Jimmy Prambudi
Ini cerita di tanah jawa tengah bagian utara, tahun 1917. Kota Blora di pertengahan tahun itu, cuaca lagi panas-panasnya, seorang dokter muda dengan langkah bergegas menuju ke stasiun kereta api untuk menjemput zuster (perawat) baru yang akan membantunya di rumah sakit Zending di Blora.
Turun dari gerbong kereta, dokter muda itu melihat si zuster itu ternjata seorang nyonya Belanda jang berbadan kurus, bermuka pucat namun lemah lembut tutur katanja.
Perjumpaan pertama itu ternyata berkesan pada diri sang dokter muda, hingga ia menulis dalam buku hariannya, "Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam kesusahan."
Dan simpati itu berangsur berubah bentuk menjadi cinta asmara yang bersambut. Tak lama kemudian sejoli yang kasmaran itu bersepakat untuk mengikat janji pernikahan. Namun kendala datang dari kedua pihak.
Dokter muda itu bernama Soetomo, seorang dokter namun juga aktivis pergerakan yang penuh semangat, yang beberapa tahun sebelumnya, Mei 1908, bersama temannya Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, mendirikan organisasi Boedi Oetomo---organisasi pergerakan pertama di Indonesia.
Zuster itu bernama Everdina Broering, yang sedang berusaha menyembuhkan dukanya ditinggal mati suami, lalu diundang oleh oleh kakak perempuannya yang bersuamikan pejabat gubernemen di Jawa.
Demi mendengar niat Soetomo itu, teman-temannya menganggap tidaklah pantas bagi tokoh pergerakan untuk menikahi seorang wanita Belanda.
Sementara itu di pihak Everdina, juga tidak bisa menerima lelaki bumiputra menjadi bagian dari keluarganya. Saat itu orang-orang Belanda belum dapat menyetujui adanya pernikahan semacam itu, kaum kolonial memandang rendah rakyat jajahannya.
Namun cinta telah mengalahkan segala rintangan, keduanya tetap bersiteguh melangsungkan pernikahan.
Setahun setelah nikah pasangan itu harus pindah kota, Soetomo ditugaskan ke Baturaja. Ternyata wanita Belanda itu mampu berperan sebagai istri yang pas bagi orang jawa yang juga suka berorganisasi seperti Soetomo. Jadi istri dokter yang bergaji sangat kecil di desa terpencil, toh Everdina tanpa keluhan bisa menyesuikan diri dengan kondisi yang sulit itu.
"Sebagai istri, dia begitu setia, sederhana dan penuh tanggung jawab mengurus semua kebutuhanku,” kenang Soetomo.
Tak terlalu lama, tahun 1919 Soetomo mendapat bea siswa untuk memperdalam ilmu kedokteran ke negri Belanda. Tinggal di Amsterdam inilah kesempatan bagi Soetomo untuk bertemu dan mengenal keluarga Broering.
Hidup di Belanda tak juga membuat pasangan ini hidup enak. Berbekal bea siswa yang minim itu Everdina tenggelam dalam kerja rumah tangga, mendampingi sang suami yang tekun menempuh studi namun juga giat dalam organisasi. Sering kesempatan Soetomo menerima tamu para mahasiswa Indonesia, berdiskusi di rumahnya yang sempit. Adalah Everdina yang menyiapkan minum dan makanan seadanya.
Jika perdebatan berlangsung sengit, Soetomo yang keras menyatakan pendapatnya tentang suatu hal, kehadiran Everdina yang lembut kembali menyejukkan suasana.
Kendati tak juga punya anak Everdina tetap menjalani hidupnya dengan bahagia.
Empat tahun berlalu, usai menyelesaikan studinya, Soetomo kembali ke Jawa, 1923.
Saat kapalnya merapat, waktu senja di Surabaya...memandang bianglala memerah di ufuk Barat menjadi kenangan tersendiri bagi Everdina. Sesampainya di Jawa Soetomo diangkat menjadi dosen di sekolah dokter Surabaya, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School).
Ketokohannya sebagai orang pergerakan telah menjulang, luas di Jawa, ini didukung kepandainnya menulis dan berpidato.
Seperti biasa sebagai istri orang pergerakan, Everdina selalu rajin melayani para tetamu suaminya yang sering rapat di rumahnya di jalan Simpang Dukuh No.12, Surabaya.
Semakin jarang ada kesempatan bagi sejoli itu untuk bisa menikmati senja di Surabaya tanpa direcoki para tamu sang dokter aktivis itu.
Namun udara panas Surabaja tampaknya tidak ramah bagi Everdina, kesehatannya pun sering terganggu. Untuk merawat kesehatan istrinya Soetomo membuat villa sederhana di desa Celaket di lereng gunung Penanggungan, Malang.
Bagi Everdina tetirah di daerah pegunungan memang membuat badannya sedikit segar, tetapi hatinja tidak merasa senang, karena terpisah dari suaminja...suasana senja di Surabaya semakin jauh terasa...susana kesepian bertalu-talu dalam hati
Soetomo ditengah kesibukannya, dua minggu sekali mengunjungi istrinya.
Memang kesehatan Everdina tidak juga membaik. Hingga pada suatu pagi hari saat Soetomo datang menjenguk, kondisi Everdina sudah sedemikian lemahnya. Dipangkuan suaminya ia melepas nyawanya, jam 9 pagi, 19 Februari 1934.
Soetomo dengan kesedihan berlarat-larat membawa jazadnya istrinya untuk di kubur di makam bagi warga Belanda di Kembang Kuning, Surabaya.
Banyak pelayat yang hadir menghantar di pemakaman itu. Konon para pelayat tersentuh hatinya demi mendengar ucapan pelepasan oleh Soetomo, "Isteri saya seorang yang cinta kepada bangsanya. Oleh karena itu ia mengerti akan kewadjiban saya terhadap bangsa saya. Dia selalu mendorong, agar saya membuktikan cinta saya kepada bangsa saya....
_
Isteriku, kini kau telah meninggalkan daku. Sungguh banyak pengorbananmu. Baiklah, keinginanmu akan kuturutkan. Akan kuteruskan perdjalananku menuntut kemerdekaan, kebenaran dan keadilan guna menghormati dirimu juga."
Sepeninggal Everdina, Soetomo terus melanjutkan kiprahnya di pergerakan.
Empat tahun kemudian, pada 29 Mei 1938, Soetomo wafat di usia 50 tahun, dimakamkan di Makam Bubutan, Surabaya.
Kini setiap kita memeringati Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei, nama dokter Soetomo selalu dikenang.
(Penyaji Pipiet Senja)
Posting Komentar