Cintaku Lebur di Alexandria





Cerpen: Pipiet Senja

Dimuat di Harian Republika, Agustus 2013
           
Pesawat Qatar Airways yang membawa Diah Pramesti dari Jakarta akhirnya menukik, menyemburkan dengung di kuping. Sehingga suara-suara di sekitarnya samar-samar dan nyaris tak bermakna. Namun, ada yang bergemuruh dalam dada ini, gumamnya membatin. Tak ubahnya gemuruh massa di lapangan Raba’ah Al Adawiyah, menyuarakan protes keras atas kezaliman dan ketakadilan yang menimpa mereka.

“Jangan datang ke Mesir saat ini, wahai Diah Pramesti. Sungguh akan sangat tidak aman bagi dirimu yang sedang sakit begitu,” terngiang kembali suara Ameer melalui ponsel. Kecemasannya terdengar melebihi segala kengerian yang ditimpakan junta militer terhadap dirinya dan pergerakannya.

“Tidak ada waktu lagi, Ameer. Kau tahu, lima dokter ahli yang kukunjungi seolah sepakat telah mengetahui masaku hampir habis,” kilah Diah Pramesti gemetar, sesaat terbebas dari dengung bunyi mesin perekam jantung ruangan ICCU.

Berbulan itu, keberadaannya nyaris selalu sendirian. Tiga anak yang telah dewasa dan mandiri semuanya berada di Eropa. Sementara lelaki yang pernah menjadi imamnya telah lama pula pergi, meninggalkannya dalam keadaan sakit. Ia memilih mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

“Tinggallah bersama kami, Mama,” ajak sulungnya, Salma yang tengah S3 bersama suaminya di Perancis.

“Kami selalu siap menemani hari-hari Mama,” pesan Nadia, putri kedua yang bersuamikan mualaf Belanda. Mereka tinggal di Blaricum, Holland.

“Kapan Mama siap kami jemput?” tanya Qania, si bungsu, tinggal di Inggris bersama suaminya, seorang WNI pebisnis properti.

“Tidak, anak-anak sayang, terima kasih. Mama hanya akan mampir sekali-sekali. Tetapi tetap memilih tinggal di Tanah Air, di sinilah tempat Mama,” kilahnya tanpa perlu menyebut alasan lain.

Sejujurnya sebagai seorang seniman Indonesia, Diah tak pernah merasa kerasan berlama-lama tinggal di negeri orang. Demikian yang dirasainya setiap kali dirinya berkelana dengan buku ke berbagai negara. Paling lama ia mampu tinggal selama sebulan di Hong Kong dan Taiwan. 

Dua negara favoritnya, karena di sanalah dirinya merasa benar-benar dibutuhkan, dihargai dan bermanfaat bagi kaum Buruh Migran Indonesia. Lima tahun terakhir, ia begitu gencar meneror para BMI atau TKI agar merekam jejak mereka. Tak pernah jemu, tak pernah lelahnya, sehingga ia dijuluki sebagai emaknya BMI.

Beberapa bulan menjelang revolusi Mesir, ada satu nickname yang masuk secara tiba-tiba ke bilik gtalk atas namanya, dinihari itu. 

“Assalamu alaikum, boleh silaturahim, wahai Diah Pramesti? Aku kenal namamu melalui website atas namamu. Aku mencermati semua postinganmu, termasuk foto-foto dan video kegiatanmu,” demikian sapa pertama yang berlanjut dengan sapaan-sapaan berikutnya.

“Aku boleh jujur kepadamu, ya Ameer?” kata Diah melalui chatt online Skype.
“Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Diah Pramesti?” balas Ameer.
“Semuanya sudah jujur kecuali satu hal saja bahwa aku tidak pandai menulis dalam bahasa Inggris,” aku Diah tanpa sembala.

“Tidak mengapa, bukan masalah. Sekarang aku mulai pandai bahasa Indonesia. Ada temanku, anak Al Azhar si Ahwazi yang rajin sekali mengajariku bahasa Indonesia.”
“Oh, syukurlah,” kata Diah merasa lega.

“Sekarang giliranku. Bolehkah aku berjujur-jujur kepadamu?”
“Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Ameer?”“Uumm, itulah, itulah…. Bahwa aku seorang duda yang ditinggal istri ketika melahirkan anak kedua. Bahwa aku memiliki seorang putri, sudah remaja. Dialah, Aisha yang menunjukkan website pribadimu kepadaku.”

“Baik, ada lagikah yang engkau sembunyikan dariku?”
“Aku seorang aktivis, uumm, boleh dibilang pemberontak. Sesungguhnya kami penentang rezim Mubarak, Diah.”

“Baik, tidak mengapa, dan aku bangga mendengarya. Ada lagikah?”
“Umm, masih, tetapi pentingkah itu buatmu, wahai Diah Pramesti?”
“Oh, jika engkau tak berkenan, biarkanlah begitu saja.” 

Hanya sampai di situ pembahasan identitas. Selanjutnya lebih banyak diskusi tentang berbagai hal, termasuk politik dan situasi kondisi Mesir saat itu. Diah memutuskan untuk memungkasnya, ya, persahabatan tidak perlu pemaksaan. 

Jika Ameer ingin menyembunyikan beberapa hal tentang identitasnya, biarkanlah demikian, pikirnya. Lagipula, siapa mengira jika hubungan ini akan menjadi serius dan berkembang ke arah lain?

Ketika revolusi akhirnya terjadi juga hubungan mereka sempat terputus. Diah hanya bisa berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hingga suatu saat  nickname itu kembali muncul di layar laptopnya. Semuanya telah berubah, lapor Ameer. Revolusi Mesir telah terjadi, rakyat memilih seorang pemimpin baru dari pergerakannya.

“Dia seorang hafidz dan akan memerintah sesuai dengan syariat Islam,” pungkas Ameer, terdengar menggebu-gebu sarat dengan semangat perjuangan.
Dia memejamkan mata, membayangkan seraut wajah tampan dengan hidung mancung, sepasang mata elang dan bibir anti nikotin. Perawakannya tinggi tegap, atletis, sebagaimana galibnya lelaki bangsanya. Bahkan baru melihatnya melalui layar monitor saja, telah ada getar-getar ajaib yang menggejolak dalam dadanya.

“Ummi, silakan, Anda yang terakhir turun,” seorang pramugari berwajah khas perempuan Arab, menyentakkan dirinya dari seluruh khayalnya.

“Oya, syukron, maaf,” kata Diah bergegas bangkit, meraih tas kecilnya dan berlalu dengan wajah tersipu-sipu. Persis seorang anak perawan yang dipergoki ibunya sedang melamunkan cinta pertamanya.

"Ini apa masalahnya, ya Nak?” Diah menunjukkan selembar kertas scan kiriman Ameer kepada pelajar Gontor yang satu pesawat. Tiket, visa calling dan akomodasi semuanya saja sudah diurus Aisha, demi pertemuan ini, begitu menurut Ameer saat terakhir berkomunikasi via telepon.

“Harus beli visa masuk seperti kami, Ummi.” Anak muda itu menunjukkan paspornya yang telah diterakan visa Mesir seharga 15 USD.  Diah keluar antrian dan bergegas menuju konter money changer.

Visa sudah dibeli, paspornya dicap, dan ia telah pula diperbolehkan keluar dari kawasan Imigrasi Egypt, tatkala tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk melalui Whats App. 

Ahlan wa sahlan di Kairo, wahai Diah Pramesti. Afwan, ternyata aku tidak bisa menjemputmu. Kami baru saja mengalami ujian. Presiden Mursi digulingkan oleh militer. Jangan khawatir ada Aisha menantimu di pintu kedatangan.”

Seketika Diah merasai ada sayatan luka jauh di ujung kalbunya, serasa separuh nyawa sekejap terbang, mencari sosok dambaan. Ada firasat tak nyaman yang mencengkeram hatinya.

“Open! Opeeen! Very hard, what’s is this?” sergah seorang petugas ketika ia baru saja dua-tiga langkah hendak mencapai pintu kedatangan. Lelaki itu menjegal langkahnya, memukuli koper besar milik Diah.

“Book, only books.” Diah mencoba menjelaskan. Petugas tetap bersikukuh memerintahkan agar membuka kopernya. Diah tergagap, sampai lupa dimana dirinya menaruh kuncinya. 

Sesungguhnya ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada dua kali kunjungan ke Kairo sebelumnya pun pernah mengalami hal serupa. Diperintahkan membongkar bawaannya. 

Ketika itu ia bersama rombongan, ada seorang rekan sastrawan dan jurnalis bersamanya. Kepercayaan dirinya kuat tersebab berjuluk Duta Budaya Indonesia.

Sedangkan saat ini ia hanya seorang diri dan bukan undangan resmi untuk seminar kepenulisan. Ini urusan pribadi, terlalu nekad pula untuk datang ke negeri yang sedang bergolak. Qania, mengingatkannya berkali-kali. “Mama, untuk apa pergi ke Mesir segala? Itu negara sedang bergolak. Boleh jadi akan terjadi revolusi jilid dua!”

Salma mendukung apapun pilihannya. “Pergilah dan temui dia, jika itu memang akan membahagiakan hari-hari Mama. Semangat, ya, Mama cintaku. Salam sayang dari tiga cucu Mama, mhua!”

“Buka! Apakah kamu tuli, Mom?” bentak petugas membuyarkan sebagian impian dan asa yang dimilikinya.

“Baiklah, hmm, ini dia kuncinya!” Bagaikan seorang nenek linglung, perempuan paro baya itu bersegera membuka kopernya.”Ini suvenir untuk sahabatku. Saya seniman, penulis dari Indonesia,” jelasnya tanpa diminta, tetapi cukuplah membuat petugas itu terpuaskan.

Oke, go!” titahnya tanpa basa-basi.
Pagi baru saja menguak langit Negeri 1000 Menara. Diah mendorong troli keluar dari pintu kedatangan. Matanya mencari-cari sosok dara yang hanya dikenalnya melalui Skype. Tiada seorang pun yang dikenalnya, semuanya asing belaka. Sedetik ia menanti, detik berikutnya sosok bergamis dan cadar serba hitam berkelebat menghampirinya.

“Bunda Diah, ya?” sapanya dalam nada lembut mendesir di kuping Diah.”Aku putrinya Aba Ameer. Mari, ikuti kami.” Yang dimaksudnya itu adalah dua orang lelaki berperawakan tinggi tegap, berpakaian sederhana sebagaimana layaknya orang biasa. 

Nalurinya membisikkan bahwa dalam kebersahajaan itu tersembunyi kekuatan dan semangat jihad maha dahsyat. Potret mujahid sejati!

Diah bergerak dalam langkah gegas, tanpa bicara, tanpa komentar apalagi salam perjumpaan seperti layaknya orang yang baru bertemu. Sosok bercadar yang mengaku putri Ameer menggenggam tangannya erat-erat.

“Siapa mereka?” Diah mendesiskan keterkejutannya.“Mengapa mereka berseliweran di Bandara?”

“Militer menjaga Bandara, kalau-kalau Presiden Mursi melarikan diri ke luar negeri,” sahut Aisha perlahan.

“Lekas masuk, Ummi,” gumam salah seorang pengawal, demikian kemudian Diah menafsirkannya.”Sebelum mereka menyadari bahwa kita bagian dari pendukung Presiden Mursi.”

Suasananya mendadak terasa gawat darurat. Panser kian berseliweran di mana-mana, tentara berseragam warna pasir gurun pun siaga dengan senjata berat di tangan. Landrover jelek, entah buatan tahun kapan, berusaha keras menyelip di antara kendaraan keluar dari Bandara. 

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jalanan Kairo diwarnai dengan kendaraan butut. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang tampak bagus, apalagi mengkilat tanpa goresan. Kebanyakan mobil yang melintas diwarnai mulai dari goresan, baret, penyok hingga tak berjendela di salah satu sisinya.

Sebuah mobil sedan kuno seketika menyalip kencang, tampaklah tiga anak duduk di bagian bagasi yang terbuka lebar. “Astaghfirullah!” seru Diah tertahan di tenggorokan. Tak ada urusan tilang, tak ada lampu merah dan tanda-tanda lalu-lintas apapun di penjuru jalanan kota tertua di Afrika ini.

“Di mana ayahmu, Nak?” tanya Diah, sungguh tak tahan lagi dalam belenggu misteri dan teka-teki. Seperti apakah gerangan sosok itu dalam kenyataan?

“Nanti kita akan bertemu dengan Aba di Ismailia,” sahut Aisha, seketika melepas cadarnya, sehingga tampaklah keelokan parasnya yang menawan.

“Subhanallah, kamu sungguh jelita, Nak. Boleh aku memelukmu?” Tak perlu menanti jawabannya, Diah bisa menangkap bernas kerinduan menggantung di sudut-sudut mata remaja putri itu. Untuk beberapa jenak keduanya saling melepas rindu, seakan telah lama akrab, dan tak ingin terpisahkan kembali. Magnit cinta telah membelenggu dua perempuan berbeda generasi ini.

“Kita mau ke mana, hei, Aisha?” tanya Omar, sepupu Ameer.“Tadi malam Aba memerintahkan agar membawa Bunda Diah ke Ismailia, ke rumah keluarganya.”

“Itu sangat berbahaya, terutama untuk dirimu, Aisha. Militer dikabarkan telah mengepung Ismailia. Mereka sedang mencari ayahmu dan keluarga kita.”

“Belum ada kabar terbaru dari ayahmu, Nona?” tanya sang pengawal. Aisha menggeleng lesu. Ini membuat hati Diah seketika menciut. 

Bayangkan saja, dirinya begitu bersemangat berkunjung ke Kairo hanya demi bersua dengan Ameer. Berharap janji yang pernah terikrar tidak sekadar omong kosong dalam pergaulan dunia maya. Kenyataannya sosok yang dicari bahkan keberadaannya pun entah di mana.

“Bunda, kita berdoa saja, serahkan kepada Sang Takdir,” begitu lembut menyejukkan, mengingatkannya kepada putri sulungnya. “Bunda boleh menganggapku seperti anak sendiri.” 

Diraihnya jemari Diah kemudian dikecupnya sepenuh sayang. Ada titik bening bergulir dari sudut-sudut mata remaja putri keturunan Hadramaut ini.

“Mengapa kini engkau berkeinginan mencarikan ibu bagi putrimu?” tanya Diah ketika lelaki asing yang belum pernah temu muka langsung itu, tiba-tiba melamarnya sebagai ibu pengganti untuk Aisha. Ia sempat tertawa gelak, menganggapnya sekadar candaan belaka.

“Selain karena permintaan putriku, kurasa engkau seorang perempuan yang berbeda. Kami membaca setiap postingan di rumah mayamu. Kau tahu, siapapun bisa menangkap kebersahajaan, kesabaran dan ketangguhan sejati penulisnya.”

Seminggu Diah menanti besama Aisha di apartemen sewaan di kawasan Alexandria. Berbagai berita dan perkembangan situasi politik negeri Kinanah hanya diketahuinya melalui tayangan televisi. Dua-tiga kali ia berhasil membujuk Aisha untuk mendekati Ismailia, Rabaah Al Adawiyah dan tempat-tempat yang dikabarkan Ameer menggalang kekuatan. Namun, mereka tak menemukan sosok yang dicari.

Kini bahkan Aisha, Omar dan pengawalnya pun telah pergi. Tanpa pamitan, mereka diam-diam meninggalkannya sejak kemarin malam. “Aduhai, Ameer, hanya sampai di sinikah puncak pengharapan kita?” kesah Diah, seorang diri duduk tercenung di tenda kafe pantai Alexandria.

Pagi telah berganti siang, dan siang pun bergerak menuju petang, kemudian menyingkirkan tirai malam dalam puncak risau. Seorang pramusaji menghampirinya, menyodorkan tagihan sambil bergumam, penuh kegeraman.”Mereka semakin brutal dan keji saja membantai orang tak berdosa. Dasar antek-antek Yahudi!”

Sekilas mata Diah dilayangkan ke layar televisi. Penyiar sedang mewartakan sebuah insiden mengerikan.

”Mereka menembaki orang-orang yang sedang sholat subuh di mesjid.” 

Korban berjatuhan, wajah-wajah penuh darah ditayangkan, lelaki, perempuan dan anak-anak. Jantung Diah berdegup kencang tatkala matanya menangkap dua sosok yang tak asing lagi. 

Wajah lelaki keturunan Hadramaut itu, sosok yang dicarinya, kini berlumuran darah sedang memeluk putrinya yang juga telah tak bernyawa. (Madinatul Nasr, Juli 2013)





2 Komentar

  1. Astaghfirullahaladziiim, merinding sekali Bunda saat membacanya :(

    BalasHapus
  2. terpana. . .
    _khadijah_

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama