Jose Rizal Manua: Sang Pujangga Humor





Dian Wahyudi

Termenung di atas kloset

Menghayal, 

menjadi presiden.

.......... 

Plung! 

Puisi berjudul "Menghayal Menjadi Presiden" karya pujangga Jose Rizal Manua itu cukup singkat, tapi sarat makna, dan mengandung nuansa humor yang dalam. 

Kepiawaian Jose untuk memantik tawa penonton lewat puisi, memang tak lagi diragukan. Aksinya seolah menegaskan bahwa humor tak cuma milik pelawak, sebab penyair pun berhak melucu. 

Menurut Jose, pendiri Teater Tanah Air, tidak mudah membuat karya seni yang humoris, berkualitas sekaligus dapat diterima masyarakat. 

Jose mencontohkan, seniman besar seperti WS. Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hammid Jabbar, yang telah menelurkan banyak karya puisi bernuansa humor, butuh waktu panjang agar karyanya bisa hidup di benak banyak orang. 

“Pada hakikatnya humor itu sisi manusiawi manusia. Puisi-puisi Rendra sebagian punya sisi-sisi humor. Saat orang menonton Rendra bisa tertawa, bisa gembira, bisa segala macam. Taufik Ismail juga begitu. Jadi banyak sekali penyair-penyair yang di dalam dirinya mempunyai sense of  humor," papar Jose, kepada Humoria. 

Sebagai seniman sekaligus penyair, Jose berupaya tidak kehabisan akal. Jose mencoba terus menulis, sambil mengumpulkan puisi-puisi humor karya Sutardji Calzoum Bachri dan Remy Silado yang juga tak kalah luar biasa puisi humornya. 

Jose menjelaskan, puisi Sutardji merupakan suatu karya sastra yang isinya menggunakan bahasa yang mengandung irama dan ritme dalam penyusunan larik dan baitnya. 

“Untuk saya, dari bunyi saja sudah ada sense of humor. Salah satunya, puisi Sutardji yang dianggap mantra itu punya kandungan humor dari sisi bunyi. Dan itulah sisi manusiawi dari manusia. Misalnya, puisi Belajar membaca," kata Jose. 

Menuai Cibiran, Didukung Rendra

Dalam perjalanannya, awal-awal beraktivitas dalam puisi humor, Jose banyak menuai cibiran, bahkan dari kalangan sesama seniman. 

Kendati demikian, Jose tak berkecil hati. Jose ingat, ada  pesan menyejukkan dari Rendra, yang terus dikenangnya sampai sekarang.

"Kamu teruskan saja, jangan pedulikan mereka," kenang Jose. 

Jose tak pernah menyangka umpatan dan cacian serta hinaan itu malah berbalik. 

“Ternyata mereka yang mencela saya justru malah mengirim sajak-sajak mereka untuk saya bacakan," kata Jose. 

Berbagai lomba baca puisi di tingkat ibu kota Jakarta maupun nasional telah diikuti Jose sejak awal 80-an dan selalu menang. 

Pada tahun 1986, para juri termasuk penyair Sutardji Calzoum Bachri memintanya untuk tidak mengikuti lomba lagi. Sejak saat itulah, Jose menyandang predikat deklamator. 

Di tahun 1988, Jose mendirikan Bengkel Deklamasi Jakarta. Lalu pada tahun 1990, Jose membacakan puisi humornya, yang seketika mendapat sambutan hangat di Jawa dan beberapa kota besar di Indonesia hingga mancanegara. 

“Saya bacakan di Jakarta ternyata sambutannya luar biasa. Lalu saya bawa keliling Jawa juga sambutannya bagus. Akhirnya saya bawa sampai ke beberapa provinsi kemudian ke Malaysia, bahkan pernah saya bacakan di Hollywood juga, di Los Angeles dan Australia," kata Jose.

Sebenarnya puisi-puisi humor memiliki makna yang dalam. Menurut Jose, puisi humor tidak sekadar melucu tetapi sarat dengan kritik sosial bahkan nilai kearifan. 

“Saya yakini puisi-puisi humor akan mendapatkan tempat sendiri di hati masyarakat  Kalau kita melihat situasi dan kehidupan yang begitu kompleks, orang perlu pengendoran otak, jadi tidak melulu tegang. Sajak humor salah satu sarana yang bisa mengantisipasi itu, katanya," kata Jose. 

Dalam puisi humornya yang berjudul "Menghayal Menjadi Presiden", yang dibuat pada 22 Juni 1980, Jose sebetulnya ingin mengkritisi rezim Orde Baru, di mana saat itu kedudukan presiden sebagai kepala negara begitu kuat dan sudah cukup lama bercokol. 

“Ini sebenarnya negara kerajaan atau apa. Saya mengkritik itu sebenarnya. Bahwa presiden itu harus berganti, kalau tidak negara ini tidak akan maju. Kira-kira begitu waktu itu," pungkas Jose. (DIan Wahyudi)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama