Kenangan Fanny Jonathan Poyk
Tadi malam di gedung Teater Kecil TIM, saya hadir di acara penganugrahan hadiah sastra untuk Bang Sutardji Calzoum Bachri sekaligus ulang tahunnya yang ke-82. Sebuah perjalanan panjang dari kesetiaannya berkutat di bidang sastra, khususnya puisi.
Acara yang digagas dan diperjuangkan selama 5 bulan oleh Octavianus Masheka dkk, merupakan bentuk dari pembuktian bahwa Bang Tardji (demikian saya memanggilnya) memang sudah selayaknya beliau memperoleh penghargaan itu.
Di tengah euforia penyambutan dan perayaan, saya terkenang akan ayah saya Gerson Poyk yang pernah memperoleh anugerah sebagai maestro seni dan budaya dari pemerintah. Dua sosok yang setia pada sastra (Bapak dan Bang Tardji), di mata saya adalah 'manusia unik' yang membumi meski telah memiliki nama besar di bidangnya.
Mereka tidak memposisikan diri sebagai sastrawan dengan atribut yang mumpuni. Bang Tardji selalu turun ke lapangan, baca puisi dan berbincang-bincang dengan para penulis atau penyair pemula tanpa sekat dan eksklusifisme diri bahwa dia adalah sosok yang berada di atas menara gading. Duduk-duduk di toko buku Bang Jose Rizal Manua di Taman Ismail Marzuki, baca puisi di berbagai perhelatan sastra masih dilakoninya, dan berbincang-bincang dengan para seniman muda serta penulis/penyair pemula, semua dijalaninya tanpa beban.
Eksistensi ini membuat saya mengulang kembali kenangan pada Bapak saya GP ketika masih hidup. Di rumah sederhanya dulu di Depok, kerap berkumpul para calon seniman muda yang menimba ilmu padanya. Mereka bisa datang, menginap dan berbincang-bincang dengan Bapak selama mereka suka.Bapak memasak, mencari uang dengan mengetik, menulis dan mengajak mereka makan bersama, semua dilakukannya tanpa beban.
Buat saya, penghargaan/apresiasi semalam untuk Bang Tardji, seharusnya sudah sejak dulu diberikan. Namun begitulah, seorang seniman sejati tak butuh itu semua. Dia akan terus melenggang tanpa beban di jalur yang sudah dipilihnya.
Almarhum Bapak saya GP dan Bang Tardji adalah dua mahluk di mata saya merupakan sosok membumi yang sangat sederhana, baik hati dan tidak pelit ilmu. Nama besar mereka tidak diragukan lagi, dari perjalanan waktu di dalam kesetiaan mereka berkarya, mereka adalah sosok-sosok sastrawan yang 'down to earth' yang pernah saya kenal.
Sutardji Calzoum Bachri, Gerson Poyk, Umar Khayam, Leon Agusta, Darmanto Jatman, Satyagraha Hoerip, Slamet Soekirnanto, Ikranagara, adalah sebagian nama yang saya kenal dekat, sebagian dari mereka sering nongkrong di rumah kontrakan ayah saya di Bali, dan saya si remaja pencinta sastra membuatkan kopi sambil mendengarkan obrolan mereka.
Itulah sosok2 bernama besar dengan kesederhanaan yang membumi. Saya selalu rindu akan ucapan2 mereka yang bernas. Bang Tardji, doaku semoga Abang sehat dan bahagia selalu bersama keluarga.
*Salam penuh kasih dariku, Fanny J
Posting Komentar