Qithab Citadel - Alexandria
Maadi-Kairo,
Juli 2013
Setelah
mengikuti agenda yang superketat, akhirnya rombongan pemateri Semesta Menulis berkesempatan
juga wisata Kairo. Kemarin masih dipisah dua; sementara rombongan RRI diajak belanja
ke Asfour, kami bertiga; saya, Irwan Kelana dan Sastri Bakry masih mengisi
kelas menulis dan jurnalistik hingga larut malam.
Meskipun
demikian kami bertiga pada pagi harinya masih sempat ziarah ke makam Imam
Syafi’i. Salah satu Imam besar penyampai ajaran Rasulullah SAW, hingga diyakini
umat Muslim seperti sekarang.
“Jangan
kaget, ya Bun, kondisinya pasti jauh dari bayangan kita,” kata Agus, ketua
panitia Semesta Menulis yang sangat peduli dengan segala kebutuhan para
pembicara.
“Tidak,
heranlah, aku tahu bagaimana makam-makam di Mekkah dan Madinah,” tukasku.
Sebulan yang lalu aku baru umroh, membayangkan pemakaman Baqi tanpa nisan dan
mungkin jenazah yang dikuburkan di sana ditumpuk begitu saja.
Begitu
memasuki kawasan makam Imam Syafi’i yang terkesan kusam, kami disambut dua
peminta perempuan mengoceh bahasa Arab. Kusangka dia sedang mendoakan kami,
jadi sempat kusambut gumam;”Amiiin, amin….”
Putri,
mahasiswi Al-Azhar, berbisik mengingatkanku bahwa peminta itu bukan berdoa,
melainkan sedang meracau meminta-minta belas kasihan pengunjung. Alamak, aku
tersipu, ditertawakan Sastri Bakri dan Irwan Kelana yang meledekku
habis-habisan.
Bersama Putri di Benteng Sholahudin Al Ayyubi
Nuansa
dingin sekejap menyergap hidung saat memasuki ruangan buram, nyaris tanpa lampu.
Lama aku termenung di depan makam Imam besar itu. Kondisinya sungguh
memprihatinkan, dingin, buram dan berbau apak. Inilah tempat peristirahatan
terakhir tokoh Islam yang begitu Agung, tinggatannya niscaya lebih tinggi dari
para Wali.
Sungguh
berbeda dengan kondisi makam para Wali di Jawa. Begitu megah, kokoh dengan
pualam bening dan sungguh sangat disembah-sembah oleh kuncen, pengurus
pemakaman dan para pengunjungnya. Tak jarang dikeramatkan, bahkan masih banyak
pengunjung yang mengambil benda di areal pemakaman untuk dijadikan jimat. Na’udzubillahimin
dzalik!
“Ini
diyakini sebagai jejak Rasul,” jelas pemandu.”Imam Syafi’I satu malam bermimpi
majelis kajiannya didatangi oleh Rasulullah. Di sinilah tempatnya, ajaibnya,
ini ada jejak semacam telapak kaki.”
Subhanallah,
wangi surgawi, harum kiswah sekejap semerbak menerpa hidungku begitu karpet
diangkat di satu sudut sebelah kiri makam itu. Ya, jadi di sinilah keajaiban
tempat ini, gumamku menyeru takbir dalam hati.
“Sekarang
kita menuju Alexandria, ya bunda-bunda dan ayah-ayah,” ujar Agus pada pukul
enam pagi itu. Bersama kami ada jajaran panitia lainnya, lebih selusin, empat
mahasiswi sisanya yang gagah-gagah seperti Maulani.
“Baik,
dari Cibubur sekarang menuju Alexandria. Berhari-hatilah, Maulani,” kataku
didendangkan ala Jeremi Teti. Anak-anak sontak berseru-seru dan menertawaiku.
“Dasar
turunan Sule, ya, anak-anak,” sekalian kukocok suasana dengan canda dan tawa.
Semakin riuh gelak tawa mewarnai kendaraan jenis minibus pinjaman Gunawan,
bosnya Indomie. Entah bagaimana jadinya panitia jika tak ada kendaraan yang
setia mengantar-jemput para pemateri, dari penginapan mnuju lokasi yang berbeda
selama empat hari berturut-turut.
“Bunda,
mengapa harus Maulani terus yang digoda?” tanya neng Farah.
“Kata
Butet, Maulani itu anak yang kiyut dan menggemaskan. Hihi!”
“Memang
sudah kenalan ya Teteh Butet dengan Maulani?”
“Yeeeh,
kan lewat twitterland.”
“Manini
gahoool, horeeee!”
Kami
tidak bisa mendekati sungai Nil dari sudut terindah di kawasan Nasr City.
Karena terlalu dekat dengan Tahrir Square, tempat pendemo oposisi bertahan,
entah menuntut apalagi setelah Mursi dikudeta Militer.
“Berhenti,
di sini sajalah, cukup bagus pemandangannya,” pinta Sastri Bakry. Maka, kami
pun turun untuk sekadar foto-foto di kawasan anak sungai Nil itu. Ibu Irjensus Kemendagri
yang juga sastrawati berasal dari Sumbar ini fotogenik. Foto-fotonya selalu
bagus dan dia pandai bergaya. Maklum, multi talenta, sewaktu muda menjadi
penari, pemain teater, penyanyi pula.
“Cantik
dia dalam gaun itu, ya, hmmm,” kupergoki Zulhaqqi dan Anhar bisik-bisik
tetangga, ngerasanin Sastri Bakry. Ini di pelataran benteng Sholahudin Al
Ayyubi.
“Naaah!
Ketahuan, ya!” gebahku dari belakang kedua petinggi RRI ini.
“Apaan
sih Teteh, ah, psssttttt!” serempak keduanya saling pssst-pssst dengan wajah
memerah jambu.
“Mana
anakku, saya titip ya,” cetus Irwan Kelana yang jatuh hati ingin mengambil
Putri sebagai menantu untuk anak kedua.
Awalnya
terjadi persaingan ketat dengan Anhar yang juga konon mempunyai niatan serupa.
Kadang suasananya terasa memanas, keduanya dipanas-panasi oleh anak-anak
Masisir yang ikut kami.
“Ayo,
mau tas penuh dolar itu atau berpihak ke Irwan Kelana,” canda Anhar yang memang
humoris.
“Pak
Anhar, mohon tidak mendudukkan saya dalam posisi sulit,” keluh Agus berlagak
komplen. Maklum, budget proposal yang pernah diajukan ke KBRI hanya dipenuhi
tidak sampai 10 persen dari budget ajuan. Mujurlah ada donator baik hati
seperti Gunawan, bosnya Indomie itu.
“Masih
kurang sekitar 800 USD lagi untuk kateringnya, Bun,” jawab Agus ketika aku
mendesaknya. Kemudian segala utang diselesaikan berkat bantuan dari sponsor RRI
melalui Anhar.
Akhirnya
sampailah kami di pantai Alexandria yang terkenal sedunia itu. Ketika 2006 aku
ke sini bentengnya belum direnovasi. Kini telah berdiri dengan megahnya Qithab
Citadel, benteng Romawi. Tempat ini mengingatkan kita akan sejarah Julius
Caesar yang tunduk pada pesona Cleopatra.
Tidak
sampai dua jam kami berada di Alexandria, baru saja makan siang yang terlambat
ketika kabar itu sampai. “Mursi telah dikeluarkan, para pendukungnya akan
menyambutnya dan turun ke jakan-jalan di Kairo. Sebelum terjebak macet
sebaiknya sekarang kita kembali ke penginapan di Maadi, Kairo.”
Belakangan
ternyata Hoax!
“Sekarang
dari Alexandria menuju Kairo, berhati-hatilah, Maulani,” seruku, kembali
dilagukan dan anak-anak Masisir menyoraki sambil tertawa gelak. (Madinatul
Nasr-Kairo, Juli 2013, Pipiet Senja)
Posting Komentar