Ditemani Sosok Bercadar Hitam

Ilustrasi saja


Pipiet Senja 

Berbekal seratus real dan tekad yang kuat untuk menunaikan ibadah haji, aku pun pergi ke Tanah Suci di penghujung tahun 2006.

Aku ikut bersama rombongan SmartHajj Cordova, bukan karena kebanyakan duit, melainkan diajak oleh saudariku seiman, Endah Kartika Sari, sahabat dalam liqo. Suaminya, Faisal Sukmawinata pemilik travel Cordova.

Artinya, aku sama sekali tidak mengeluarkan uang untuk kemewahan dan kenikmatan yang kurasakan, sejak Jakarta-Jeddah-Mekkah-Madinah dan kembali ke Jakarta.

Sungguh nikmat-Nya yang tiada tepermanai, dan terima kasihku tak terhingga untukmu, Saudariku Sari dan Faisal.

Demikianlah, meskipun takaran darahku hanya di tataran 7, aku bersikukuh untuk berangkat musim haji tahun ini.

Singkat cerita, ternyata aku mampu melaksanakan rukun-rukun haji, hampir tak pernah sakit kecuali batuk dan demam ringan beberapa saat saja, dalam perjalanan menuju Arafah.

Nah, ketika malam terakhir di Jeddah, tiba-tiba aku kembali diserang demam ditambah lemas di sekujur badanku.

Namun, aku masih bisa bertahan, melalui malam perpisahan dengan rombongan yang mengadakan acara; SNADA tampil, Faisal menyanyikan lagu-lagu Islami ciptaannya. Aku pun membacakan puisi liris yang kuciptakan dalam beberapa menit saja begitu dimintai Kepala Suku, Bapak Haji Muharom.

Kembali ke kamar di hotel yang berdinding cat sevilla (penglatarannya kuambil untuk novel Jejak Cinta Sevilla), demam itu semakin mengganggu. Sekujur tubuhku serasa tidak karuan, kadang panas, dingin menggigil dan menimbulkan halusinasi yang aneh luar biasa.

Tengah malam mendadak aku terbangun, seperti diguyah-guyah oleh seseorang.

Kurasa teman sekamar, Mami Uun, tetapi ketika kucermati dia malah sedang tidur lelap di ranjang seberangku. Jadi sambil membawa perasaan aneh dan demam yang kian merejam tubuh, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi.

Beberapa saat aku celingukan di dalam kamar mandi yang bagus itu, standar hotel berbintang begitulah. Tiba-tiba terasa ada yang menuntun, tepatnya menghela tanganku, dan aku mengartikannya; “Ambil wudhu, ayo, dan sholatlah!”

Memang tanpa suara, hanya aku menafsirkannya, kira-kira seperti itulah. Jika aku menunaikan sholat lail, bukan karena memenuhi permintaan entah siapa itu, melainkan karena sudah terbiasa jam biologisku, jam agamisku demikian.

Bahkan beberapa tahun sebelum berhaji pun semakin kental interaksiku dengan Sang Pencipta, ya, hanya bisa kulakukan melalui shalat malam.

Sepanjang aku menunaikan sholat tahajud, sekali itu, aku merasa ada yang mengikuti setiap gerak-gerikku, tepat di belakangku.

Aku mengira ini hanyalah halusinasi dari orang yang sedang demam tinggi. Jadi, aku melanjutkan zikir, terus-menerus, hingga terdengar gema azan subuh. Entah di mana mesjidnya.

Sejak melepas baju ihram, jemaah yang sudah resmi dipanggil Hajjah dan Haji itu, memang hanya bisa sholat di kamar masing-masing.

Ketika rombongan menaiki bus menuju Terminal Haji, aku tetap merasa ada yang senantiasa mengikuti diriku. Serasa begitu dekatnya dia hingga nyaris tiada jarak lagi di antara kami. Karena penasaran acapkali aku sengaja menoleh ke belakang, meraba atau mengusap bagian punggungku sendiri.

Dia nemplok di punggungku, kurasa.

Di pesawat Garuda yang membawa kami kembali ke Tanah Air, ketika aku akan ke toalet, sekilas aku seperti melihat sosok itu. 

Ya, dia sosok perempuan bergamis hitam, dan berkerudung hitam.

Begitu dekat jaraknya dengan diriku, sehingga aku bisa membaui aroma khas Timur Tengah, yakni; harum kiswah kain yang menyelimuti Kabah.

“Anda siapa, jemaah dari mana?” tanyaku serak, suaraku kembali samar-samar dan sulit kukeluarkan.

Sekilas aku berpikir dia seorang jamaah nyasar, dan ingin minta bantuanku untuk menunjukkan rombongannya. Nanun, tidak, bantahku kemudian. Wajahnya mirip seseorang yang pernah kukenal, entah di mana, tetapi yang jelas dia perempuan Arab.

Dia tidak menyahut, kucari-cari matanya, tetapi dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Seakan-akan tak sudi ditatap matanya, dan ditafsirkan macam-macam oleh siapapun, termasuk diriku.

Aku mengambil wudhu dengan sangat cermat, mulailah dari wudhu, gumamku kepada diriku sendiri. Aku tak ingin berhalusinasi, jika sosok itu memang tiada, maka lenyaplah dari pandanganku, doaku.

Selang kemudian, ketika usai wudhu, kutoleh ke arah dia biasa berada; tidak ada lagi!

Masya Allah, ya sosok itu, sejak kapan dia berlalu begitu saja, tanpa kuketahui sedikit pun? Dengan perasaan gamang, pikiran dan hati diliputi seribu tanya, kulangkahkan kembali kakiku menuju kursiku.

Oya, tepat di atas kepalaku ada AC yang menyemburatkan hawa dingin luar biasa. Aku sudah minta bantuan pramugari agar setidaknya rasa dingin itu tidak menyemburat tepat ke kepalaku, tetapi, tak ada respon.

Anda bisa bayangkan, bagaimana kondisiku yang sedang demam, tersembur hawa dingin luar biasa, kepalaku sungguh terasa membeku!

Ketika aku mulai mendirikan sholat hormat di kursi, berusaha untuk tidak terganggu dengan hawa dingin dari atas kepala. Usai sholat, kutundukkan wajahku dalam-dalam; kuseru nama-Mu, ya Robb, mohon ampunan-Mu, mohon maghfirah-Mu.

Semua terasa hening yang panjang, bahkan dengung pesawat yang sebelumnya kudengar pun; raib dari gendang pendengaranku!

Di tengah hening maha itulah, seketika serasa ada yang menyelimuti kepalaku, menghangatkan kepala dan terus parat menyelusup ke sekujur tubuhku. Subhanallah walhamdulillahi wala ilaha ilalahu Allahu Akbar!

Entah berapa lamanya hal itu terjadi, tetapi yang jelas aku mengalami semacam situasi yang sungguh mencengangkan, tak pernah kurasakan sebelumnya, yakni; bagaikan terbawa tidur yang lelap dan nikmat.

Kurasa suasana semacam itu, kehangatan yang indah itupun masih terbawa, sampai kaki-kakiku menginjak kembali bumi Pertiwi. Terus menempel hangat hingga rombongan dibawa ke hotel transit di Bandara Cengkareng.

Manakala semuanya heboh dengan urusan boarding, para penjemput, aku malah terus saja terlena dalam buaian, entah siapa gerangan dia.

Bahkan ketika adiknya Sari menyediakan diri untuk membawaku bersama rombongannya dengan mobil pribadi, aku hanya mengiyakan dan manut saja.

Maka, sampailah di rumah kami di kampung Cikumpa, kurasakan diriku masih seperti “sakau”.

Melayang-layang, demam, panas menggigil silih berganti, kadang eling dan kadang samar-samar saja; semua kuterima yang menyalamiku, dan meminta maaf tak bisa berlama-lama menemani.

Sungguh aku ingin segera sendiri, merebahkan tubuhku, dan memejamkan mata selamanya.

Ketika terbangun pada dinihari, kutemukan diriku berada di tempat tidur, di kamarku di pojokan rumah di tengah perkampungan bernama Cikumpa.

Sosok itu kembali tampak, dia sedang duduk bersimpuh menghadap kiblat di atas sajadah yang entah siapa telah membentangkannya.

Selama sebelas hari, sebelas malam sosok bergamis dan bercadar serba hitam itu terus menemaniku.

Demikianlah setidaknya perasaanku, naluriku mengatakannya pula, betapa ingin kukabarkan hal ini kepada anakku Butet. Namun, setiap kali bibirku akan mengucapkan satu patah kata saja tentang sosok ini, seketika itu pula mulutku terkatup rapat.

Jika malam, hanya berdua saja di kamarku, acapkali dia terasa mengguyah-guyah badanku.

Kemudian menuntun dan membimbingku ke kamar mandi, bagaikan guru mengajariku bagaimana caranya mengambil air wudhu yang baik dan benar dalam situasi melayang-layang, demam silih berganti tiada berkesudah.

Puncaknya, dinihari itu, malam ke-11, Butet sudah tak tahan lagi melihat ibunya ini menderita agaknya. Dia memaksaku agar mau diangkut ke rumah sakit. Dia sudah memesan taksi sejak tengah malam.

“Sebentar, Mama mau sholat dulu,” kataku saat Butet mewartakan bahwa taksi akan tiba sekitar pukul 03.00 itu, di ujung gang sana.

Sambil masih melayang-layang, kulihat sosok itu tetap setia menguntitku, mengikuti ke mana pun aku bergerak. Cukuplah sudah, pekikku dalam hati, seketika ada pemberontakan luar biasa yang timbul dari dalam diriku.

Logikanya begini, jika sepanjang hidup aku akan dikuntit entah oleh sosok apa namanya ini, bagaimana jadinya hari-hariku nanti?

Aku bisa dibilang orang aneh-nyeleneh, sinting-gila-miring, jika tak sadar mengajaknya berbincang, mengusirnya atau, entah apapun lagi.

Maka, kuputuskan untuk mengusirnya saat ini juga, ya, tak bisa ditunggu lagi!

Begitu usai sholat tahajud, kulafazkan Ayat Kursy berulang kali dan nyaris tanpa jeda, sehingga terasa sesak napasku. Entah dalam hitungan ke berapa saat kuberanikan menghadapinya, tepat (dalam bayanganku!) kami duduk berhadapan.

Kupandangi makhluk bergamis dan bercadar serba hitam itu lekat-lekat, kutelusuri dia dari ujung rambut sampai ujung-ujung jari tangannya.

“Ukhti yang dirakhmati Allah,” ujarku mengawali dengan santun.”Sudahilah kelakuanmu ini, ya, Saudariku seiman. Jangan pernah mau menjadi pengikutku, ya. Mengapa? Karena aku ini bukan seorang khalifah. Aku hanya seorang perempuan lemah, ibu dari dua anak, nenek dari dua cucu, dan aku penyakitan. Ilmuku juga sama sekali tak seberapa. Jika kamu memaksa terus menjadi pengikutku, maka rugilah dirimu. Jadi, kumohon dengan sangat, demi kebaikan kita bersama, sudah waktunya; pulanglah ke tempat asalmu!”

Aku bisa mendengar ketegasan dalam kata demi kata yang terucapkan dari bibirku. Serius, aku tak mau melihat ada perlawanan atau pembangkangan. Jadi, kupilih memejamkan rapat-rapat dan kembali kutasbihkan lidahku dalam asma-Nya.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbaaaar….”

Entah sampai berapa lama, kurasa sampai ada yang membangunkanku, menuntunku keluar rumah.

Butet perlu menjelaskan situasinya agaknya, sehingga harus mendiskripsikannya sebagai berikut; ”Mama tahankan, ya, kita jalan sebentar. Taksinya sudah datang. Nanti kita akan ke rumah sakit Polri di Kramat Jati.”

Aku hanya menggumam perlahan, sempat kucari sosok itu dengan ekor mataku. Raib, ya, makhluk asing yang terbawa dari Jeddah itu kini sungguh telah tak tampak lagi. Menghilang entah ke mana, mungkin kembali ke tempat asalnya di bumi Allah sana.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama