Kritik Sosial Dalam Jeritan Ibu Pertiwi

Kritik Sosial dalam Jeritan Ibu Pertiwi 

Oleh: Rizal Tanjung 

Puisi “Inilah Negeri Para Bedebah” karya Pipiet Senja merupakan potret getir tentang kondisi sosial-politik di Indonesia yang sarat akan kritik terhadap ketidakadilan, korupsi, dan pengkhianatan terhadap bangsa. 

Pipiet Senja, seorang sastrawan senior yang dikenal dengan karya-karya bernada humanis dan perjuangan, kembali mengukir keresahan rakyat dalam bait-bait puisi yang penuh amarah sekaligus harapan. 

Puisi ini tidak hanya sekadar rangkaian kata indah, tetapi merupakan teriakan lantang bagi mereka yang tak lagi mampu bersuara.

Interpretasi dan Makna

Judul puisi “Inilah Negeri Para Bedebah” langsung menohok pembaca dengan bahasa yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Kata bedebah yang berarti manusia hina menjadi simbol bagi para penguasa dan elit yang mengkhianati amanat rakyat. Bait-bait pembuka memperlihatkan ironi kehidupan, di mana seorang kemeja kumal yang melambangkan kaum miskin harus terjebak dalam kotoran gorong-gorong, sementara mereka yang di atas justru berpesta di atas penderitaan rakyat.

“awan hitam bergulung di atas kepala

bagai parade menyambut iblis dari dasar neraka”

Gambaran ini mempertegas betapa gelapnya nasib bangsa ketika korupsi dan ketidakadilan terus merajalela. Metafora iblis dari dasar neraka menyiratkan hadirnya kekuatan jahat yang menghancurkan tatanan sosial.

Kritik Sosial terhadap Oligarki dan Pengkhianat Bangsa

Puisi ini tidak hanya menyoroti kemiskinan, tetapi juga membidik langsung para oligarki—kaum kaya yang bersekongkol dengan penguasa demi merampas kekayaan negeri.

“gelombang kong guan telah tiba

bersama pasukan oligarki

terang benderang hendak ambil alih segala yang ada”

Istilah kong guan yang identik dengan biskuit kemasan merek terkenal menjadi simbol kekuatan asing yang secara terang-terangan hendak menguasai sumber daya alam dan aset bangsa. 

Pipiet Senja secara cerdas menggunakan simbol ini untuk menyindir praktik kolonialisme modern yang bersembunyi di balik investasi dan kerja sama bilateral.

Kehadiran para pemburu liar di pelosok pantai melambangkan penggusuran, penyerobotan tanah, dan eksploitasi alam oleh segelintir orang demi keuntungan pribadi. Sementara rakyat jelata hanya menjadi penonton tak berdaya.

Seruan Kebangkitan Rakyat

Di tengah atmosfer yang muram, puisi ini tidak hanya berisi ratapan. Ada gelora perlawanan yang dibangun dengan semangat membakar. Bait:

 “bangkit, bangkit, bangkitlah

wahai anak-anak bangsaku

jangan biarkan Ibu Pertiwi menangis"

Menjadi ajakan heroik kepada generasi muda untuk melawan ketidakadilan. Pipiet Senja menegaskan bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam melihat kezaliman merajalela. Seruan “Gantung di Pengadilan Rakyat tanpa ampun” memperlihatkan keberanian penyair dalam menuntut keadilan tanpa kompromi.

Gaya Bahasa dan Simbolisme

Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini sangat kuat, lugas, dan penuh metafora. Penggunaan simbol-simbol seperti gorong-gorong, awan hitam, dan kong guan memperkaya makna puisi sekaligus memperkuat kritik sosial yang disampaikan.

Selain itu, repetisi kata “Inilah negeri para bedebah” yang diulang di beberapa bait memberikan efek dramatik sekaligus mempertegas kemarahan penyair.

Relevansi dengan Kondisi Sosial Saat Ini

Puisi ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana korupsi, penggusuran, dan oligarki masih menjadi isu sentral. 

Pipiet Senja seolah menjadi suara rakyat kecil yang kehilangan harapan karena ulah segelintir elite serakah.

Kegelisahan yang dituangkan dalam puisi ini tidak hanya berlaku bagi Indonesia, tetapi juga menjadi potret universal tentang ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia.

“Inilah Negeri Para Bedebah” adalah jeritan lantang dari Pipiet Senja yang merepresentasikan suara rakyat yang tertindas. Puisi ini tidak hanya menjadi bentuk protes, tetapi juga panggilan untuk bangkit melawan ketidakadilan. Dengan bahasa yang tajam, simbol-simbol kuat, dan semangat perjuangan, puisi ini mengingatkan bahwa di tengah gelapnya kezaliman, selalu ada harapan bagi mereka yang berani melawan.

Pipiet Senja membuktikan bahwa sastra tidak hanya sebatas estetika, tetapi juga senjata bagi perubahan. Puisi ini adalah cambuk bagi para penguasa dan pengkhianat bangsa, sekaligus pengobar semangat bagi rakyat untuk merebut kembali hak-hak mereka.

Merdeka!

2025


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama