Biarkan 0rang Ngomong, Anakku



Berat badan Butet hampir tak pernah bergeser dari 19 kilogram di usia sembilan tahun, saat duduk di bangku kelas lima SD. Aku memutuskan untuk melakukan ceck-up ke RSCM. Keluhannya, Butet tidak suka makan dan sering merasa sakit di bagian dada sebelah kiri. Kalau sudah sakit dia sampai berguling-guling di lantai. 

Belakangan diketahui bahwa dia terkena reumatik ringan pada jantungnya, dan ada flek di paru-parunya.
“Nah, kali ini Mama jadi pengantar, bukan pasien,” cetusku saat kami berada dalam barisan loket Askes poliklinik anak.

“Mama kan harus ditransfusi juga, matanya sudah kuning tuh!”
“Iya, tapi gak bisa hari ini. Nanti saja kalau urusan Butet kelar.”

Hari pertama itu Butet dikonsultasikan dulu ke poliklinik umum. Setelah diperiksa sekitar lima menit, sungguh tak seimbang dengan penantian yang berjam-jam, dokter merujuknya ke poliklinik jantung dan poliklinik paru.

“Siang ini gak bisa, dokternya sudah pergi,” kata seorang petugas, bukan perawat, perempuan paro baya, mengenakan kain-kebaya dan sanggul kuno. Mengingatkanku kepada bintang drama keluarga, Marlia Hardi yang mati bunuh diri gara-gara terjerat utang.

“Besok datangnya harus pagi sekali, ya. Ini harus diperiksa jantungnya dan dironsen paru-parunya!”

“Kalau pake Askes bisa gak, ya Bu?” tanyaku dengan hati kebat-kebit, tak bisa kubayangkan, dari mana harus kuperoleh dananya dalam waktu singkat.

“Kayaknya sih gak bisa!”
“Berapa biayanya, Bu?”
"Tanya aja sendiri di lantai atas!” ujarnya ketus, mengakhiri percakapan.

Di lantai atas, tempat semacam USG jantung anak-anak, kami ketahui dananya dua ratus ribu. Kalau ronsen masih bisa Askes. Belum pemeriksaan laboratorium, totalnya harus menyediakan dana tiga ratus ribu!

Tahun 1999, masa-masa krismon, uang belanjaku per hari lima belas ribu rupiah. Ajaibnya, honor cerpenku hanya naik sedikit, di majalah Bobo dibayar seratus ribu rupiah. Majalah-majalah wanita dan keluarga saat itu banyak yang pailit. 

Penerbit Margi Wahyu yang selama sepuluh tahun terakhir sangat menyokong keuanganku, membeli naskah anak karyaku untuk diterbitkan sebagai buku Inpres, sama mengalami goncang.

Alhasil, keuanganku sungguh morat-marit. Penghasilanku sebagai seorang penulis anjlok drastis. Dalam lima tahun terakhir itu, secara rutin suami memberiku uang harian, dimulai dari lima ribu, sepuluh ribu sampai dua puluh ribu rupiah. Hanya uang belanja!

“Ya sudah, demi si Butet, ini kubayar semuanya!” bapaknya menyodorkan tiga lembar ratusan ribu di meja kerjaku, nyata sekali suaranya terdengar tidak rela.

Benar saja, terbukti dia melanjutkannya; “Selama ini orang tuamu mengira kamulah yang hebat dalam rumah tangga ini. Semuanya kamulah yang membiayai, padahal nyatanya, bah! Kamu ini cuma pengarang yang payah amat, pengarang miskin, tak punya apa-apalah itu!”

“Suatu saat semuanya akan kembali membaik, yakinlah akan kemurahan Allah. Aku akan mengembalikan semuanya ini kepadamu. Insya Allah, catat itu!” tukasku dengan hati yang serasa direjam sembilu.

Aneh sekali memang, siapa yang disebut kepala keluarga di sini, demikian aku berpikir.
Butet mengira pertengkaran itu disebabkan dirinya yang sakit. Sambil berurai air mata dia mendatangiku ke kamar kami dan berkata: “Mama, udah deh… Gak usah bawa Butet berobat lagi. Biarin aja Butet sakit dan mati, hikkksss…”

Kuraih tubuhnya yang kurus mungil itu, kudekap dalam dadaku erat-erat, kubisikkan kata-kata penghiburan di telinganya. Aku mencoba meyakinkannya bahwa betapa berartinya dirinya untukku, untuk abangnya.. Jadi dia harus ikut berjuang agar sehat dan kuat.

Sepanjang perjalanan hari itu, untuk pertama kalinya, Butet mencecarku dengan berbagai pertanyaan; seputar perlakuan ayahnya, keganjilan-keganjilan yang disaksikannya. Intinya, dia baru menyadari bahwa ayahnya tidak sama dengan ayah teman-temannya

Yup, kesadaran itu!
“Kenapa Papa gak pernah ngasih duit buat beli baju Mama?”
“Ibunya teman-teman Butet suka dibeliin perhiasan sama suaminya…”

"Windi bilang, ibunya baru punya gelang dibeliin bapaknya…”
 “Kenapa Butet cuma dikasih baju dan sepatu pas lebaran saja sama Papa?”
 “Kenapa Papa suka menyakiti Mama dan Abang?”

Selaksa tanya terus terlontar dari mulutnya sampai aku harus mengakui; “Yah, demikianlah adanya ayahmu, Nak. Kamu harus terima itu sebagai ladang ujian. Berdoalah semoga Allah segera memberikan jalan keluarnya kepada kita.”

“Huuuh… pantas temen-temen Butet bilang, bapak Butet itu aneh!”
“Kenapa mereka bilang begitu?”
“Katanya, anak-anak pernah lihat Papa marah-marah di jalan. Cuma gara-gara hampir ketabrak anak-anak…”

“Wajar saja kalau begitu,” tukasku jadi tertawa, membayangkan ayahnya yang lagi serius menyusuri gang sekonyong nyaris ditabrak anak-anak.

“Tapi katanya, marahnya Papa itu bukan main! Masa berantem sama anak-anak di jalan?” sahutnya serius sekali.
“Sudahlah, Nak. Jangan dengar omongan orang, ingat!”

Butet terdiam, kukira karena kelelahan dengan pikirannya sendiri. Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa si kecil kesayanganku sedang beranjak menjadi seorang ABG. Dan untuk pertama kalinya pula aku merasa dilempar ke jurang kecemasan dan kebimbangan.

Dia seorang anak perempuan, keluhku. Ini sosok yang berbeda dengan abangnya. Terhadap Haekal, aku merasa telah berhasil mengantisipasi dampak kekerasan. Setidaknya hingga duduk di bangku SMA, sulungku itu selalu meraih prestasi terbaiknya. Menjadi anak yang manis, penurut, pendeknya tak pernah membangkang. 

Mekipun kutahu persis, bagaimana berat beban jiwa, beban batin yang harus dipikulnya dengan kondisi yang begitu banyak ketakadilan di rumahnya.

Tiba-tiba aku merasa sangat sedih dengan ketakberdayaanku!
“Mama nangis, ya, aduh, iiih! Maafkan Butet, ya Ma, lupakan omongan Butet tadi,” tersentak Butet merangkul bahuku dan memelukku erat-erat.

Kami masih di atas bemo, sebentar lagi turun di halte Salemba.
“Maafkan kelemahan Mama, ya Nak. Maafkan segala keterbatasan Mama,” gumamku buru-buru menghapus air mata yang mengucur deras.

Kami turun di bawah tatapan heran para penumpang.

Ternyata beban hati kami masih ditambah dengan perlakuan buruk Bu Sanggul, sebut saja demikian, pegawai di poliklinik paru-paru.

“Ibu ini kenapa sih gak nurut? Kan sudah dibilangin kemarin. Harus datang pagi-pagi. Ini demi kebaikan anak ibu sendiri! Eh, ini kok maunya bawa karep sendiri aja! Enak aja! Di sini ada aturannya, Bu, ada tata tertibnya, gak bisa seenaknya!” ceracaunya tanpa peduli dengan alasanku, bahwa kami pun sudah datang sejak pukul tujuh, tapi terhambat di loket Askes.

Entah bagaimana urusannya, mereka baru menemukan status-map Butet setelah kami mengantri selama tiga jam!

Di bawah tatapan para pasien yang tampak merasa iba terhadap kami, kupeluk anakku yang mendadak gemetaran bahna takutnya. Begitu dipanggil sebagai pasien terakhir, Bu Sanggul kelihatannya mengingat keberadaan kami dengan sangat jelas. Dia melanjutkan omelannya tanpa tedeng aling-aling.

“Nah ini dia,  si Ibu ini yang tadi datangnya telat!”
“Eh, Sus, bukan begitu sebenarnya….” Sia-sia aku mencoba memberi alasan.

“Mau diperiksa gak sih? Anaknya bawa sini, ditimbang dulu!” sergahnya dengan suara yang sungguh melukai.
“Iya, sebentar Bu, terima kasih,” tergopoh-gopoh aku menuntun Butet ke tempat timbangan di sebelah mejanya.

“Berapa? Limabelas kilo, ya! OMG, umurnya sembilan tahun? Apa gak salah nih? Dikasih makan apa kamu sama orang tua kamu? Bapaknya kerja di mana sih? Di Depkes, ampuuun! Masak iya sih orang Depkes gak tahu gizi anaknya. Bla, bla, bla!” ceracauannya merepet tak terbendung lagi.

Kulihat semua mata tertuju ke arah kami berdua, aku dan putriku, yang langsung berlinangan air mata, memegangi tanganku kuat-kuat. Dan kurasai melalui genggaman tanganku, Butet menggigil hebat!

“Tenang ya Nak, sabarlah. Jangan dengerin omongan orang yang lagi setres berat begitu,” bisikku di kupingnya berkali-kali, berulang kali.
“Kenapa Mama diam aja, gak melawan?”

“Pssst, percuma Nak melawan orang setres!”
“Apa kita bisa ikutan setres?”
“Hmm,” kuanggukan kepala dan itu membuatnya berhenti menggigil. Kurasa, Butet sudah mengenal satu sosok yang sering tak mampu mengendalikan diri di rumahnya.

Ternyata lakon ini menjadi bahan untuk putriku. Ia menuliskannya dengan sangat bagus, diikut-sertakan ke lomba penulisan yang diselenggarakan oleh YKAI. Butet diundang sebagai penulis cilik pada seminar sehari di kantor Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan.

Esai yang berdasarkan pengalamannya sendiri, tentang buruknya pelayanan kesehatan untuk anak-anak di Indonesia itu, dimuat di berbagai website. 

Meskipun tak pernah ada honornya, kulihat putriku sudah merasa bangga dan sukacita. Karena hal ini telah mendongkrak nama Adzimattinur Siregar di dunia kepenulisan. Terutama efeknya telah sangat berpengaruh terhadap kepercayaan dirinya.

@@@


2 Komentar

  1. Subhanallah, ladang berkah

    jadi ingat satu peristiwa nyata yang seperti ini. Cuma sayangnya si suami sama sekali tidak memberikah nafkahnya. justru malah hutang dimana mengatas namakan istri dan anaknya.

    ah, kalau saya punya bakat menulis seperti ibu, saya sudah tuangkan peristiwa itu menjadi sepenggalan cerita.

    BalasHapus
  2. Seorang Mama adalah inspirasi untuk ananda tercinta, tetap semangat Teh Pipet *-^))

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama