Karya: Rizal Tanjung
Aku berkisar antara mereka
yang telah hilang semangat dan tenaga,
menyusun hidup dari remah-remah kata
dalam negeri yang makin terbiasa menerima luka.
Di jalanan, orang-orang berbaris rapi
mengejar mimpi dengan mata tertutup,
berharap esok lebih baik dari hari ini
padahal kenyataan tak pernah berubah wujud.
Ini zaman memburu mimpi
dengan perut lapar dan kantong yang sunyi,
di mana sukses diukur dari followers
dan kebodohan diberi panggung untuk berseri.
Mereka berkata dunia makin canggih,
tapi aku hanya melihat orang-orang makin gigih
menyembunyikan lapar di balik senyum manis,
menjual prinsip demi receh yang makin tipis.
Aku menulis dengan tinta bara
di atas kertas malam yang terus membara,
menghitung janji-janji yang tak pernah tiba
dari pemimpin yang pandai bersilat kata.
Biarlah kata-kata jadi nyawa,
di negeri yang makin lelah berharap pada doa.
Di mana kejujuran dijual murah
dan kebenaran hanya jadi bahan tertawaan di meja-meja megah.
Layar-layar kaca menyiarkan kebohongan,
dengan wajah-wajah ramah penuh senyuman,
seolah semua baik-baik saja
padahal rakyat sibuk menimbang harga makan siang atau bayar listrik di rumah.
Aku menulis dengan api di dada,
melawan gelap yang makin menyekap,
sebab diam adalah mati
dan aku tak mau mati sebelum berteriak sampai habis.
Biar luka menggurat dada,
biar lapar memeluk kepala,
aku tetap menyala
sebab hidup cuma sekali,
dan mati bukan pilihan sebelum semua ini terbakar menjadi puisi.
2025.
Posting Komentar