Lima Puluh Tahun Silam: Menyaksi Malari





Pipiet Senja 

Anno, 1974

Aku masih rajin pergi ke sekolah. Hingga 15 Januari, suatu hari yang lebih dikenal sebagai peristiwa Malari 1974 itu terjadi.

Kami tengah asyik menyimak pelajaran sejarah dunia, ketika seorang siswa terlambat datang melaporkan pengalamannya.

“Ada kerusuhan di Senen! Massa menjarah, membakar, pendeknya kerusuhan besar!” lapornya tersengal-sengal.

“Apa yang terjadi?”

“Mahasiswa mulanya turun ke jalan. Mendemo kedatangan PM Tanaka. Massa kemudian bergerak tak terkendali…”

Guru kemudian membubarkan kami. Seorang tentara mendatangi kelasku, ternyata suruhan Bapak untuk menjemputku.

Beberapa teman ikut bersamaku berlindung di kantor Bapak. Oya, sekolah karyawanku ini sebelah kantor Bapak, Koldam Jaya.

“Bapak ke mana?” tanyaku cemas.

“Mencari putrinya ke SAA Gunung Sahari. Aku dipesan menjagamu di sini. Jangan ke mana-mana sampai Bapak kembali,” kata prajurit itu.

Ada sepuluh orang bersamaku dalam ruangan di lantai dua itu. Kami menunggu perkembangan situasi dengan perasaan cemas. 

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara hikuk-pikuk. Kami melongok melalui jendela.

Di bawah kami, massa bergerak, meneriakkan yel-yel anti Jepang. 

Aparat menggiring mereka ke arah lapangan Banteng. Selain berdoa, aku cuma bisa menitikkan air mata.

Aku teringat Mak dan adik-adik di rumah. Mereka pun tentu menghawatirkan kami. Menit demi menit, jam demi jam bergerak sangat lamban. 

Satu per satu teman-temanku mulai turun. Mereka memilih bergabung dengan massa daripada tetap menunggu di dalam ruangan nyaman.

Mereka pemuda dan pemudi yang sehat dan segar bugar. Tentu lebih suka berpetualangan, merasakan nuansa baru daripada diam tak berkutik.

Aku menundukkan kepala dan memandangi ke bawah, ke arah kaki-kakiku yang mulai membengkak.

Beginilah si Drakuli, ini sebutan dari adikku En. Sedikit capek pucat, sedikit bergerak saja sudah bengkak, uuugh! 

Entah bagaimana pula tampangku saat ini. Mungkin seperti mayat hidup.

Sekitar pukul delapan prajurit itu menghampiriku. “Bapak bilang, dia sudah ketemu putrinya, nanti akan pulang menyusul. Sekarang mereka masih terjebak di kawasan Thamrin.”

“Naik apa?” tanyaku khawatir sekali.

“Naik jip perang, mari Dik, berangkat!” sahutnya sambil menggiringku ke parkiran.

Benar saja, sebuah jip loreng sudah menanti dengan dua orang rekannya. Aku naik di jok belakang, duduk mengkerut tak ubahnya anak kucing yang tak berdaya.

Sepanjang jalan Kramat hingga Matraman ternyata aparat telah memblokirnya. 

Ada banyak kendaraan yang dibakar massa. Tank-tank berlapis baja dikerahkan berikut para prajurit. Mereka seperti siap tempur saja. 

Ah, siapa yang akan diperangi? Sesama anak bangsakah?

Kepalaku sungguh mumet memikirkannya, tak paham apa yang sesungguhnya sedang bergejolak di masyarakat Indonesia saat itu. 

Belakangan dari pemberitaan di koran, radio dan televisi, aku pun mengetahui beberapa hal.

Konon, mahasiswa sudah muak denagn penjajahan ekonomi oleh Jepang. Mahasiswa juga tidak setuju dengan proyek-proyek mercusuar pemerintah. 

Seperti pembangunan TMII yang dituding sebagai proyek pribadi Tien Soeharto.

Dari peristiwa Malari muncul tokoh-tokoh pergerakan, seperti Hariman Siregar dan Profesor Ismail Sunny. Mereka langsung dijebloskan ke penjara oleh Pemerintah Orde Baru. 

Apa pun itu aku, aku cuma bisa menyimaknya.

Ada seorang teman dekat adikku En, ketua HMI, kita sebut saja Har. Dari dialah aku banyak mengetahui aktivitas kampus dengan mahasiswanya. Kampus, mahasiswa, ahaaa!

Sesuatu yang sangat abstrak bagi duniaku. Sejak menyadari kesehatanku tidak normal, aku mulai memupus mimpi-mimpi besarku. 

Yap, aku merasa takkan petnah bisa menyentuh dunia kampus.

Selarik asa, segaris mimpi, hanya bisa dirajut dan direnda oleh jari-jari si Drakuli ini. 

Satu kesadaran tumbuh dalam diriku kala itu. Agaknya aku harus mencoba untuk tetap bertahan dan berjuang. Itu saja!

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama