Menoreh Janji di Tanah Suci



Pipiet Senja 

Anno, 2006

Ya Allah, kota ini adalah tanah haram-Mu dan tempat ini adalah tempat aman-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali hamba-Mu, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu.

Kepala Suku memberi tahu bahwa kami boleh transit dulu di Hotel Intercontinental, makan dan menyegarkan diri, sebelum memasuki Masjidil Haram untuk tawaf umrah. Barang-barang telah dikirim ke kamar masing-masing di Hotel Hilton.

Meskipun lelah luar biasa, ternyata daya magis Masjidil Haram sangat mempengaruhi jiwa semua jamaah. Terbukti semuanya ingin bersegera memasuki Masjidil Haram.

Hanya beberapa menit saja untuk makan dan membersihkan diri, kami segera berkumpul di pelataran Intercontinental yang dibentangi karpet panjang, dan bisa langsung menuju Rumah Allah itu.

Sambil menanti semua jamaah siap, kukenang kembali saat umrah, aku pernah mengenal seorang petugas kebersihan yang berasal dari Cililin di Masjidil Haram.

Karena sering bersua dan berbincang-bincang layaknya antar keluarga, kami jadi mengenal sedikit banyak keadaan masing-masing.

Aku sampai mengucap janji, musim haji nanti aku akan kembali, mau oleh-oleh Cililinkah?

Anak muda yang mengingatkanku kepada putraku Haekal itu hanya terkekeh dan mengatakan bahwa dirinya sudah senang jika kelak kami dipertemukan lagi oleh Allah SWT. Namun pada musim haji itu, hingga pulang ke Tanah Air kami tak pernah bersua lagi.

Mengenang hal itu air mataku menitik. Ini bukan mimpi, ini sebuah kenyataan yang sangat indah, gumamku membatin.

Dan kini, detik ini, saat mataku kembali menampak bangunan yang diyakini umat Islam menyimpan selaksa keajaiban itu, buncah sudah air mataku bahna terharu.

Aku tersentak dari lamunan oleh suara seseorang yang memberi tahu, bahwa rombongan Sofitel ternyata telah melakukan tawaf sejak subuh.

Tentu mereka sedang rehat di Hotel Sofitel. Aneh, komunikasi via SMS dengan anak-anak SNADA, juga rekan-rekan jamaah lainnya seperti Ennike, mendadak berhenti total; ada apa nih?

“Waaa…subhanallah, lumayan jauh juga perbedaan waktunya, ya!”

“Tujuh jam kita uyek-uyekan di gurun sahara sana….”

“Apa kita banyak dosanya, ya?”

“Pssst, bukankah kita dilarang bergunjing? Ini lagi ihram loh!”

“Iya, sudahlah semuanya harus kita terima dengan ikhlas…”

Rombongan dibagi menjadi lima regu yang didampingi oleh dua orang muthowif.

Reguku mendapatkan Rosidi, seorang muthowif yang sangat bagus dalam menjelaskan berbagi hal tentang Masjidil Haram, termasuk rukun-rukun haji dan keutamaannya. Suaranya pun lantang, sehingga dapat diikuti oleh jamaah saat kami melakukan tawaf.

“Dek, Dek… siapa sih, namanya? Mau ya diambil menantu… kalau dirimu belum menikah geto loh." Ada saja yang menggoda Rosidi hingga wajah anak muda itu memerah dadu.

“Oh, bukan termasuk Bahrain bersaudara, ya? Jadi bukan KKN dong?”

“Aduuuh… ibu-ibu ini, ada-ada saja. Tak ada KKN di Tanah Haram, Bu, insya Allah…”

Kami bergerak memasuki Masjidil Haram. Nuansa Haji Akbar sudah terasa sekali. Manusia memenuhi pelataran, dan berdesak-desakan di pintu masuk.

Wajah-wajah asykar pun tampak serius sekali, terkesan sangat waspada, hingga melakukan sweeping dengan cermat dan ketat kepada setiap jamaah.

Beberapa jamaah yang membawa ponsel atau kamera harus gigit jari dan kecewa. Barangnya baru akan dikembalikan setelah usai beribadah di Masjidil Haram.

Doa memasuki Masjidil Haram tidak lupa dibacakan oleh muthowif Rosidi: “Allahumma antas-salam, wa minkas-salam wa ilaika ya’ uddus-salam fahayyina rabbana bis-salam, wa adkhilnal jannata daarus-salam, tabarakta rabbana ya dzaljalali wal ikram. Allahummaftah li abwaba rahmatika. Bismillahi walhamdulillahi wassalatu wassalamu’ala Rasulillah.”

Ya Allah, Engkau sumber keselamatan dan daripada-Mu jualah datangnya keselamatan dan kepada-Mu kembalinya keselamatan.

Maka hidupkanlah kami wahai Tuhan, dengan selamat sejahtera dan masukanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan.

Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau, wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan. Ya Allah, bukanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.

Aku masuk masjid ini dengan nama Allah disertai dengan segala puji bagi Allah serta salawat untuk Rasulullah.

Belakangan, setiap kali aku hendak memasuki Masjidil Haram, karena harus berjuang keras, berdesak-desakan, acapkali terjebak lingkaran yang sangat-sangat crowded, terpaksalah doanya tidak sepanjang dan selengkap itu meskipun buku doanya ke mana-mana setia menggantung di leherku, berikut ID Card.

Tidak memungkinkan berdoa panjang, kalau tak ingin disikut sana-sini oleh pasukan tinggi besar.

Jika kita berlama-lama di pintu masuk, niscaya akan ditegur asykar, selain menghalangi jalan orang lain juga boleh jadi bikin macet lalu-lintas para jamaah.

Matahari semakin bergerak ke titik kulminasi, tapi cuacanya hangat dan sangat bersahabat. Ada arak-arakan mendung dari arah selatan sana. Kucermati berbagai hal menjelang Ka’bah… Dan akhirnya!

“Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa kepada Baitullah, Ka’bah ini.

Dan tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan, dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kebaikan.”

Rosidi memimpin doa demi doa, setiap putaran yang dibaca mulai dari Hajar Aswad sampai Rukun Yamani.

Semuanya harus tujuh putaran. Setiap kali melintasi Rukun Yamani, kita disunahkan mengangkat tangan dan melambaikannya seraya berseru; “Bismillahi wallahu akbar!”

Di antara Rukun Yamani dengan Hajar aswad kita membaca; “Robbana atina fid-dunya hasanatun wa fil-akhirati hasanatan waqina adzaban-nar….”

Doa itu biasa disebut juga sebagai doa sapujagat.

Apabila kita tak bisa mendengar doa muthowif, sepanjang tawaf tidak mengapa jika hanya menggumamkan doa sapujagat, bahkan doa apapun, doa yang isinya kita pahami. Sungguh Allah Maha Tahu apa yang kita ingini!

Formasinya, para suami menjaga istri masing-masing. Para perempuan lansia dan masih lajang disatukan di bagian tengah. Di depan ada barisan anak-anak muda dan bapak-bapak, demikian pula di belakang ada barisan para bapak yang siap menjadi tameng.

Kuminta keikhlasan Iqbal dan Lukman SNADA untuk menjadi pegangan diriku. Maksudku, tangan-tanganku acapkali menempel di punggung kedua anak SNADA itu.

Acapkali pula keduanya membentengi diriku dari dorongan manusia yang dari menit ke menit semakin melaut, menggelombang.

“Anggap aku ibu kalian, ya anak-anak,” pintaku.

“Iya, Teteh Emaaak,” sahut Iqbal dan Lukman terdengar ikhlas.

Pada kenyataannya, semua anggota rombongan ternyata solid sekali. Bila ada salah seorang mengalami kesulitan, maka segera dibantu ramai-ramai. Tak peduli siapa yang kesulitan, dan siapa yang membantu. Ya, saling bahu-membahu, kompaaak!

Bila ada rombongan lain berusaha menembus barisan kami, maka semuanya sama merapatkan barisan, sehingga sulit untuk ditembus. Namun, ketika ada beberapa jamaah Indonesia yang tercecer dan kesulitan, maka serempak pula jamaah Cordova pun spontan memekik:

“Biarkan, biarkan lewat, saudara kita sendiri!”

“Ya, Indonesia…Indonesia… Merdekaaa!”

“Pssst, sudah lama merdekanya sih… basi tauuuk!”

“Tuuul! Mendingan juga… Allahu Akbaaaar!”

Kami melakukan tawaf di bawah tanpa banyak rintangan. Diusahakan untuk melakukan sholat dua rakaat di Maqom Ibrahim dan Hijr Ismail. Namun kali itu, sungguh tak memungkinkan mencapai kedua tempat tersebut.

Bahkan Hijr Ismail, entah sejak kapan, sudah dinyatakan tertutup, dijaga oleh para asykar. Akhirnya kami sholat dan berdoa khusuk di depan Multazam.

Di sini kulihat hampir semua jamaah mencucurkan air matanya. Mereka sama menyampaikan doa, harapan dan keinginan masing masing.

Maka, selain kusampaikan doa pribadiku, tak lupa kusampaikan doa titipan anak-anak, menantu, ibu dan saudara-saudaraku, para tetangga, sahabat, handai-taulan…

“Ini air zamzamnya, Teteh,” seorang jamaah menyodorkan air zamzam yang kusambut dengan sangat terharu.

“Terima kasih, Neng, semoga Allah SWT memberkahi dirimu,” ujarku.

Berderaian air mataku saat kusampaikan doa ingin kesembuhan, dan kesehatan.

“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, hamba mohon perkenan-Mu, ya Robb. Sembuhkanlah, sehatkanlah badan, jiwa dan raga hamba ini. Hamba mohon hilangkanlah sejak saat ini segala penyakit di dalam tubuhku…”

Kemudian melanjutkan ibadah rukun haji dengan sa’i. Kami mengawalinya di lantai atas, bukit Safa hingga bukit Marwah.

Anda jangan membayangkan ada dua bukit sesungguhnya di area Masjidil Haram, seperti sering dibayangkan oleh orang yang belum pernah berhaji. Demikian pula yang terpeta di benakku sebelum Umrah.

Nah, kedua tempat yang dimaksud, hanyalah berupa gugusan ubin lebih tinggi dibanding lantai di bawahnya.

Sesungguhnya jika tidak disertai gelombang manusia, niscaya kita akan bisa melakukan lari-lari kecil dengan santai.

Ini tempat yang nyaman dengan atap yang melindungi kepala kita dari sengatan matahari, bahkan dipasangi AC di berbagai sudut. Sungguh tidak sama situasinya tatkala Siti Hajar dahulu melakoni semua di tempat yang sama.

“Ini simbol perjuangan seorang ibu, Siti Hajar yang berlari-lari mencari air untuk bayinya, Ismail, antara bukit Safa dengan bukit Marwah,” suara muthowif Rosidi terdengar di antara suara-suara dan doa-doa jamaah lainnya.

Suasana di sini tampak semakin crowded.

Manusia begitu melimpah-ruah, bagaikan gelombang yang silih berganti menggulung-gulung dari segala penjuru mata angin. Untuk mencapai satu kali putaran pun dibutuhkan tenaga ekstra, termasuk kesabaran yang pantang ada putusnya.

“Bagaimana keadaan di atas sana?” tanyaku ingin tahu kepada seorang muthowif yang baru kembali dari lantai dua.

“Wuaaah… Bu! Lihat tuh, coba saja tengadah ke atas sana, Bu Pipiet. Makin crowded!”

“Nah kan? Crowded yah…, rasanya makin sering aja nih istilah kudengar,” komentarku menahan tawa, dan kembali berusaha fokus menyelesaikan putaran demi putaran.

Beberapa jamaah yang melintas di sebelah-menyebelahku, sempat kucermati. Aneh sekali, rasanya banyak pasangan jamaah belia, terutama yang bertampang Arab Pakistan. Karena penasaran, beberapa sempat kutanya juga dalam bahasa Inggrisku yang hancur. Benar, umur mereka, perempuannya 17 sementara prianya 18-an. Mereka mengingatkanku kepada Haekal.

“Ya Allah, hamba mohon, berilah kesempatan kepada anak-anak dan menantuku, limpahilah mereka rezeki-Mu…. Undanglah mereka menjadi tamu-Mu, ya Rabb,” gumamku sambil berderai air mata.

Bersambung

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama