Tembagapura: Sebuah Negara di Dalam Negara








Tembagapura, Jumat, 16 November 2012

Di antara kesibukan memberikan pelatihan menulis untuk anak-anak, remaja dan dewasa, kami masih bisa berkeliling melihat-lihat alamdi kawasan Tembagapura. Mulai dari siang, sore bahkan malam, kami terus berkelindan mengamati berbagai hal yang bisa kurekam.

"Kita akan mengunjungi Consentrate Gold Mil," kata seorang lelaki yang kemudian kami ketahui namanya Syafii. Lelaki yang usianya tampak 40-an itu ternyata belakangan mengaku telah berumur 53 tahun, karyawan Freeport.

"Tempat apa itu, Mas?" tanyaku ingin tahu.
"Tempat penyulingan emas, Teteh. Kami biasa menyebutnya Mil 74," jelasnya.

Waktu menunjukkan pukul empat sore, hujan turun rintik-rintik, suhu udara diperkirakan 15 derajat celsius. Dalam kondisi alam yang tidak bersahabat itulah kami, saya, Elly Lubis, Evatya Luna dan Abrar Rifai dibawa  ke lokasi penambangan emas Freeport.


Kabut mulai turun nyaris tanpa menyisakan pemandangan indah lagi kepada kami. Dengan kendaraan bermerek Landrover, toyota yang di-built up menjadi sebuah kendara tangguh untuk menempuh kondisi yang memang sangat riskan.

Kanan-kiri kami jurang dan lembah. Perumahan milik karyawan Freeport tentu saja tampak sangat rapi, teratur, bersih dan nyaman.

"Perkampungan penduduk aslinya di mana, ya Mas?" tanyaku mulai penasaran. Ini kawasan sungguh nyaris tak terlihat seperti di kota, kampung atau dukuh milik bangsa Indonesia.
“Banti namanya, Teteh,” jawab Safii.
“Mau antar saya ke Banti itu, Mas?”
“Boleh saja, kapan Teteh mau ke sana.”
“Kalau sudah selesai urusan pelatihan menulis.”

"Seperti di mana, coba, Va?" gumamku mencermati apartemen bertingkat milik perusahaan Freeport. Evatya Luna dan Elly Lubis sibuk merekam kondisi di sekitarnya dengan kamera masing-masing.

"Hmmm, seperti bukan di negara kita," sahut Evatya Luna terdengar bimbang.
"Ya, ini seperti di Texas!" kataku tegas.
"Teteh seperti pernah ke Amerika saja," sindir Elly Lubis.
"Ya, pernah, melalui buku bacaan dan film-film Amrik,” sahutku pede saja lagi.

Kendaraan kami melaju terus kea rah ketinggian, mulai dari 2000, 3000, 4000 meter di atas permukaan laut. Kuping terasa pengeng alias tidak bisa mendengar dengan jelas.

Sejak dari apartemen kami sudah mengenakan kostum khusus untuk memasuki areal pertambangan. Rompi berwarna kuning, sepatu bot besar, helem dan kacamata. Suara gemuruh dari penyulingan di pertambangan emas itu sungguh mengganggu. 

"Diwajidkan mengenakan penutup pendengaran," kata seorang pribumi asli, pengawas yang menyambut kedatangan kami. Dia terlambat memberi tahu hal ini, sehingga kami berempat sama sekali tidak mengenakan pelindung pendengaran yang dimaksud.

Beberapa saat kami memotret, sang pengawas dengan ramah dan tiada jemu menjawab berbagai pertanyaanku. Hingga tiba-tiba aku berdiri agak lama, tercenung, di depan penggilingan batu yang disebut consetrate gold.

Hmmm, kira-kira berapa tahun sudah Freeport menguasai kawasan ini? Hingga kapan? (Tembagapura, Pipiet Senja)













2 Komentar

  1. senangnya Bunda..bisa sampai Tembagapura, euy..

    *Subhanallah, ya, Bunda..pemandangan dan kekayaan alam di sana begitu eksotis..tapi sayang, dikuasai oleh pihak asing :(

    BalasHapus
  2. Di tengah indahnya dan berlimpahnya kekayaan alam Papua tidak sebanding dengan kesejahteraan yang didapat oleh masyarakatnya, bahkan mereka jadi buruh di negeri sendiri, sungguh miris, semoga dengan pelatihan menulis di sana bisa membantu nasib mereka ya Bunda...

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama