Tembagapura,
Sabtu, 17 November 2012
Undangan
pelatihan menulis kali ini memang sangat unik. Sudahlah tempatnya seakan berada
di ujung dunia, karena begitu panjang dan lamanya tempo perjalanan. Angkutan
yang membawaku pun sangat luar biasa kerennya.
Coba
saja Anda bayangkan! Maskapai Airfast dari Bandara Cengkareng, transit di
Bandara Makassar, lanjut ke Bandara Kilangin Timika. Masih lanjut lagi dengan
bis yang belum pernah kutemukan di mana pun, karena dilapisi jendela anti
peluru.
Ketika
iseng kutotal waktu yang dibutuhkan sejak berangkat dari kawasan Halim adalah
20 jam. Ini disebabkan 8 jam lebih awal tiba di Bandara Cengkareng, aku mengira
pesawat terbang pukul 20.00, eh, ndilalah, ternyata pukul 23.00. Superlebay
banget deh, aaaargggh!
“Ini
lebih heboh dari waktu mau pergi haji, Elly,” keluhku tak tahan juga merasai
pegal di punggung dan pundak, ditambah sepasang mata menjadi bengkak. Sehingga
terpaksa kusembunyikan terus di balik kacamata unguku.
Segala
letih-lelah-lesi itu akhirnya terbalas ketika melihat para peserta di hari
pertama, kelas menulis untuk anak dan remaja, sangat menyenangkan. Anak-anak
mulai umur 6 tahun sampai kelas 3 SMP, semuanya tampak sangat antusias, dan
bersemangat mengikuti semua materi yang disampaikan.
“Ada
lebih 100, termasuk para ibu yang mengantarnya,” bisik panitia yang selalu
telaten mengantar minuman teh manis dan penganan ringan untuk kami, saya, Elly
Lubis, Evatya Luna dan Abrar Rifai.
Ya,
Saudara, ibu-ibunya pun ikut heboh!
Mulai
dari menyuruh anaknya agar tidak berisik, menyediakan makan siang, sampai
ikut-ikutan pula menyuarakan yel-yel. Sebagaimana digemakan oleh Evatya Luna,
Abrar Rifai dan Elly Lubis.
“Menuliiis?”
“Bisaaa!
“Menuliiis?”
“Mudaaah!”
“Penuliiis?”
“Sayaaa!”
Setelah
memberikan modul yang berisikan kisah inspirasi tentang seorang anak
yatim-piatu miskin, berhasil mengubah nasibnya karena dia menulis, maka
kubiarkan sesi teknik dan pelatihannya ditangani oleh Evatya Luna, Abrar Rifai
dan Elly Lubis.
Hasil
pelatihan menulis ringkas pun sungguh mencengangkan. Agaknya anak-anak dan para
remaja Tembagapura ini memang sudah suka membaca dan menulis. Mereka,
kecil-kecil itu, sudah mengenai IT, punya email, gruping Facebook, twitter,
bahkan ngeblog. Masya Allah, kerennya!
“Anak-anak
di Tembagapura ini memiliki karakter yang khas. Lebih cepat menguasai
teknologi, karena fasilitas yang disediakan perusahaan bapaknya memang oke
punya,” jelas seorang ibu muda yang telah mengikuti suaminya, karyawan Freeport,
selama 10 tahun.
Alhasil,
ketika ditawarkan baik praktek menulis maupun menceritakan kembali nukilan film
Slumdog Millionair, anak dan remaja ini dengan antusias berebut ingin segera
menyerahkan hasil tulisan dan tampil ke depan.
Beberapa
anak patut diberi acungan jempol, bisa menulis bagus dalam waktu relatif singkat. Ada banyak hadiah dari panitia, kami pun ikut mengapresiasi semangat
mereka dengan memberikan buku-buku karya kami.
“Lanjutkan
menulis terus, ya anak-anak,” pesanku saat menyalami mereka satu per satu
dengan perasaan mengharu biru.
Dari
pagi sampai menjelang ashar, pelatihan menulis pun diakhiri dengan doa dan
harapan, Bahwa dalam waktu dekat kami bisa membukukan karya peserta pelatihan
menulis di Tembagapura ini.
Esok kami akan melanjutkan pelatihan menulis untuk dewasa, umum, masih di tempat yang sama; Aula Mesjid Daru Sa'adah. (Pipiet Senja, Papua)
Esok kami akan melanjutkan pelatihan menulis untuk dewasa, umum, masih di tempat yang sama; Aula Mesjid Daru Sa'adah. (Pipiet Senja, Papua)
Posting Komentar