Kekhawatiran Kita Tentang Malin Kundang




Dikdik Sadikin

Bagaimanakah Malin Kundang di era baru?

Kita tidak tahu persis. Tapi Denny Januar Ali, atau akrab dipanggil Denny JA,  penulis Indonesia yang pernah dinobatkan majalah TIME pada tahun 2015 sebagai salah satu dari 30 orang paling berpengaruh di Internet, menerjemahkan legenda Malin Kundang itu dengan sesuatu yang mengagetkan dalam lukisan-lukisannya di serambi teater kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tepat di depan pintu teater yang akan mementaskan legenda anak durhaka itu.  

Di situ, Denny menggambarkan Malin Kundang era baru dengan seorang ibu yang mengasuh anaknya, yang  ternyata anak itu adalah robot Artificial Intelligence (AI). 

Kita segera saja tersadar. Legenda Malin Kundang ternyata bisa relevan dengan kondisi saat ini dan jaman yang akan datang. Ada kekhawatiran sekaligus prasangka bahwa teknologi tinggi, yang susah payah kita besarkan bagai anak kandung sendiri itu,  pada akhirnya justru akan berbalik durhaka kepada  kita sebagai orangtuanya. Persis seperti legenda Malin Kundang.

Hilangnya ribuan pekerjaan manusia karena digantikan teknologi AI telah mulai terasa. Meskipun ada harapan munculnya pekerjaan baru, namun kita tahu: pekerjaan itu masih terasa asing disamping kegagapan teknologi kita yang belum lagi reda. 

Lepas dari lukisan Denny JA dengab tafsir Malin Kundangnya di serambi teater kecil, ketika kita masuk ke teater yang megah itu, di panggung para milenials yang beraksi dengan  Bu Sastri Bakry sebagai komandan mereka, kita justru mendapatkan secercah cahaya harapan.

Di panggung itu, kita melihat anak-anak kita, generasi milenial itu, ternyata bisa melepas gawainya, melepas teknologi canggihnya, bahkan memupuskan kekhawatiran kita akan redupnya budaya di tangan mereka. 

Yang mengharukan bukan saja melihat adegan seorang Ibu yang dihina anak kandungnya. Tapi yang lebih mengisi relung hati adalah kenyataan bahwa para milenials itu fasih bertutur bahasa ibunya, bahasa Minang, meskipun domisili mereka adalah anak-anak metropolitan yang tinggal di Jabotabek. Mereka bahkan pandai menari tarian budaya leluhurnya, dengan hentakan kain yang mereka pakai di antara dua kakinya. Diiringi lagu minang, rentak tabuhan dan gamelan serta suara suling khas Minang yang menyayat hati.

Kita berharap agar peristiwa budaya itu tidak hanya berhenti di situ. Kita juga ingin agar tidak hanya Minangkabau saja, sementara budaya Nusantara demikian beragam dari tiap daerah, yang dapat membangun estafet budaya bagi para milenialnya.

Karena, hanya dari peristiwa budaya seperti itu lah, kekhawatiran dan prasangka kita akan masa depan ummat manusia yang dibudaki robot AI akan dapat terpupus.

17 Juni 2023

Teater Kecil, 

Taman Ismail Marzuki, Jakarta

1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama