Cinta, Rindu dan Bahagia



Oleh: Nurul Jannah

Silaturahmi Bahagia di Depok

Hari itu Depok benar-benar menjadi saksi indahnya silaturahmi enam Srikandi NJD. Sejak pagi suasana sudah terasa berbeda. Markas Bu Maria Ulfa, sang ketua NJD, yang biasanya teduh, mendadak riuh oleh kedatangan kami dari berbagai penjuru.

Aku sendiri berangkat dari Bogor dengan semangat berlipat. Rasanya hati sudah berdebar keras sejak di jalan, membayangkan keseruan yang sebentar lagi menanti. 

Bu Fey menempuh perjalanan dari Ciputat dengan gayanya yang khas; penuh canda. Bu Shinta bahkan jauh-jauh datang dari Palembang, menembus jarak yang panjang demi sebuah temu kangen yang hangat. 

Sementara Bu Minarni meluncur dari Tangerang, dan Bu Munasri dari Tangsel. Semua tumpah ruah, numplek blek, berkumpul di rumah Bu Maria.

“Ini rumah apa gedung pertemuan ya? Ramai banget kayak hajatan!” celetuk bu Fey sambil tertawa. Yang disambut tawa riuh kami semua.

Dan memang, riuh suara kami sedemikian ramai; menggema sampai-sampai tetangga kiri-kanan bisa jadi bertanya-tanya, “Ada acara apa sih di rumah Bu Maria?”

Jamuan Cinta Emak-Emak NJD

Begitu masuk, meja makan sudah penuh sesak. Mata langsung berbinar, lidah tak sabar untuk segera mencicip. 

Hidangan pertama yang membuat semua histeris adalah tahu bakso keju super lezzato.

“Masya Allah, ini mah bisa bikin lidah joget, Bu!” seru Bu Munasri sambil mengambil lagi untuk ketiga kalinya.

Tak kalah heboh, macaroni schotel cinta buatan Bu Fey pun berhasil mencuri perhatian.

“Ini serius ya, lebih enak dari restoran bintang lima!” goda Bu Minarni sambil mengambil kembali potongan Makaroni. Tampaknya sudah memasuki potongan keempat.

Roti unyil Bogor pun ikut jadi korban comotan tanpa henti.

“Udah comotan ke-12 loh, masih pengin ambil lagi!” kata Bu Shinta sambil pura-pura protes, padahal tangannya diam-diam kembali meraih satu. Keripik tempe pun tak kalah heboh, hingga ada yang menyesal tidak sempat nyelipin ke tas buat oleh-oleh pulang.

Deretan sajian lain tak kalah meriah: mpek-mpek wong kito asli yang bikin Bu Shinta bernostalgia dengan kampung halaman, dimsum, surabi Solo;  apple pie dan siomay legendaris Bogor, hingga kombucha segar buatan Bu Minarni yang katanya bisa bikin awet muda. Pamungkasnya adalah gado-gado maknyus yang melengkapi kebahagiaan siang itu.

Obrolan pun ngalir deras. Ada yang cerita tentang cucunya yang baru bisa jalan, ada yang curhat tentang resep kue bantat, bahkan ada yang menirukan gaya khas suaminya saat rebutan remote TV. Tawa meledak, air mata keluar bukan karena sedih, tapi karena terlalu banyak tertawa.

“Awas, kalau terus ketawa begini bisa cepat keriput loh!” ujar Bu Fey sambil mengelus pipinya yang mulus.

Saking hebohnya, tetangga pun sempat mengintip. Ada yang menengok lewat jendela, mungkin dalam hati berkata, “Ini lagi arisan akbar atau pengajian ya? Ramai benar, seperti pasar malam!” Kami hanya bisa tersenyum mendengar dugaan-dugaan itu.

Mengunjungi Manini Pipiet Senja di IGD

Namun kebahagiaan itu bukan hanya soal makanan dan tawa. Puncaknya adalah ketika kami bersama-sama melangkah menuju RS UI Depok untuk menjenguk sang maestro kata; Manini Pipiet Senja tercinta. Hati kami penuh harap dan doa, semoga beliau sehat kembali.

Begitu masuk IGD, suasana berubah. Tapi siapa sangka, meski berbaring di ranjang pasien, Manini tetap tampil sumringah. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang sedikit pias. Namun mata nya tetap berbinar penuh semangat. “Eh, kalian datang kok malah diem aja, cerita dong! Jangan bikin IGD ini kayak kamar rawat biasa, bikin kayak forum diskusi para penulis saja sekalian!” katanya sambil bercanda. Dengan mengabaikan rasa sakit yang ada. Manini strong. Manini kuat.

Kami terharu, tapi juga bahagia mendengar celotehannya. Obrolan pun mengalir, saling sapa, saling melepas rindu. 

Sampai akhirnya seorang suster menegur dengan lembut, “Ibu-ibu, pasiennya sebaiknya istirahat, bukan melayani pengunjung macam hajatan.” Kami pun meringis malu, tapi di hati justru makin bangga dengan energi luar biasa Manini. Bahkan sakit pun tak mampu meredam semangatnya.

Kami tahu, sosoknya bukan hanya sebagai sahabat, tapi guru kehidupan yang mengajarkan arti kuat, tegar, dan tetap menebar semangat meski dalam keadaan sulit.

Saatnya Pulang Pun Tiba

Menjelang jam empat sore,  dengan berat hati kami pamit. Rasanya baru saja duduk, baru saja tertawa, baru saja menumpahkan semua cerita, tapi waktu sudah memanggil kami untuk kembali ke tempat masing-masing. 

Aku drive sendiri, kembali ke Bogor. Bu Fey bersiap menuju Ciputat. Bu Shinta merapat untuk bisa bertolak ke Jakarta, sebelum esok terbang kembali ke Palembang. Sementara Bu Minarni balik pulang ke Tangerang, semobil dengan Bu Munasri yang berdomisili di Tangerang Selatan.

Kami berpelukan hangat sebelum berpisah. Ada rasa enggan yang tertinggal, ada doa yang terucap tanpa suara. 

Hari itu terasa lengkap. Alhamdulillah, silaturahmi terjalin, hati terisi, dan semangat kembali menyala.

Sehat selalu, Manini kesayanga. Silaturahmi di Depok kali ini bukan hanya agenda ngumpul-ngumpul biasa; namun merupakan hadiah terindah dari Allah. Dan kami yakin, di pertemuan dan silaturahmi berikutnya akan ada kejutan baru, hidangan baru, dan bahagia yang lebih membahana lagi. 

Insya Allah.

Bogor, 17 Agustus 2025

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama