Mengais Rezeki Berdua
Berdua anakku, aku akan mengetuk satu demi satu kantor
redaksi, menjajakan karya-karyaku berupa; cerpen, artikel, cerita bersambung
dan novelet. Minimal dua kali dalam sebulan, aku melakukan aktivitas serupa
itu. Melahirkan karya-karyaku di pavilyun, kemudian menjajakannya ke berbagai
media di Bandung dan Jakarta .
Suatu kali telah kupersiapkan keberangkatan ke Jakarta untuk mengantar
naskah, sekalian mengambil honor di beberapa kantor redaksi. Saat ini anakku berumur
dua setengah tahun, sudah kumasukkan ke sebuah playgroup. Dia mulai bisa
membaca meski terbata-bata, menghapal lusinan lagu, dan beberapa surah pendek
serta doa singkat.
Di TK Yakap Jaya, Haekal mengembangkan kecerdasan dan
kemandiriannya lebih menonjol jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Dia
bahkan melampaui tingkat kecerdasan anak-anak yang lebih tua dua-tiga tahun. Terbukti
dari wawasan pengetahuan yang dimilikinya jauh di atas rata-rata dengan IQ 131.
Dia mudah sekali menghapal berbagai cerita yang pernah
kukisahkan setiap malam. Kemudian dia akan menceritakannya kembali dengan
bahasanya sendiri, ditambah rekaannya pula. Dia bisa menjawab dengan cepat
perkalian 2, 5, 10 dan perkalian angka yang sama umpamanya; 25 X 25, 35 X 35,
45 X 45, 55 X 55 dsbnya. Dia juga hafal sebagian besar cerita pewayangan,
Asterix, Deni Manusia Ikan dan mitologi Yunani.
“Bagaimana Teteh, jadi berangkat sekarang?” bertanya adikku
Ed yang selalu perhatian. “Kelihatannya dia demam…”
Dia memandangi wajah anakku yang memang tampak memias.
Sejak sore memang demamnya tidak turun-turun, meskipun aku telah memberinya
obat penurun panas. Aku mengangkat tubuhnya yang telah kubalut baju hangat,
kaus kaki tebal dan penutup kepala.
“Yaaah… maunya sih kutinggal, tapi malah nanti merepotkan
kalian,” kesahku, mengingat di rumah hanya ada empat adik dan seorang nenek.
Kedua orang tuaku tinggal di rumah adikku En di Cibubur.
Sebab bapak masih dinas di Kodam Jaya. Kutahu bapak sedang mengalami kesulitan
keuangan, seorang adik kuliah, dua di SMA, dua lagi di SMP. Kutahu pula En
telah banyak membantu, bahkan berkorban demi keluarga. Maka, sedapat mungkin
aku jangan pula ikut menambah beban orang tua.
“Ayo sini, dijampe dulu sama Um Ed, ya,” hibur adikku
sambil menggendong anakku.
Kubiarkan dia menenangkan anakku, sekaligus membantuku
menyiapkan susunya. Adikku Ed seorang aktivis Rohis, pengurus remaja masjid
Agung dan mushola di belakang rumah kami.
Setelah sholat tahajud, aku pun minta diantar Ed ke jalan
raya Tagog untuk mencegat bis ke Jakarta .
Ed membawakan keranjang berisi bundelan naskah, yang berbaur dengan baju salin
dan susu anakku. Kugendong dan kupeluk erat-erat anakku sambil membisikkan
semangat di telinganya.
“Kita akan ke Jakarta ,
Nak. Sehat, ya Nak sayang, jangan keterusan sakit. Kita akan mencari nafkah
untuk makan besok, lusa, lusa, lusa dan lusanya lagi… Pokoknya kita harus
semangaaaat!”
Niscaya tiupan semangatku kali ini kacau-balau!
Tapi kulihat wajah anakku menjadi tenang setelah kuminumi
sebotol susu. Sesungguhnya hatiku kebat-kebit, diliputi kebimbangan dan was-was.
Persediaan susunya tinggal sedikit, hanya untuk satu kali minum lagi. Demikian
pula aku tak memiliki obat lagi untuk menurunkan demamnya.
Kondisi keuanganku sungguh pailit, bahkan untuk ongkos pun
aku terpaksa harus meminjamnya dari nenekku. Simpananku terkuras untuk
pengobatanku beberapa bulan sebelumnya, akibat terlambat ditransfusi kondisiku
menjadi parah, malah terjadi komplikasi. Karena tak ada Askes lagi, maka aku
harus menanggung seluruh biaya pengobatan itu sendiri.
“Baiklah, kita berangkat sekarang… lahaola wala quwwatta
ila billahi aliyyul adzim,” gumamku saat kami meninggalkan rumah.
Kuredam segala keresahan, kusingkirkan semua kekhawatiran
itu jauh-jauh. Tak mungkin kuurungkan lagi, mustahil pula menanti terus bantuan
dari orang tua.
Tidak, memang harus mencarinya sendiri!
“Nah, itu bisnya, Teteh, hati-hati ya… Jangan lupa banyak
zikir dan berdoa,” pesan adikku Ed, menghentikan bis dan menyerahkan keranjang
bawaanku kepada kernet.
“Iya, jaga adik-adik dan Emih,” sahutku, Emih adalah nenek
kami dari pihak bapak.
Pukul dua dinihari, sekilas kucermati di dalam bis itu
hanya diriku yang berjenis kelamin perempuan. Selebihnya kaum laki-laki yang
sebagian besar tengah menghisap rokoknya dengan nikmat. Dalam sekejap saja
anakku langsung terbatuk-batuk hebat!
Aku segera disibukkan dalam upaya menenangkan anakku,
bahkan sebelum sempurna posisi duduk kami. Aku memberinya minum, menggosok dada
dan punggungnya dengan minyak kayu putih.
“Mama, apa… Etan bakal mati abak ebek, kayak bapak Etan, ya
Ma?” ujar anakku tiba-tiba sesaat batuknya berhenti.
Untuk beberapa jenak mulutku bagaikan mengejang, lidahku
mendadak kelu. Di bawah cahaya lampu jalanan yang menyelinap melalui jendela,
dan jatuh ke wajah anakku dalam pangkuanku di bangku barisan belakang…
Aku pandangi lekat-lekat wajah mungil yang telah menjadi
korban egoisme dan kezaliman bapaknya itu. Selama perpisahan tak sepeser pun
yang pernah dikirimkan bapaknya kepada anak ini. Luar biasa!
“Tidak, aku tidak melihat pertanda kematian, tidaaaak!”
jeritku dalam hati dan otak yang nyaris mendadak gila.
“Mama… jangan nangis, Etan gak mau nanya apa-apa lagi. Etan
janji, Mama, sudah ya…. Ceppp, ceeep,” suara kecil itu di telingaku bagaikan
sayatan sembilu, memedihkan kalbu.
Tanganku refleks menghapus butiran bening yang sempat
membuncah deras tanpa kusadari. Kurasai pula jari-jemari halus ikut merayapi
pipi-pipiku, menghapus segala resah, seluruh dukalara yang menyungkup hati.
“Dengarlah, Nak, Cinta,” bisikku selang kemudian di
telinganya. “Mama pastikan, kita akan baik-baik saja dalam perjalanan ini…
Tuhan beserta para malaikat-Nya akan memelihara kita, insya Allah!”
Anakku tersenyum senang, walaupun suhu badannya masih
panas. Namun, kutahu dia kemudian tertidur lelap dalam pelukanku. Mujurlah,
kami mendapatkan bangku kosong di sebelah, jadi aku bisa membaringkan anakku
dengan leluasa.
Pukul tujuh pagi kami tiba di terminal Cililitan, kuperiksa
keadaan anakku masih tetap seperti saat kami berangkat. Demamnya malah semakin
tinggi, aura panas begitu menyengat dari sekujur tubuhnya. Dan dia mulai terdiam,
segala keriangan, semua kecerewetannya yang senantiasa menjadi pengobar semangat
hidupku itu…
Duh, ke manakah gerangan ceriamu, Anakku, jangan diam saja,
jeritku membatin sambil menahan tangis.
“Minum, haus, minum, Ma…” rengeknya tiba-tiba.
“Baik, ini minumlah yang banyak, ya Nak…” kuberikan botol
susunya, hanya sekali minum lagi.
Dia meminumnya sampai tandas, jantungku serasa berdebur
kencang. Uang yang ada di tangan tinggal untuk minum air putih dan sekali
ongkos ke kantor redaksi Selecta.
“Habis Ma… Etan gak mau minum lagi. Nanti Mama nangis,
susah deh… Etan mau bobo aja, ya Ma…” ceracaunya, mungkin mengigau tapi masih
mencemaskan ibunya.
Aku menggendongnya erat-erat sambil menenteng keranjang.
Biasanya anakku tak mau digendong sebab dia tahu bahwa ibunya penyakitan, dan
limpanya membengkak. Menyadari ketakberdayaannya dan kepapaan diriku, ada
ketakutan yang meruyak batinku.
Ah, jangan pernah menyeraaaah!
Maka kunaiki sebuah mikrolet jurusan Senen, dari situ aku
akan mencari kendaraan jurusan Tanah Abang, ke kantor redaksi Selecta Group
tujuan utamaku. Sesungguhnya membawa anakku dalam keadaan sakit bukan yang
pertama kalinya. Setahun sebelumnya pun kugendong-gendong dia dalam kondisi
muntaber. Sempat kejang-kejang, metromininya dibakar massa ….
“Saat itu juga kita berhasil selamat kan , Nak,” gumamku di telinganya. “Sekarang
pun kita harus selamat. Sabar, ya Nak, sebentar lagi kita akan sampai di kantor
sahabat-sahabat Mama…”
Rasa terbakar kemudian meruap dari sekujur tubuh anakku,
tatkala kami turun di sebuah halte kawasan Senen. Sempoyongan kugendong anakku
menuju warung. Kuminta obat penurun panas, tapi pemilik warung bilang tidak
ada. Beberapa jenak otakku berusaha keras untuk mengambil tindakan penjagaan
demi keselamatan anakku. Maka kukitarkan pandanganku ke sekeliling kami. Di
mana ini? Tiba-tiba aku baru menyadari keberadaan kami…
Oh, Tuhan, bukankah ini di halte seberang kantor ayah
anakku? Ya, itulah Departemen tempatnya bekerja!
“Bu, Ibu… Maaf, ganggu sebentar, bisakah saya minta
tolong?” tanyaku agak panik kepada seorang ibu berseragam, mengingatkanku akan
seragam ayah anakku.
Ibu paro baya itu berhenti dan memandangiku, kemudian dia melirik
anak yang kugendong dengan mimik terganggu.
“Ada
apa? Kamu siapa?” tanyanya ketus.
“Mmm, begini Bu… Ayah anak saya ini pegawai di Departemen
yang sama dengan Ibu, saya yakin begitu… Bisakah Ibu bantu saya…”
Tiba-tiba aku tak tahu mau minta bantuan apa yang kira-kira
bisa dilakukan oleh lelaki itu? Lelaki yang selalu menghina, mengasari,
melecehkan kehormatan diriku selama menjadi istrinya? Tahu-tahu dia sendiri
bermain-main dengan berbagai perempuan nakal saat istrinya sakit, dan sama
sekali tidak perlu mengakui itu sebagai suatu kekhilafan? Bahkan ditudingnya
diriku sebagai penyebab tindakan zalimnya itu?
“Cepetaaan… mau ngapain sama suami kamu itu?” tanyanya pula
semakin ketus dan tidak sabaran.
“Eee, dia bukan suami saya… mantan… tapi jelas dia ayah
anak ini,” sahutku tergagap dan kian panik demi menyadari anakku seperti tak
berkutik lagi?
“Iyyaa… sebetulnya…”
Kutelan segala luka yang menghunjam dada.
“Demi anakku… Demi Tuhan, apapun rela kulakukan!” pikirku sambil
menggemeretakkan gerahamku.
Aku pun tergesa-gesa mencari secarik kertas di antara
bundelan naskah, kemudian kutuliskan pesanku. Intinya meminta keikhlasan lelaki
itu agar datang ke halte, ikut membantu kesulitan yang tengah kuhadapi.
Kuserahkan kertas agak kumal itu kepada rekan kerja ayah anakku, kuyakin
demikian.
“Ya sudah, tunggu saja di sini! Gak janji bisa bantu loh…”
Seharusnya kumaknai kalimatnya itu sebagai suatu penolakan.
Namun, entah mengapa otakku mendadak buntu, maka bagaikan orang dungu
kunantikan bantuan itu tiba sambil memeluk erat-erat tubuh anakku.
“Minum… Etan mau minum lagi, Ma…” ringik anakku berulang kali.
Aku pun berkali-kali bangkit, meninggalkannya sejenak, membelikannya air putih.
Menyadari betapa bolak-baliknya diriku membelikan minuman,
pemilik warung itu tergerak hatinya. Dihampirinya kami sambil membawakan seteko
air putih, dan sebuah cangkir plastik.
“Kenapa? Anaknya sakit, ya Neng?” tanyanya dengan
kesungguhan dan penuh perhatian.
“Eee… iya Bang, demam…” Kurasai benteng pertahanan di
susut-sudut matanya nyaris jebol.
“Demam begini memang kudu banyak minum, Neng. Ya sudah,
jangan dibayar, minum saja sepuasnya, Neng… Nih, kalau kurang bilang aja lagi,
ya Neng. Moga-moga cepet baekan deh,” kata lelaki kurus berbaju kumal dan
dekil, tapi kentara sekali keramahan dan ketulusannya membantu sesama.
Setelah satu jam berlalu dan aku menyadari kesia-siaan
menanti, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Keajaiban pun terjadi,
kondisi anakku mulai membaik dan semakin membaik. Terbukti dari keringat yang
mengucur deras, kencing berkali-kali yang kutampoung dalam kantong kresek.
Kemudian kulihat wajahnya mulai kemerahan, gerak-geriknya tampak ringan.
“Mama… kita mau ambil honor nih?”
Ya Rob, terima kasih, akhirnya dia mulai lagi cerewet!
“Iya Nak, kita akan ambil honor Mama… Banyak loh nanti
uangnya,” sahutku menahan keharuan yang buncah.
“Banyak, ya… kira-kira nantio bisa buat beli buku cerita?”
“Bisa, tentu saja bisa sekali… Makanya, doakan saja biar
mereka mau kasih honor Mama itu semuanya…”
“Iya deh, Etan pasti mau doain!”
Tak pernah kusangka, perkataannya itu ternyata dia buktikan
dengan tindakan. Begitu kami sampai di kantor redaksi, Jalan Kebon Kacang, dia
langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Tanpa bisa kucegah lagi, dia
kemudian duduk bersila, tepat di pintu bagian keuangan!
“Bismillahirrohmanirrohiiiiim…”
Surat Al Fatihah pun mengalir dengan fasih dari mulutnya.
Usai itu dilanjutkan dengan surat
Al Ikhlas…
Ya Tuhan, apa yang dilakukan anakku? Kelakuannya sungguh
mengingatkanku kepada santri yang suka berkeliling kampung, meminta sumbangan
dari warga…
Dalam hitungan menit para karyawan dari semua ruangan telah
berkumpul, kemudian mengerumuni kami berdua. Tak tahan hatiku melihat
pemandangan yang mengenaskan itu, kuhampiri anakku dan membangunkannya.
“Pssst, sudah Nak, honornya sebentar lagi dapat kok. Sudah,
ya,” bujukku.
Tanpa kuduga pula seketika dia berteriak sambil
berjingkrak-jingkrak, menggemaskan sekali.
“Horeeee! Honornya udah dapat! Makasih, makasih,
makasiiiih… Ya Alloooooh…”
Bapak Syamsuddin Lubis biasanya akan mengajaknya masuk ke
ruangannya. Memberinya banyak cokelat dan makanan kaleng, oleh-oleh dari
Singapura atau Malaysia .
Dia memanggilnya dengan sebutan; Ucok.
“Kenapa Etan dipanggil Ucok, Ma?” tanyanya ketika kami telah
meninggalkan kantor redaksi itu menuju Pasaraya Sarinah.
“Mmm…” Tentu saja aku harus berterus-terang tentang asal-usulnya,
pikirku.
“Ya, Ma?” desaknya kulihat matanya ingin tahu.
“Yah, karena ayahmu itu orang Batak bermarga Siregar.
Biasanya anak laki-laki Batak itu suka dipanggil Ucok,” sahutku.
“Mmm… gitu, ya Ma… Emang bapak Etan di mana, Ma?”
“Iya… eh, kan lagi kerja
di Jakarta …”
“Ini di mana kita, Ma?”
“Jakarta …”
“Naaah… ayo kita ketemu bapak Etan, ya Ma, ya?”
Oooh, anakku… kamu tak tahu apa sesungguhnya yang tengah
terjadi. Mulutku terkunci rapat, kupandangi wajahnya yang mulai memperlihatkan
bentuk persegi. Ya Tuhan, mengapa begitu miripnya anak ini dengan ayahnya?
Seumur hidupku, kurasa, keduanya takkan pernah mampu kulupakan. Bahkan meskipun segala derita harus
kutanggung.
“Dengar, ya Nak Cinta,” aku membungkuk dan mengusap-usap
kepalanya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan ketemu bapakmu lagi...”
“Gak sekarang, ya Ma?” pintasnya sambil cengengesan. Aku
mengiyakan. “Ooh… ya sudah! Sekarang mah kita jadi beli buku cerita saja, ya
Ma, ya? Kan Mama udah dapat honor…”
Sosoknya yang imut-imut itu segera melesat ke rak buku
begitu kepalaku mengangguk. Aku geleng-geleng kepala nyaris tak memercayai,
rasanya belum lama dia panas, dingin dan menggigil silih berganti dalam
pelukanku.
***
Posting Komentar