Berbekal Seratus Real ke Tanah Suci



Nukilan Menoreh Janji di Tanah Suci

Pipiet Senja

Sejak bergabung dengan komunitas pengajian dan kepenulisan, kebanyakan sosok bersahaja dengan visi dan misi berdakwah, demi pencerahan ummat, kuakui cara pandanganku terhadap hidup dan “setelah hidup” pun berubah drastis. Lepas dari ikhtiar, bekerja keras, mencari nafkah yang kulakoni sesuai kapasitasku. 

Aku sudah lebih banyak berdamai dan menerima perikehidupan ini dengan bersahaja. Bahkan tak ada lagi disibukkan oleh masalah busana, tata rias atau perhiasan.

Dan hari itu, aku baru menyadari ternyata hanya memiliki tiga stel baju yang baik yang laik pakai. Tahun-tahun terakhir aku selalu mengingatkan diriku sendiri; di lemari pakaian hanya menyimpan baju yang memang diperlukan. Aku mengenakan baju apa adanya, sehingga acapkali disangka pembantu, PRT atau TKW.

Pernah sepulang dari seminar di Kairo, begitu tiba di Bandara Soekarno Hatta, seorang petugas imigrasi tergopoh-gopoh mendatangiku. Aku sempat berbaik sangka. Karena sudah menjadi duta budaya (demikian menurut perasaanku, hehe!) di Mesir, tentu beritanya sudah sampai ke pihak imigrasi. Barangkali mereka mau menyambutku serta ketiga rekan; Gola Gong, Fauzil Adhim dan Irwan Kelana.

Ternyata perkiraanku melenceng jauh, Saudara!

“Wooi.. TKW ya? Kenapa keluarnya dari sini? Seharusnya di Terminal 3 sana!” bentak petugas imigrasi ber-tagname; Suryono dengan sangat galaknya.

Lain lagi waktu pulang dari Singapura. Begitu sosokku muncul dari pintu kedatangan, seketika dirubung-rubung kuli angkut. Waktu aku menolak dengan halus, salah seorang kuli kontan menghardik keras: “Huh! Pelit amat sih loe? Baru juga jadi TKW! Pulang dari Malaysia kan banyak ringgitnya? Bagi-bagi kek. Itung-itung sedekah!

Beberapa saat aku didorong sana, didorong sini, sampai akhirnya kikis juga kesabaranku, dan aku berteriak dengan sebal dan gusar: “Woooi… awas, minggiiir! Gw bukan TKW! Gini-gini gw anak pejuang ’45, tauuuuk!” 

Entah lantaran keder dengan istilah pejuang ’45 atau memang sudah terasa bosan, yakin tak bakalan dapat apapun dari diriku… mereka pun bubar!

Suatu saat pulang dari pasar Agung bulan puasa di angkot seorang ibu memandangiku lekat-lekat. Aku sempat berpikir, mungkin dia mengenaliku sebagai seorang penulis. Hohoho, aku jadi kegeeran nih… Ops, ternyata keliru, Saudara!

“Banyak banget belanjaannya, Mpok….”

“Eeh… sekalian aja sih, biar gak bolak-balik, Bu… Hatiku langsung ciut dipanggil Mpok. Nah, Mpok Ati sih hebat, seleb. Tapi yang terlintas di otakku malah Mpok Nenih, tukang cuci di kampung Cikumpa.

“Bulan puasa mah laku jualan koleknya, ya Mpok?”

Uhuuk?! Naaah kan! 

Aku tertawa geli di dalam hati. Sekalian saja kukatakan kepadanya bahwa jualan buku lebih laku lagi bulan puasa begini. Di kampus-kampus, pondok pesantren, pengajian remaja. Sejenak aku meracau tentang dunia perbukuan Islami saat itu. Kulihat wajahnya sampai nyureng-nyereng ibu sotoy. Hehe.

Nah, begitu Cordova mengirimkan sebuah koper raksasa (di mataku terlihat demikian!) dan satu lagi koper kecil, aku jadi tertegun-tegun.

“Walah-walah, ini mau diisi apa, Ma?” sindir Butet.

“Lemari Mama yang imut-imut dan butut itu kayaknya bisa masuk tuh….”

“Mending Butet aja sekalian masuk sini, ya Nak,” pintasku sambil lalu, kembali menyibukkan diri dengan naskah Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku. Memoar adikku yang bermukim di Holland, sebuah naskah yang cukup menguras enerji dan air mata saat menggarapnya selama hampir lima bulan.

Kutahu anak gadisku kemudian kasak-kusuk dengan abangnya dan iparnya. Diam-diam mereka membelikanku baju satu demi satu, pakaian yang menurut mereka pantas untuk naik haji. Pemberian mereka bertiga sudah bisa kuisikan ke koper kecil. Aku tersenyum geli setiap kali melihat koper raksasa bernomer 43, berlogo Cordova dan ikon yang sangat inspiratif itu; Lets Go To Hajj! Bukan karena bentuknya yang keren, tapi lantaran tak tahu mau diapakan dan….ngejoprak-nya itu loh!

Aku hampir memutuskan koper raksasa itu akan kuisi dengan koper kecil. Kupikir dua-duanya harus kubawa, tak enak sudah diberi oleh Cordova, gratis pula, masak iya ditinggalkan? Bagaimana nanti sajalah isi oleh-olehnya, tak perlu dipikirkan sekarang, pikirku.

“Teh Pipiet, maaf merepotkan, bisakah datang ke rumahku? Ada titipan dari teman-teman,“ Mbak Susi via SMS.

Mbak Susi kukenal sekitar tiga tahun yang silam, sesama teman liqo bareng Mbak Sari. Murobiyah kami Mbak Retno yang sering membuatku berdecak kagum karena kefasihan hafalan Al-Quran dan haditsnya. Ada 12 anggota holaqohnya, termasuk diriku yang (jujur saja!) mungkin yang paling sering izin, karena roadshow kepenulisan keliling Tanah Air. 

Selama bergaul dengan adik-adik yang cantik dan solehah ini, aku menemui banyak pelajaran dari persaudaraan yang erat. Bersosialisasi dengan mereka, aku merasai arti ukhuwah, kasih-sayang yang mengalir deras dan itu karena Allah Swt semata. Meskipun jelas ada perbedaan yang mencolok antara diriku dengan mereka, terutama dalam hal materi. Ternyata keberadaanku di tengah liqo Mbak Retno, diakui oleh mereka, telah memberi warna tersendiri.

“Teh Pipiet .. kangeeen! Kepingin denger kultumnya, kami tunggu ya!”

“Jadi semangat setiap ketemu Teh Pipiet, semangat menulis….”

“Lakon Teteh memberi kami pelajaran tentang kesabaran, ketegaran dan keihlasan dalam memaknai hidup….”

“Setelah mengenal Teteh dan mendengar kisah dirimu itu, aduuuh! Aku ini kok rasanya sudah gak bersyukur banget, ya…”

“Terima kasih, ya, Teteh sudah berbagi pengalaman hidup denganku…”

“Aku merasa senang dan beruntung sekali punya teman seperti Teteh…”

Acapkali aku menundukkan kepala, sungguh malu sekaligus terharu dengan penghargaan, pengaguman dan keikhlasan yang mereka berikan kepadaku. Tiada pernah kulihat kesan angkuh atau ria pada diri mereka, sebagaimana sering diperlihatkan oleh kalangan berada. Mereka tampak bersahaja baik dalam perkataan maupun pebuatan.

Aku sempat terkecoh oleh penampilan salah seorang saudariku dalam taklim ini. Dia hanya bergamis sederhana, berjilbab kaos, acapkali datang dengan berjalan kaki. Ternyata dia istri seorang pengusaha sukses yang kalau mau, bisa saja pakai BMW-nya ke mana-mana. Subhanallah !

“Mohon jangan dilihat nilainya, ya Teteh. Ini sekadar rasa sayang kami kepada Teteh. Selamat menunaikan ibadah haji semoga kembali dengan haji mabrur,” ujar Mbak Susi saat menyerahkan cinderamata kasih sayangnya.

“Ya Allah, alhamdulillah… terima kasih, ya Mbak Susi, sampai begini banyaknya,” ujarku terharu sekali.

Kantong besar ini ternyata berisi perlengkapan haji. Mulai dari mukena, jilbab, sarung tangan, kaos kaki, baju dalam, topi besar sampai pernak-pernik yang memang dibutuhkan di Tanah Suci, sesuatu yang tak terlintas di otakku. Betapa besar kasih-Mu kepada diriku ini, Ya Rabb.

Engkau limpahiku rezeki melalui saudari-saudariku yang solehah. Hanya Engkau yang dapat membalas keikhlasan saudari-saudariku ini. Amin Allahuma amin.

“Psst, ini ada amplopnya, Mama,“ kata Butet yang ikut membongkar bingkisan itu, kemudian menatapnya di koper besar.

Setelah dihitung, lebih dari satu juta rupiah, tidak termasuk seratus realnya. Kuserahkan uang rupiahnya untuk keperluan Butet, realnya kumasukkan dengan apik ke dompetku. Alhamdulillah, ya, akhirnya hanya seratus real itulah yang kubawa sebagai bekalku. 

Sebelumnya telah kuterima dari sohibku, Khairina di Holland, hasil penjualan buku. Ini telah kuserahkan kepada Amin Juhari, seorang anak yatim di Labuan yang nyaris dikeluarkan dari sekolahnya.

Kartu ATM BNI yang kubawa dengan bimbang, mengingat sebagian besar dianggarkan untuk biaya S2 Haekal, ternyata tak bisa dimanfaatkan selama di Madinah dan di Mekkah. Tiga kali kucoba di mesin ATM milik Bank Riyadh, selalu gagal dan berjawab; Sorry Not Transaction!

“Barangkali BNI belum ada agreement dengan Bank di Saudi,” jelas seorang jamaah yang sama-sama mengambil uang di ATM, tak jauh dari pelataran Masjid Nabawi. Dia memakai ATM Bank Mandiri dan BCA.

Aneh sekali, pikirku, petugas BNI yang pernah kumintai informasi perihal ini menjelang keberangkatan begitu meyakinanku; ATM BNI bisa digunakan di mana-mana. Setelah kurenungkan, mungkin karena sejak awal hatiku bimbang dan berat memanfaatkannya, maka Allah Swt pun menetapkannya demikian.

Waktu itu di dalam Masjid Nabawi setelah sholat maghrib, sepulang dari upayaku memanfaatkan ATM, aku berdoa begini; “Ya Allah Yang Maha Pengasih, jika Engkau menghendakiku membawa oleh-oleh dari Tanah Suci untuk saudara-saudariku di Tanah Air… hanya dengan seratus real ini, sungguh aku ikhlas, ya Allahu Robb. Bagiku yang utama mudahkanlah ibadahku, ya, itu sajalah pintaku kepada-Mu saat ini, Sang Maha Pengasih. …”

Dan apa yang terjadi, Saudara?

“Teteh ini kurma tiga kilo… Ini dari suamiku, Mas Didik… Dia bilang jangan diganti,” berkata Anita sepulangnya dari tur perkebunan korma.

Bersambung


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama