Pipiet Senja
Sepuluh Tahun Silam, 3 Juli 2013
Semesta Menulis yang dicanangkan oleh panitia Kairo cq.Agus Susanto dkk, sesungguhnya sudah diagendakan sejak sekitar setahun yang silam.
Awalnya kami, aku dengan Agus yang memakai akun twitter @Gus_Elmaiya kontak-kontakan melalui twitter. Hingga tercetus gagasan untuk mengundangku ke Kairo, seperti mengulang kenangan 2005.
Asyik diskusi situasi Mesir “Nak, kalau aku datang sendiri sepertinya tidak seru, ya,” kataku via DM. “Bolehkah aku ajak tiga teman lainnya, penulis dan jurnalis atau motivator kepenulisan?”
“Boleh banget, Bun, iya pastinya bakalan seru kalau ada banyak ilmu, banyak pemikiran. Kami Masisir, sebutan untuk mahasiswa Mesir, memang sangat membutuhkan bimbingan dan ilmu dari para senior,” tanggap Agus.
“Kira-kira bagusnya kapan nih, Nak?” tanyaku selang kemudian, setelah agak lama tidak berkomunikasi. Berhubung aku sangat sibuk dalam pengobatan. Sementara Agus sibuk menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.
“Usai ujian saja, ya, Bun. Sekitar akhir Juni.”
“Oke, insya Allah, jika Tuhan berkenan semuanya akan mudah dan selalu ada jalan-Nya,” kataku menyemangati, seperti biasa nyaris tanpa berpikir; betapa untuk mewujudkan keinginan ini bagaikan mimpi di siang bolong.
Pertama, tentu saja masalah dana. Untuk empat orang penulis, dari mana beli tiketnya. Sepertinya aku harus mengajak penulis yang longgar waktu dan longgar urusan dana. Maksudku, dia tidak terikat waktu dan tiket bisa mencari sendiri.
Hanya Irwan Kelana dan Sastri Bakry akhirnya yang menyanggupi untuk mencari tiket sendiri. Sementara dua penulis rekanku terkendala, selain dana juga karena punya kesibukan dan prioritas masing-masing. Kalau bertiga masih tidak seru, pikirku di tengah ketatnya jadwal transfusi dan terapi.
Satu malam buta, mendadak ada telepon dengan nomer Mekkah. Kupikir anak-anak FLP Arab Saudi, ternyata Agus yang menelepon.
“Bunda, aku lagi di depan Kabah nih. Kita tidak jadi ketemuan sekarang, karena Bunda masih sakit, ya.”
“Iya, Nak, sekarang pun aku lagi ditransfusi nih.”
“Subhanallah, Bunda, safakillah ya. Agus mendoakan Bunda agar sehat, ini di depan Kabah, ya Bun. Mohon diaminkan doa Agus. Semoga acara Bunda dan kawan-kawan di Mesir bisa berlangsung dan diberkahi Allah Swt,” suara di seberang terdengar gemetar, terasa betul bagaimana serius penuh dengan pengharapannya.
Tanpa sadar sambil mengaminkan doanya, ada air bening menetes di pipi-pipiku. Sehingga perawat yang menemani menanyaiku, apakah ada yang sakit, kujawab tidak. Aku hanya sedang terharu saja dengan sebuah doa seorang anak muda, jawabku sambil buru-buru menghapus air mata.
Ya, janji akan bertemu di Tanah Suci akhirnya memang batal. Berhubung kondisiku masih lemah, jantung dan diabetes mellitus sedang menggerogiti tubuh ringkih ini.
Mendadak aku teringat dengan tugasku sebagai pengasuh Bilik Sastra melalui Voice Of Indonesia Siaran Luar Negeri RRI. Ya, mengapa tidak kucoba saja menggaet para petinggi RRI? Saat itu juga segera aku SMS Kabul Budiono, ketika itu masih sebagai Kepala Penyiaran RRI Jakarta dan Penanggung Jawab Bilik Sastra VOI RRI SLN.
"Bagus sekali, Teteh Pipiet yang baik, saya menyambut baik usulannya. Insya Allah akan saya koordinasikan dengan Dewan Direksi,” janji Kabul Budiono via SMS. Kemudian kondisiku membaik, dan aku jadi berangkat ke Tanah Suci, sehingga tidak ada kontak lagi dengan Kabul Budiono.
Di depan Kabah, selain kudoakan titipan anak dan menantu serta para sahabat, aku tidak lupa mendoakan:”Ya Allah, jika Engkau berkenan, mudahkanlah urusan panitia Mesir untuk mewujudkan acara Semesta Menulis bersamaku dan kawan-kawan.”
Ada gagasan membuatkan visa calling dari Mesir saat aku berada di Jeddah. Ternyata setelah dikoordinasikan dengan anak-anak penulis di Arab Saudi, hal ini tidak bisa dilaksanakan.
Aku tetap harus kembali ke Jakarta lebih dahulu, kemudian kembali balik ke Timur Tengah; Mesir. “Aduuuh, padahal tinggal selangkah lagi, ya Nak,” keluhku melalui Whats App, tempat Agus membuatkan grup persiapan Go To Mesir.
“Iya, Bun, kondisi Arab Saudi memang tidak sama dengan negara lain. Maafkan kami tidak bisa membantu,” timpal Awy Ameer Qolawun, salah seorang pengurus FLP Arab Saudi.
"Iya, Nak, tidak mengapa. Semoga ada solusi lain," tanggapku, memang tidak bisa menyalahkan siapapun.
“Tidak apa, Bun, kami akan berjuang untuk mewujudkannya. Semangaaat!” kata Agus. Kusampaikan kepada Agus tentang Bilik Sastra dan kemungkinan mendapatkan sponsor dari RRI. Kuminta dia untuk segera menghubungi Kabul Budiono.
Agus langsung melaksanakan permintaanku, dia bilang:”Subhanallah, Bun, di tengah kita nyaris tak ada harapan, seolah berada dalam kegelapan.
Mendadak Bunda memberi solusi ini. Doa yang kencang, ya Bun.”
“Oke, kudoakan, Nak. Yakinlah, selalu ada jalan jika Allah berkenan!” kataku menyemangati.
Ternyata memang disambut dengan baik oleh pihak RRI. Bahkan sesepuhnya Dewan Pengawas, Zulhaqqi Havidz sudah merespon dengan positif. Ada titik terang, dan semakin terang saja arahnya.
“Nak, sudah ada jawaban dari Pak Kabul. Buka emailmu, Nak. Kita jadi ke Mesir!” tulisku, kali ini melalui BBM. Agaknya demi kelancaran komunikasi Agus sampai mengganti ponselnya dengan BB.
“Situasi Mesir bergolak, Bunda. Harus secepatnya scan paspor kirimkan, semuanya ya Bun,” pesan Agus, kali ini didampingi dua rekannya yakni; Majid dan Maulani. Kami pun secara intens berkirim kabar melalui twitter, tentu saja sambil promo acara. Sehingga beberapa kali ganti banner dan perubahan materinya.
“Terus kontak situasinya di Mesir, ya Nak,” pesanku sampai hari H keberangkatan. Bahkan di Bandara Cengkareng, Irwan Kelana masih bertanya dengan nada bimbang:”Ini kita jadi berangkat, Teteh?”
“Loh? Ya jadilah, ini tiket dan visa sudah di tangan. Mau bagaimana lagi? Inilah perjuangan seorang jurnalis, bagi Anda, begitu kan. Ini juga perjuangan buat seniman kreatif,” kataku tertawa ditahan.
Putriku, Butet sempat juga berkata:”Serius, Ma, gak mau berubah pikiran? Mesir mau revolusi lagi tuh. Apa mau cari mati ke sana?”
"Huuuusss! Ada Allah Sang Maha Penolong, Nak, tenang sajalah,” sahutku kalem, melanjutkan packing dan hanya membawa buku tak seberapa banyak. “Ya sudahlah, asalkan Mama senang, Butet dukung sajalah,” akhirnya dia mengalah.
Nah, saat kutulis laporan perjalanan ini, aku dan Irwan Kelana dari Republika yang sudah sampai di wisma milik Keluarga Pelajar Jakarta di Madinatul Nasr. Sastri Bakry selang kemudian tiba jua dan bercerita tentang suasana Bandara Kairo yang dipenuhi tentara. “Mursi dikabarkan tidak diketahui rimbanya sejak pukul lima tadi,” kata seorang panitia.
Sementara rombongan RRI masih dalam perjalanan. Tayangan Al Jazeera dan CNN di ruang tamu, terus-menerus mewartakan situasi terbaru di kawasan kedua belah kubu semakin memanas. Kubu pro Mursi dan kubu anti Mursi kian bersitegang.
Hatta, sudah banyak korban yang jatuh dari pihak Ikhawanul Muslimin pro Mursi. Markasnya dibakar, beberapa pemuda yang sedang sholat ditembaki.
Aku gemetar, apakah ini akan menjadi revolusi Mesir? Kami hanya bisa berdoa, semoga rakyat Mesir mendapatkan yang terbaik. Tidak ada anarkis, tidak berdarah-darah. Maka, kami kembali ke bumi Kinanah ingin seperti dulu, 2005, dalam situasi damai saja.
Catatan terakhir pukul 22.10. Sayup-sayup terdengar bunyi petasan dari pelosok Kairo. Agaknya militer telah mewartakan mereka menurunkan Mursi dari kursi kepresidenan, undang-undang dikembalikan ke undang-undang semula.
Intinya, situasi Mesir masih belum menentu, entah mau ke mana diarahkan oleh para penguasa baru.
Posting Komentar