Pukul 09.00-9 September 2009





Pukul 09.00, 9 September 2009


Rabu, 9 September 2009.
Pukul 07.00 dokter Iin sudah mendatangiku. Ia menanyai kabarku serta kesiapanku untuk diangkut ke OK, demikian mereka menyebut ruang operasi pusat di rumah sakit ini.
“Insya Allah, siap, Dokter,” sahutku.
“Sebentar lagi ada yang jemput Ibu,” ujarnya sesaat memeriksa tensiku; 150/100. “Minum dulu captoprilnya, ya Bu,” sarannya pula yang segera kupatuhi. 
Captropil adalah obat darah tinggi yang sudah kukonsumsi sejak Maret, 2009.
“Sebentar, Dok, tunggu dulu,” cegahku sebelum ia berlalu. ”Aku masih heran nih, Dokter. Mengapa aku tidak jadi ditransfusi sebelum operasi? HB-ku kan hanya 10,4…”
“Loh? Bukannya sudah ditransfusi tadi malam?” Dokter bertubuh kecil mungil itu tampak terkejut, meskipun berusaha sedapat mungkin menyembunyikannya.
Aku bisa melihatnya!
“Belum!” sanggahku, seketika ada yang mengganjal kembali di dada ini.
Padahal, semalam sudah tidak terasa. Aduh, kacau ini!
“Sebetulnya darahnya sudah ada di Bank Darah, tapi dipending, kata suster jaga, nanti saja waktu dioperasi ditransfusinya,” anakku Haekal menjelaskan.
“Oh, kenapa bisa begitu, ya? Sebentar, tadi aku belum cek laporan di statusnya.” Dokter Iin bergegas meninggalkan kami yang terperangah.
“Malah  balik nanya sama kita. Aneh bangeettt!” sungut Haekal.
“Sudahlah, Nak, kita fokuskan saja; berdoa!” cetusku buru-buru memutuskan belenggu kebimbangan yang serasa mulai menjerat, dan sama sekali tidak nyaman.
Kuminta anakku membantuku menurunkan botol infus, agar aku bisa menentengnya ke kamar mandi. Aku ingin wudhu dengan benar, bukan tayamum sebagaimana terpaksa kulakukan dalam 24 jam terakhir. Aku pun mencoba buang hajat yang tak bisa keluar sejak dua hari yang lalu. Ternyata tak bisa juga!
Mengapa mereka tidak menguras perutku dengan garam inggris, seperti pernah diterapkan terhadapku saat akan dikuret dulu? Mereka hanya memintaku untuk tidak makan dan minum dari pukul sebelas. Bahkan diperbolehkan minum sedikit untuk menelan captropil.
Namun, pertanyaan ini hanya muncul sekilas, berlalu begitu saja bersamaan dengan suara-suara yang memintaku agar; siap, siap, siap diangkut!
Aku sempat mengobrak-abrik lemari kecil, ternyata tak kutemukan baju yang pantas, menurut ukuranku. Baju yang bersih, apik, bukan daster batik kumal yang tersisa. Ini daster milik ibuku, mengapa ada di sini? Bahkan benda ini sempat akan kuberikan kepada Bibi Cuci.
“Dokternya sudah datang tuh, Bu!” entah siapa yang mengingatkanku itu.
Duh, sebentar, mana bajuku?
“Iya, Bu, tidak apa-apa, tenang saja. Ditransfusinya nanti pas lagi dioperasi,” kalau yang ini kukenal, suara dokter Indah.
“Nanti jam sembilan kan darahnya sudah ada di PMI Pusat. Cepat diambil sama keluarganya, ya Bu.” Suster Faridah tahu-tahu sudah muncul di hadapanku.
“Boleh aku minta waktu sebentar, ya Suster. Aku mau shalat dulu,” pintaku, setelah tak menemukan baju yang kuharapkan.
Ya, akhirnya hanya daster lusuh milik ibuku itulah yang bisa kukenakan, menggantikan baju tidur yang sudah lepek oleh keringat. Sudahlah, mungkin memang baju seperti inilah yang paling pantas untuk aku pergi operasi, gumamku kecut. Entah mengapa, tak terpikirkan olehku bahwa di ruang operasi kita akan ditelanjangi, paling ditutup selembar kain hijau steril.
Dokter Kris tiba ditemani seorang adik kelasnya. Kutahu itu, karena sebelumnya dokter muda itulah yang mencatat berbagai hal di statusku, melalui wawancara yang tak kenal waktu. Kusinggung sekali lagi, terakhir kalinya kurasa, perihal takaran darahku, dan kapan mereka akan memberiku transfusi darah.
Ia sudah membawa statusku, tentu telah diceknya pula laporan terakhir.
Maka, katanya dengan sangat meyakinkan, “Darahnya sudah bisa diambil jam sembilan. Keluarga Ibu nanti ambil darahnya, dan segera berikan kepada kami, ya Pak.” Haekal cepat mengiyakannya.
Sudahlah, tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi!
Tepat pukul 07.20, suster Faridah dan rekannya mengeluarkan ranjangku dari kamar yang telah kuhuni dalam sebulan terakhir itu, diseling sepuluh hari di rumah. Kemudian rekannya mengatakan bahwa ia tak bisa mendampingi suster Faridah, karena ada tugas mengantar pasien lain di-USG.
“Dek, maaf, ya, bisa bantu?” Suster Faridah menanyai kesanggupan anakku.
“Baik, baik, insya Allah aku bantu!”
“Kita akan jalan sama-sama ke OK, Bu,” dokter Kris menjejeri suster Faridah.
Ranjang bersama diriku yang telah pasrah sumerah itu pun didorong dari lantai 8 menuju ruang operasi di bawah. Dengan lift terasa sangat singkat, tahu-tahu sudah keluar dari bangunan A. Kami kemudian menyusuri lorong-lorong, berpapasan dengan orang-orang yang sedang ada urusan di rumah sakit ini.
Ini bulan suci Ramadhan, nanti malam adalah malam Nuzulul Quran, gumamku. Aku masih mengingatnya, dan sama sekali tak sudi kehilangan ingatan setelah dioperasi nanti!
“Kenapa, Ma, melihatin langit melulu?” usik Haekal, agaknya matanya tak pernah lepas dariku, dan memperhatikan segala gerak-gerikku.
“Oh, tidak apa-apa, langitnya cerah, biru bening, sama sekali tidak ada awan,” sahutku, berusaha keras menyembunyikan kegalauan hatiku.
Mungkin saja ini terakhir kalinya aku bisa menatap langit-Mu, ya Allah!
Jangan bersedih, tersenyumlah menghadapi apapun!
Ya, sungguh, aku ingin menikmati saat-saat ini untuk menatap langit dengan segala keindahannya. Aku pun tetap membasuh dadaku, perutku, lambungku, semua organ tubuhku dengan zikrullah.
Tiba di OK, ternyata ada dokumen yang belum disertakan dalam statusku. Suster Faridah segera turun tangan, beberapa saat aku dibiarkan menunggu di depan pintu OK yang terasa dingin dan lembab itu. Waktu yang masih kumiliki ini kumanfaatkan untuk memberi pesan-pesan kepada anakku Haekal.
Agaknya hanya wajah anakku Haekal yang terakhir kulihat sebelum masuk OK. Kulihat pasien-pasien lain diantar oleh rombongan keluarganya, ada acara tangis-tangisan segala. Seakan-akan itulah saat terakhir mereka melihat sang pasien.
“Nak, jadilah seorang khalifah yang baik untuk istri dan anak-anakmu, ya.”
“Ya, Ma….”
“Titip Butet, ya Bang, kalau Mama tidak ada lagi….”
“Iya, Mama, iya….” Wajah yang mirip ayahnya itu tampak menahan kepedihan. Ia melepas kacamatanya, jelas kulihat air matanya menggantung di sana.
“Ada beberapa naskah novel yang belum selesai di laptop Mama. Kalau Mama tidak pulang lagi nanti, tolong, ya, diselesaikan saja sama Abang….”
“Mama, jangan ngomong  begitu. Mama pasti kuat, pasti sehat kembali. Ingat si Zein, si Zia, Ma. Mereka butuh Manini. Sudah, ya Ma, mending zikir lagi.”
“Titip juga Oma, ya, kasihan dia sudah sepuh….”
“Iya, Mama….”
“Titip Tante Rosi dan anak-anaknya….”
“Sudah, Mama jangan banyak pikiran lagi.”
Ketika air mataku hampir tak terbendung lagi, maka cepat-cepat kututup mulutku. Ya, sebaiknya jangan ngomong apapun lagi.
Zikrullah, zikrullah, zikrullah!
Setelah menunggu sekitar 15 menit, suster Faridah kembali dengan dokumen yang dibutuhkan.
“Ini jaminannya, ya Dek. Harus dipegang sama keluarganya, jangan dikasihkan sama mereka. Ini akan dibutuhkan nanti kalau butuh obat waktu dioperasi,” entah apalagi yang dikatakannya kepada anakku Haekal.
Belakangan, kutahu Haekal melupakan pesan itu. Ia tidak memegang jaminan Askes yang sudah disetujui managmen rumah sakit. Ketika petugas OK mengambilnya, ia tak bisa memintanya kembali.
Ketika di ICU dan aku membutuhkan obat-obatan yang selangit harganya, ia pun harus membelinya. Beruntunglah, dana yang dikucurkan oleh Ustadz Bobby Herwibowo dan jamaahnya tersedia di ATM-ku. Entah bagaimana pula jadinya jika kita tidak memiliki persediaan uang yang (seharusnya!) lebih dari cukup.
Aku diminta mengganti baju dengan pakaian khusus pasien yang akan dioperasi. Baru kusadari aku tak melihat lagi sosok dokter Kris dan rekannya. Mungkin mereka sudah masuk lebih dahulu.
Pukul 07.55, namaku dipanggil untuk segera masuk ke ruangan operasi. Kusalami suster Faridah dan sekali lagi kuminta maaf lahir batin, karena telah merepotkannya.
“Ini HP Mama, Nak, titip ya. Oya, ambil dulu, potret Mama, Nak!” pintaku sambil menyerahkan ponsel kepada anakku.
“Mama ini kok sempat-sempatnya,” komentarnya tersipu sebab ditontoni beberapa orang. Namun, tak urung ia mengabadikanku, lengkap dengan baju operasiku, sebagai kenang-kenangan. Jepreeet!
Kemudian Haekal mencium tanganku, aku balas mencium ubun-ubunnya, kutiupkan seluruh napas doa dan restu yang kumiliki untuknya.
Entah mengapa, sempat terlintas lakon kami berdua, saat berpisah dengan ayahnya. Berdua ke mana-mana, sejak ia masih bayi merah sampai empat tahun. Lakon itu, lagu kepedihan itu, seketika berseliweran di tampuk mataku, semuanya bagaikan slide-slide sejarah kehidupan kami.
Kamu benteng hati Mama, Anakku!
“Ayo, Bu, sudah saatnya, ikut aku, ya,” kata seorang perawat, memintaku turun dari ranjang milik lantai 8 itu.
“Ya, Suster, terima kasih.”
Sekilas masih bisa kupandangi wajah anakku yang kusayang. Selamat tinggal, Anakku, semoga kita masih bisa jumpa, gumamku membatin. Kupandangi terus sosoknya hingga pintu itu tertutup, dan aku dibimbing memasuki ruangan dalam. Suster itu memperlakukanku dengan santun dan segala keramahannya. Ia bertanya pula dengan lemah-lembut sekali. Tumben!
Mungkin karena ia sedang berhadapan dengan calon jenazah, ya?
Aku diminta naik ke atas brankar yang sudah mereka sediakan.
“Pindah ke sini, ya Sayang….” Nah, dengarlah!
Siapa coba yang mau memanggil si Manini itu dengan sebutan; Sayang?
Tak berapa lama kemudian, perawat itu menyerahkanku kepada dokter muda yang segera menghampiriku, dan memeriksa statusku dengan cermat.
“Oke, Suster, biar aku ambil alih. Terima kasih, ya Sus,” katanya seolah-olah sedang serah terima barang saja.
“Sama-sama, Dokter, selamat bertugas,” sahutnya sambil lalu, sempat pula menyalamiku dan berkata: ”Semoga lancar dan sukses operasinya, ya Bu….”
Aku terdiam dalam nuansa yang aneh, sehingga tak sempat membalas salam terakhir suster. Aku hanya mengaminkannya di dalam hati.
Dokter muda itu mulai mendorong brankarku, memasuki pintu, dan melintasi lorong, koridor. Rasanya ruangan di sekitar kami semakin hening, senyap dan mencekam. Hanya ada bunyi dengung yang khas, mungkin suara pendingin, entahlah.
Barangkali seperti inilah rasanya pesakitan yang hendak dibawa ke tiang gantungan, pikirku. Mataku terus mencermati suasana di sekitarku. Hawa dingin langsung menyergap, bau obat-obatan pun menyengat hidung. Dinding-dindingnya, aku tak yakin itu terbuat dari tembok, beton ataukah bahan lainnya, pasti kedap suara.
“Ini pasien nomer 3, Dokter, dengan splenektomi-laparaskopi kholelitiasis,” cetusnya tiba-tiba, cukup mengagetkanku yang sedang asyik menerawang.
Apa katanya? Hanya disebut sebagai nomer 3, bukan nama? Mengapa harus begitu? Apa aku ini memang seperti pesakitan, narapidana?
“Langsung saja ke sini, dokter Mira!” seseorang memanggil dengan santainya dari sebuah ruangan.
Brankarku dibawa masuk ke sebuah ruangan yang banyak peralatan canggih. Di sini sudah ada dua orang dokter muda dan dokter Ari. Ya, dialah agaknya yang akan mengepalai tim bedahku.
Ia seorang lelaki muda berumur 30-an, wajahnya persegi dengan model rambut seperti anggota intel. Ia duduk di kursi tinggi, seperti kursi di kafe-kafe, sepenggal perbincangan dengan seorang dokter perempuan masih kuingat jelas; mereka bicara tentang Blackberry dan Facebook!
Para dokter muda, asisten dokter Ari, segera sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menyiapkan peralatan bedah, ada yang sibuk mengganti selang infusku dan entah apalagi. Pokoknya, serba sibuk!
Kudegar suara dokter Kris. “Ini nanti dikemanakan, dokter Ari?”
Dokter Ari menyahut ringkas, “ICU dong!”
“Kalau begitu, ini tanda tangani dulu, ya Dok. Biar tempatnya di ICU segera diurus sama keluarganya.”
Artinya, mereka begitu yakin bahwa operasi ini akan sukses, pikirku.
Ya, aku akan selamat dan dipindahkan ke ICU untuk beberapa waktu. Setelah kondisiku stabil tentu aku pun akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Mungkin kembali ke lantai 8. Semudah itukah?
La haola wala quwatta illa billahi aliyyul adziiiim….
Beberapa jenak mereka pun bergantian menanyaiku, masih tak jauh berbeda dengan pertanyaan yang pernah dilontarkan baik oleh dokter Iin maupun dokter Kris. Mereka sempat mendiskusikan penyebab timbunan batu di kandung empeduku. Istilah-istilah kedokteran seketika berseliweran di kupingku.
“Pindah sini, ya Bu. Eh, jangan bergerak! Maksudku, biar saja Ibu tidak perlu bergerak. Biar kita yang melakukannya.”
Aku melanjutkan berzikir dalam hati: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbaaar….”
Mereka mengangkat sepreinya berikut tubuhku dan: “Satu-dua-tigaaaa!”
Maka, aku pun telentang sudah di meja operasi. Dipasangi lagi abocat di  tangan kanan. Jadi, sekarang sudah ada dua abocat dan selang infus di tubuhku, mungkin salah satunya nanti untuk transfusi.
Aku terus berzikir, kali ini: “Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Rahman, Ya Rahim….”
“Ini kita masukkan obat biusnya, ya Bu,” kata seorang dokter muda, menusukkan spuit jarum ke selang infusan di tangan kananku.
Aku hanya mengangguk, lebih suka memusatkan segenap jiwa dan ragaku untuk zikrullah. “Allah, Allah, Allah….”
Mataku masih bisa merasakan, ada yang melolosi baju operasiku, menggantinya dengan selembar kain putih. Aku juga masih bisa melihat dokter Ari mendekat, dokter lainnya menarik semacam kamera ke arahku. Sementara dua dokter lagi semakin sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Bunyi-bunyi aneh mulai menyergap gendang pendengaranku. Betapa aku ingin merekam semuanya ini, andaikan aku bisa, pikirku. Namun, aku sungguh melupakan satu hal, yakni tidak memberi tahu mereka tentang gigi-gigi palsuku.
Ya, salah siapa coba?
Tak ada seorang pun yang memberi tahu kepadaku tentang hal ini.
















0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama