi tentang bagaimana perempuan menjaga kehidupan tetap hangat, bahkan ketika angka usia telah panjang. 


Dan di tengah forum yang mayoritas emak-emak itu, saya tahu: kebahagiaan di hari tua bukanlah hadiah, melainkan keberanian untuk tetap menyalakan api kecil kreativitas.■


_*Bogor, 14 September 2025*_

_Dikdik Sadikin_

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama