Menyaksi Mama Berjuang: Copet Mengambil Semua Naskahnya



Ilustrasi: Mama sedang menularkan Virus Menulis di depan para guru





Opening: Lebaran, 2000
Arus balik lebaran bareng Mama, naik kereta menuju Jakarta. Pada sebuah gerbong yang berjeruji dan berterali besi, di situlah aku dan Mama duduk ngejemprak di bawah, bukan di kursi. Setiap kali ada pedagang asongan (jumlahnya gak terhitung!) yang lewat, dipastikan kaki atau tangan kami terinjak. Persis rombongan napi yang akan diangkut ke Nusakambangan.

Sumpah, ini angkutan yang sama sekali gak manusiawi!
Padahal waktu berangkat pun kami sudah mengalami kejadian menyakitkan. Tapi apa daya, kocek Mama gak memungkinkan buat naik bis. Ini malah lebih parah keadaannya dibanding KRL Jabotabek.

Oh, dunia, dunia… Kapan mau berpihak kepada orang miskin?
Kapan rezeki itu mengucur dari Langit?
Tuhan, Tuhanku… Engkau dengarkah harapan dan doa anak kecil ini?

Umurku sepuluh tahun, baru dibagi rapor, aku naik ke kelas enam. Raporku dihiasi angka-angka delapan dan sembilan. Juara umum, ini keempat kalinya, sejak pindah dari SD Pemuda Bangsa ke SDN Cipayung.

“Kita mudik ya,Tet… ke Cimahi?” cetus Mama seminggu sebelum lebaran.

“Bareng Abang, Ma?”

“Cuma kita berdua, Nak. Mau ya Nak, mau?” pinta Mama persis bocah minta permen ke nyokapnya. Bentar lagi juga guling-gulingan.

“Mau aja sih. Tapi kenapa cuma kita berdua, Ma?”
“Abang lagi ngerjain program bareng temennya, biar punya uang. Butet tahu kan, Abang mau nikah?”

Iyalah! Aku tahu keributan besar itu!
Kayak di sinetron saja, pake ada adegan teriakan histeris, berujung ancaman dari Papa: “Kalau kamu bersikeras mau nikah juga; pergilah dari rumah ini!”

Kalau aku yang diusir sih, gak bakalan sungkan-sungkan lagi, langsung lari keluar rumah!
Meskipun Mama sukses menengahi (sekali ini!) dan Abang batal diusir Papa. 

Tapi sejak itu Abang lebih banyak tinggal di kosan temannya. Untuk pertama kalinya pula, Abang tidak ikutan mudik. Demi Tuhan, sedih sekali!

“Kita kan 
sudah tiga lebaran gak mudik,” kata Mama lagi waktu dilihatnya aku malah asyik baca buku  sewaan.
‘Bang Toyib’ banget gak seeeh?
“Papa gak mau ikut lagi, ya Ma?”

Mama menggeleng. Terakhir kami mudik berempat, di tengah jalan ada yang ngamuk-ngamuk. Mama cucuran air mata, aku digendong Abang, sementara sang Raja berjarak tiga ratus meteran dari kami. 

Seakan-akan dia jijik atau malu berdekatan dengan kami bertiga; aku, 
Mama dan Abang. Sikon kayak gini di tengah perjalanan, lama-kelamaan memang bikin trauma siapapun!

Well, aku gak perlu tahu apa penyebabnya!
Meskipun Mama suka bilang, itu tersebab penyakit, semacam kelainjan jiwa, halaaah, aku gak pernah paham!

“Bawa rapormu, ya Nak,” kata Mama waktu malam-malam kami sibuk berkemas.
“Siiip!”

Itu berarti aku punya harapan dapat hadiah istimewa dari adik-adik Mama. Di keluarga Mama ada kebiasaan unik. Pas lebaran semua sepupu ngumpul. 

Adik-adik Mama yang punya duit bagi-bagi hadiah. Dan hadiahnya akan berlipat ganda, kalau dia berprestasi. Abang dan aku paling sering dapat hadiah banyak. Kami berdua selalu peringkat pertama.

Hari kedua lebaran, subuh kami berdua sudah berangkat. Ternyata, kali ini Mama memilih pakai kereta, bukan bis seperti biasanya.

“Uang kita terbatas, Nak. Kalau pake bis, nanti Butet gak bisa jajan. Mohon Butet bisa sabar, ya Nak, ya?” suara Mama terdengar memelas di kupingku.

Aku cuma mengangguk-angguk. Bagiku sudah cukup bahagia masih bisa dibelikan baju lebaran. Satu setel baju biasa, satu setel lagi busana muslimah. Itulah baju muslimah pertama yang kumiliki. Asli! bagus banget!

Belakangan baru kutahu kalau baju-baju itu didapat Mama dengan mencicil. Mama sering menghiburku dengan harapan bahwa suatu saat aku akan dibelikan banyak barang, kalau buku-buku Mama sudah diterbitkan.

“Sabar, ya Nak, mohon kalian bisa sabar. Doakan Mama, ya Nak, biar Mama banyak honor, dan kita banyak rezeki,” begitu perkataan Mama yang sering aku dan Abang dengar.
Kadang kulihat Mama berusaha keras menyembunyikan air matanya dari penglihatanku.

Abang bilang: “Kita harus percaya dengan harapan dan doa Mama. Kalau gak punya harapan dan doa; kita gak bakal bisa bertahan!”

Waktu itu aku gak paham maknanya. Tapi satu hal yang kutahu, semakin gila-gilaan Mama mengetik, maka semakin banyak makanan dan barang yang dibelikan Mama buat kami. 

Aku tidur sekamar dengan Mama, jadi sering kusaksikan bagaimana pergulatan Mama dengan si Denok, mesin ketik tahun jebot itu. Bunyinya di kupingku (ajaibnya!) malah kayak musik dari langit!

Lah iyalah, sejak aku dalam kandungan nada-nada itu (pasti!) sudah kudengar. malah aku sering minta Mama: “Ayo, Ma, ngetik dulu… Biar Butet bisa tidur nih.”

Aku masih ingat, mudik itu, Mama mengangkut serta bundelan naskah yang akan dijualnya ke majalah Mangle. Dan lusinanan buku cerita anak-anak yang akan ditawarkan ke Pemda Jabar. 

Seingatku, sebelum reformasi, banyak buku cerita anak-anak karya Mama yang dibeli Inpres. Tapi sejak reformasi, menurut Mama, urusannya jadi ribet. Banyak meja yang harus dilewati, berarti sogokannya mencekik leher.

Aku bilang sih waktu itu; “Reformasi, semuanya jadi bau terasi!”

Kami sudah berada di atas kereta jurusan Purwakarta, waktu Mama bilang: “Nanti kita harus nyambung dengan bis lagi. Bagaimana, Butet bisa bertahan, kuat ya Nak?”
“Ya Ma… harus kuat!” sahutku semangat.

“Di sini kita harus waspada, ya Nak… Perhatikan barang kita, jangan meleng.”
“Siap, Ma!” sahutku kian semangat.

Kurasakan tangan-tangan Mama merengkuh bahuku dan memelukku erat-erat. Kami dapat tempat di bangku panjang yang berhadapan, bukan di kursi seperti di bis. Mama meletakkan tas Sophie Martin (juga kreditan!) berisi naskah dan baju di bagasi, sebelah kiri di bagasi kereta di atas kepalaku.

“Butet belum minum obatnya, Ma,” kataku baru ingat.
Saat itu aku dalam pengawasan dokter, karena ada flek di paru-paruku dan rematik jantung ringan. 

Sepanjang tahun itu aku dan Mama bolak-balik ke RSCM. Kami berdua berusaha keras untuk tidak menyerah, tetap bersemangat. Meskipun sering kelaparan di jalan, karena uang pemberian Papa tak pernah cukup buat beli obat dan transportasi.

Tak jarang kami harus ke suatu tempat dulu (kantor redaksi!) untuk menjajakan naskah Mama. Beruntung kalau saat itu langsung dapat honornya, berkat kebaikan hati teman-teman Mama. 

Tapi adakalanya kami pulang dengan tangan hampa. Setelah berjam-jam menunggu, dan teman Mama yang dinanti malah lagi ke luar negeri.

“Ini minum dulu obatnya atuh, Neng,” Mama menaruh beberapa pil ke telapak tanganku. Aku segera meminumnya.

“Obat batuknya, Ma,” pintaku, sebab aku merasa lebih nyaman disuapi Mama kalau minum obat cair.


Di sini, aku sungguh menyesali kemanjaanku!

Pada saat yang sama kereta berhenti di stasiun Jatinegara. Di antara hiruk-pikuk penumpang yang baru naik, pedagang asongan (juga para copet sialan!) itulah, Mama mencurahkan perhatiannya kepadaku. Menuntaskan urusan minum obat. Kayaknya cuma beberapa menit kami meleng!

Kereta kembali melaju. Mata Mama mengarah ke atas kepalaku, ke bagasi, dan. Alooow! Sepasang mata yang selalu bersemu kuning itu seketika membelalak!

“Tas kita… ke mana, ya Nak? Tas kita?” suara Mama terdengar mengambang di udara sumpek dan bau segala macam.

Mataku ikut menatap bagasi. Ya Tuhan! Tas bermerek itu sudah lenyap!
Yang teringat di benakku kala itu adalah raporku dengan angka-angka gemilang. Dan itu modalku untuk mendapatkan hadiah dari adik-adik Mama. Baju baruku, dua-duanya ada di tas itu. Waduuuh! 

Gimana nanti aku salin? Gimana sekolahku? Apa aku gak boleh sekolah lagi?
Hidup gw; balikkiiiiin! 

Kepalaku langsung nyut-nyutan, jantungku bergetaran hebat, dan mataku mendadak muteeeer. Blaaazzz!

“Ya Allah… astaghfirullah al adziiim… Jangan, Nak, jangaaan! Mama mohon jangan pingsan… Ayo, sadar Nak… Kita pasrahkan saja semuanya kepada Allah, ya Nak… Biarlah, kita harus ikhlas, harus pasrah lilahi taala, ya Cinta. Semuanya akan baik-baik saja, yakinlah itu!” samar-samar suara Mama memasuki kuping kecilku.

Aku membuka mata, ternyata separuh tubuhku berada di pangkuan Mama.
“Gimana rapor Butet?” tangisku meledak.

“Gak apa-apa, Nak, Cantik, Jelita. Nanti Mama urus ke sekolahmu. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama Mama, ya Nak, Cinta, Cantik, Jelita, anak yang salehah. Sekarang ikuti Mama, kita zikir ya Nak. Laa ilaha illalah…” Mama memelukku semakin erat, air matanya bercucuran, sebagian membasahi wajahku.

Ini gak biasa, men!
Kalau aku akhirnya bisa tenang, bukan karena percaya semuanya akan baik-baik saja. Tapi karena aku mendadak takut melihat kondisi Mama, air matanya yang gak biasa itu. Gimana coba kalo Mama mendadak kolaps?

Aduuuh, demi Tuhan, aku takut kehilangan Mama!
“Iya Mama, udah ya jangan nangis lagi,” kataku untuk pertama kalinya menyahuti. “Mama jangan sampe sakit. Mama harus sehat, ya. Kan kita mau lebaran sama keluarga Mama.”

“Gak kok, Nak, Sayang. Mama gak nangis,” Mama buru-buru menyusut air mata dengan ujung jilbabnya.

Untuk beberapa saat kami berpelukan erat, saling menguatkan. Rasanya bisa kudengar degup jantung Mama, mengalir perlahan, melalui dada-dada kami yang menempel.

Kemudian, kondektur datang memeriksa karcis. Mama melaporkan kehilangan barang itu. Kondektur menanggapinya dengan cuek-bebek.

Dia malah bilang: “Ya sudah, Ibu turun aja di sini. Lapor ke polisi!”
“Turun bagaimana. Di mana ini, Bekasi? Yang bener aja, Pak?” seru Mama terdengar geram dan kecewa sekali.

Lah iyalah, apa kondektur itu sudah koclak otaknya ya? Aku jadi ikut geram. Masa orang yang barusan kecopetan, dan duitnya pas-pasan, malah disuruh turun begitu saja? Mana kepeduliannya, belas kasihannya? Kulihat semua orang di sekitarku repot dengan urusan masing-masing.

Yeah, memang bener kata Mama. Ini harus kita pasrahkan saja kepada Sang Pengasih, lilahi taala. Hanya kepada-Nya kami bergantung!

Di station Purwakarka kami turun, hanya membawa kantong kresek berisi bekalku. Kulihat Mama sudah kembali tegar-perkasa, seperti yang biasa kukenal!

“Ayo, Nak, kita cari bis jurusan Bandung 
di depan sana,” ajaknya sambil menggenggam telapak tanganku kuat-kuat.

Kami menyusuri rel kereta. Siang sudah bergerak, menjelang petang. Langit di atas kepala kami mendung. Sebentar lagi pasti turun hujan. Dan benar saja, sebelum kami berhasil mencapai halte, hujan menghajar bumi dengan telak!

Heboh beberapa saat, akhirnya Mama sukses mengangkat tubuhku ke dalam sebuah bis yang melintas cepat. Allah Sang Pengasih, memberi kami bangku paling belakang. Di pojokan bangku itulah, di antara penumpang (cuek-bebek!) kami berdua kembali berpelukan, saling menguatkan.

Kudengar gumaman Mama, berdoa dan berzikir. Jadi, itulah yang ingin kuikuti, jejakmu, bundaku tercinta.

Harapan, cinta dan doa! (Adzimattinur Siregar)


Ilustrasi: Mama ditransfusi secara berkala seumur hidupnya



0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama