Dream, Pray and Action: Rumah Lansia






Hong Kong, 3 Juni 2012
Hampir sebulan sudah aku berada di negeri beton, diselang ke China dan kembali ke sarangku di kawasan Causeway Bay. Sejak masih di Jakarta, undangan sekadar lesehan untuk sharing kepenulisan telah berdatangan. 

Namun, pekan pertama aku justru tepar terkena flu berat, nyaris tidak bisa berbuat apapun kecuali rehat dan menormalisasi kondisi tubuhku yang memang semakin ringkih.

Setelah berobat dan mengkonsumsi herba China, pada pekan kedua barulah bisa bangkit kembali, dan langsung mengisi di holaqoh-holaqoh yang bermarkas di Masjid Ammar Wanchai. 

Di sini pulalah jumpa dengan Mimi Jamilah Mahya, salah seorang pembina holaqoh, lulusan universitas ternama di negeri jiran. Persahabatan kami berdua langsung tercipta, lebih disebabkan merasa satu visi dan misi untuk membuat program pemberdayaan BMI HK purna.

Hari-hari kemudian, baik melalui meeting secara langsung maupun via telepon dan SMS, kami berdua bagaikan sejoli bermimpi; menguyek-uyek program yang ingin segera kami wujudkan dalam bentuk nyata.

Rumah perempuan, MW, Mahdatul Mar’ah, sebuah tempat penampungan bagi para BMI purna, bukan saja berasal dari Hong Kong melainkan juga dari negeri lainnya seperti; Malaysia, Singapura, Macau, Taiwan dan Arab Saudi.

Dari beberapa kunjungan ke Malaysia, Singapura dan Hong Kong, saya kerap menemukan sosok-sosok perempuan tangguh yang sudah tidak muda lagi. Di kelas menjahit di Singapura, saya bertemu dengan Maryam, perempuan 60 tahun.

“Masih betah tinggal di negeri Singa nih, Mbak?” tanyaku, setelah mencermati caranya memberi pelajaran menjahit kepada anak-anak BMI.

Ia bercerita sekilas tentang lakon hidupnya. Sejak umur 16 tahun telah meninggalkan kampung halaman, merantau menjadi TKI di berbagai negara.

Awalnya di Malaysia, lanjut ke Arab Saudi, Kuwait, Hong Kong, dan enam tahun terakhir di Singapura. Tiga anaknya telah dewasa dan mandiri, bahkan telah memberinya selusin cucu. Suami telah lama (menurut istilahnya) disedekahkan kepada perempuan lain.

“Bukannya betah, Teteh. Tentu saja saya mau pulang, mau banget, tapi tidak tahu harus pulang ke mana,” kesahnya terdengar pilu.

Ternyata tiga anaknya menolak keinginannya untuk pulang ke rumah mereka. Alasannya sungguh miris:”Yah, dulu waktu kami kecil, Emak juga tak pernah mengurus kami!”

Ya Allah, jeritku ikut pedih rasanya. Betapa ingin kutawarkan kepadanya, tinggal sajalah bersama saya di rumah mewahku di kampung Cikumpa. Namun, kemudian saya pikirkan kembali; di rumah saya tidak sendiri, ada anak dan mantu, lagipula belum tentu Maryam bersedia.

“Kalau ada rumah penampungan untuk perempuan lansia, bersediakah tinggal bersama saya?” tanyaku ketika akan berpisah. Seketika dia memelukku erat sekali, terasa airmatanya membasahi jilbabku.

Rumah yang ingin kami bangun di lahan bekas reruntuhan rumahku di Cimahi itu, kubayangkan berupa tempat para perempuan lansia, single parent, mereka yang sedang taubatan nasuha, sementara di bagian atas untuk anak-anak yatim penghafal Al Quran.

Kami baru bermimpi, S\audaraku!
Namun, tidak ada salahnya jika berjuang untuk mewujudkannya: Dream, Pray dan Action!
Mohon dukungan dari Anda semua dan semoga akan banyak orang yang tergerak hati untuk menyemangati, menyumbang donasinya untuk: Rumah Lansia Wahdatul Mar’ah ini. Bissmillahi tawakaltu lahaola wala quwwata ilabilahi aliyul adzim. (Causeway Bay-Hong Kong)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama