Nukilan Cinta Dalam Sujudku





Pipiet Senja 

Gunung Puyuh, sebuah pemakaman umum yang terkenal di Sumedang. Cahaya mentari mulai merangkak pada siang yang cerah itu, ketika gadis berjilbab lebar menuruni undakan tangga keluar kawasan pemakaman.

Seorang perempuan tua menyapanya dengan santun. Gadis itu bercakap-cakap sebentar, menitipkan kebersihan makam bunda tercinta. Kemudian memberikan beberapa lembar uang kepada perempuan sederhana itu.

“Insya Allah, Bibi akan melaksanakan amanah Neng,” katanya melepas kepergian gadis itu.

Ketika melintasi makam Tjut Nyak Dhien, gadis itu menyempatkan diri untuk berdoa. Ia memejamkan matanya, mengenang perjuangan Pahlawan asal Aceh, yang pernah dilihatnya dari film. Dibacanya juga dari buku sejarah. Seketika bagaikan ada aliran semangat yang menyeruak kisi-kisi kalbunya.

Beberapa detik iamerasakan sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ya, semangat itu sungguh ada, gumamnya saat mengakhiri doanya. Tanpa disadarinya ada butiran bening menitik dari sudut-sudut matanya.

“Terima kasih, Ummi. Terima kasih, Tjut Nyak Dhien, Pahlawan bangsaku. Ya, aku tidak akan menyerah. Aku akan berjuang hingga detak jantungku berhenti,” tekadnya dalam hati.

Syifa melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak menuju jalan raya. Ia menanti angkutan kota beberapa saat.

Ia tak tahu kalau gerak-geriknya sejak tadi ada yang memperhatikan. Si tatto kalajengking dari atas Harley-nya, kali ini membonceng seorang gadis berpenampilan seronok. Jins ketat, jaket kulit hitam dan sepatu sebatas lutut. Riasan di wajahnya sungguh menor.

“Alun-alun! Alun-alun!” teriak kernet.

Ketika Syifa akan menaiki angkot, serombongan anak SD menyerbu dan berebutan mendahuluinya. Syifa mengalah, membiarkan anak-anak itu menyesaki angkot. Beberapa saat ia kembali menanti angkot yang lewat. Ketika angkot datang, lagi-lagi rombongan anak SD menyerbunya, hingga Syifa mengalah kembali.

Beberapa saat  gadis itu masih menanti angkot lain. Ada delman melintas, entah mengapa akhirnya ia memutuskan untuk menaikinya.

“Pagelaran, ya Mang?”

”Mangga, Neng, enggal calik,” sambut Mang Delman tersenyum ramah.

Delman pun membelah jantung kota Sumedang. Detak langkah kuda terdengar berketipak-ketipak disertai suara klenengan yang khas. Syifa duduk sambil menunduk. Pikirannya masih melayang ke masalah anak-anak yang harus meninggalkan Az-Zahra.

Seketika ia teringat kepada sahabatnya, rekan-rekan seperjuangan semasa kuliah di Bandung. Mereka pernah menyemangatinya saat menghadapi musibah, ditinggal Umi secara rtagis. Mereka ikut mengevakuasi anak-anak ke tempat baru, pemberian Fathur.

Mungkin ada baiknya aku mengetuk hati mereka, gumamnya membatin. Mardo dan Ajeng, masihkah di tanah Batak? Surat mereka yang terakhir sekitar enam bulan lalu. Ketiga anak angkat mereka yang dibawa dari Az-Zahra dua tahun yang lalu; Euis polio, Titi tuli, dan Ninis terbelakang mental.

Mereka mengabarkan kesehatan Ninis semakin memburuk. Mereka sudah membawanya berobat ke mana-mana. Namun kemudian, mereka harus merelakan kepergian Ninis, menghadap Sang Khalik.

“Mungkin demikian yang terbaik untuk anak malang itu,” ujar Ajeng terisak-isak di telepon. “Kami mohon pengertianmu, jangan salahkan kami, mohon ampuni kelalaian kami, maafkan…”

“Astaghfirullahal azhim, jangan berkata begitu, Ajeng. Tak ada yang menyalahkan kalian. Ini sudah kehendak-Nya, insya Allah, pintu surga telah menanti Ninis,” hiburnya kala itu.

Syifa tentu saja memahami kesulitan pasangan itu dalam membesarkan ketiga anak cacat. Apakah karena itu pula mereka kemudian memutuskan, lebih memusatkan perhatian kepada Euis dan Titi? Tidak terpikir untuk mempunyai keturunan sendiri? Betapa kangen Syifa bertemu mereka, pasangan berhati luhur.

Kenangan Syifa beralih kepada sahabatnya, seorang putra Papua. Suebu Bowa alias Ahmad Suaib, apa sudah kembali dari Jerman dan pulang ke Papua? Ataukah ia masih melanjutkan pendidikannya di mancanegara? Betapa kangen kisah jihad anak Papua itu, di mana pun berada.

Syifa pernah mengira, Suebu Bowa akan memperistri Maria. Keduanya sama-sama menjadi anak angkat Hajjah Lutfiah, Dai kondang Ibukota, sejak mereka memeluk Islam.

Mereka mempunyai kultur dan latar belakang sosial bak bumi dengan langit. Maria dari keluarga konglomerat, putri ketua umum parpol, tapi sudah lama dikucilkan dari keluarga besarnya. Tak dinyana bila di kemudian hari baru diketahui bahwa ia saudara seayah dengan Fathur.

Di mata Syifa di antara para sahabatnya, Marialah yang mempunyai lakon paling mengenaskan. Anak korban ayah-ibunya yang tak bertanggung jawab. Dia harus berjuang keras untuk meraih jatidirinya, kekuatannya dalam menghadapi kenyataan hidupnya.

Suebu Bowa asli Papua, dialah sahabatnya yang paling bersahaja dan santun. Sejak hijrah memeluk Islam, hidupnya hampir mengikuti tapak para sufi. Putra seorang perempuan sederhana yang mendambakan sang anak menjadi Pastor. Semoga dia punya kekuatan untuk menghadapi ibunya, doa Syifa.

Henry Zamora, terakhir ia melihatnya dalam berita televisi bersama tim pengacara ad-hoc, membela kepentingan keluarga mantan Presiden.

Dahlia Damanik, namanya semakin berkibar dan sering disebut sebagai aktivis LSM, pembela warga miskin Jakarta. Seingatnya, antara Dahlia dengan Henry pun pernah terjalin sesuatu, entahlah.

Tinneke dan Danang, akhirnya mereka menikah juga. Kini pasangan itu bermukim di Holland. Beberapa kali mereka mentransfer dana untuk Az-Zahra. Tinneke telah menjadi seorang perancang busana. Danang guru besar di universitas setempat. Mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki.

“Kami berjalan sesuai keyakinan masing-masing, Fa,” ujar Tinneke suatu kali melalui telepon.

“Bagaimana dengan anak kalian?” Syifa ingin tahu.

Tinneke tertawa lepas. “Jangan khawatir, dia masih terlalu kecil untuk memahami apa itu sebuah keyakinan.”

Agaknya Danang belum berhasil menarik istrinya untuk hijrah. Justru ia mengikuti keluarga besar Tinneke di Holland. Ada kecewa yang menyelip di hati Syifa. Namun, mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa berdoa, agar Allah Swt suatu saat membasuh kalbu Tinneke dengan hidayah-Nya.

Maria, di mana kamu sekarang? Masihkah di Labuan, Banten? Terakhir kubaca juga berita tentang musibah yang menimpamu. Kubaca berita tentang kesembuhan dan rehabilitasi namamu. Maafkan, aku hanya bisa mendoakanmu dari kejauhan. Tak bisa menengokmu, doanya pula dalam hati.

Sekilas ia pun terkenang akan kebaikan Fathur, menghibahkan rumah dan tanahnya untuk Az-Zahra yang kini mereka tempati. Syifa tak pernah mengerti, tiga tahun berjalan begitu saja. Tanpa kabar berita, baik melalui surat atau pun telepon.

Bersambung 

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama