Bagaimana Aku Bertahan: Ketika Takbir Menggema dan Beduk Bertalu





Sumedang, era 60-an.
Samar-samar dalam memori ingatanku, tampaklah sosok kecil, kurus sedang megap-megap nyaris kehabisan napas. Penyakit kronis asma atau lebih dikenal di kampungku bengek itu, menderaku sepanjang malam, bahkan telah sepekan.

Kondisi sesak napas itu masih ditambah dengan rasa nyeri yang melilit-lilit di seputar perutku yang membuncit. Demam, menggigil silih berganti sepanjang malam takbir itu, sungguh menyiksa!

“Sudah, Lit, kita bawa ke rumah sakit saja,” ujar ayahku, seorang prajurit yang sedang mengambil cuti lebaran.
“Ini lebaran, orang-orang mah sebentar lagi mau solat Ied….” Suara ibuku yang sedang sibuk mengurus dua balita lainnya yakni; adikku En dan sepupu yang dirawat sejak bayi.

“Jangan bantah lagi, hayu, daripada kita menyesal nanti!” Tangan kekar itu seketika meraih tubuhku, dan menggendongku erat-erat.

Sementara ibuku yang sedang hamil anak ketiga, bergegas mencari Bi Eha, kerabat yang biasa membantu keluargaku.”Bi Eha, titip anak-anak dulu, ya. Kami akan bawa si Teteh ke rumah sakit,” ujarnya sambil berpesan berbagai hal, seputar keperluan lebaran.

“Deuh, meuni karunya pisan atuh nya si Eneng teh, deudeuh,” kata Bi Eha, memandangiku dari kejauhan. Kasihan katanya kepada diriku yang sering sakit-sakitan.

Bapak menyerahkanku kepada emakku, hendak mengambil sepeda ontel. Tak berapa lama kemudian sepedanya melesat di jalanan raya yang lengang. Sementara suara takbir dan beduk terus jua bertalu-talu.

Agaknya mereka merasa tak cukup bawa uang tunai. Jadi, mampir dulu di suatu tempat, yakni Babah A Hong di sudut pasar. Putrinya Babah Hong adalah sahabat ibuku. Oh, ternyata ibuku menjual kalungnya demi mengobatiku!

Rumah sakit Silih Asih, dokter Fritz, seorang dokter Jerman-Belanda, dialah yang dipercayai ayahku untuk menangani kondisiku. Bukan rumah sakit umum yang bisa mengandalkan jaminan dari kesatuannya, Angkatan Darat.

Beberapa saat lamanya aku diperiksa di ruang kerja dokter Fritz. Diberi oksigen, diinjeksi, entah apalagi. Aku hanya bisa menangis, ketakutan dan kesakitan.
“Diopname saja, ya, Pak, Bu,” kata dokter Fritz.”Anak kalian butuh perawatan intensif.”
”Sebenarnya apa penyakitnya, Dokter?” tanya Bapak.

“Asmanya ini penyakit bawaan. Limpanya membesar. Hasil laborat, darahnya kurang sekali. Harus ditransfusi.”

Meskipun tak paham, aku terus-menerus menangis, minta dibawa keluar ruang praktek. Setelah ditangani dengan sangat cermat, akhirnya dokter Fritz mengizinkan orangtuaku membawaku ke luar.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, kurasa aku terbuai obat-obatan, sehingga tertidur untuk beberapa waktu. Ketika kubuka mata kembali, Bapak masih menggendongku erat-erat, dan kami berada di tengah-tengah lautan manusia.

Ya, di tengah umat Islam yang baru usai menunaikan solat Ied di alun-alun Sumedang.
“Pulang, pulang, Bapak, hayuuuu,” rengekku.
“Iya, Neng, hayu, kita pulang. Demammu sudah turun, ya. Napasmu juga sudah normal. Berkahnya lebaran, Neng, panjang umur, ya Nak, panjang umur, jadi anak yang hebat, kuat, tangguh,” entah apalagi yang diceracaukan prajurit (ketika itu) berpangkat Kopral.

Sesampai di rumah, aku dielu-elukan oleh seluruh keluarga besar nenekku di rumah jalan Empang. Mereka bilang, aku telah luput dari tangan Malakal Maut. Satu demi satu mereka menciumi pipi-pipiku, memberiku macam-macam hadiah. Uangnya tentu saja masuk ke kocek ibuku.

Demikianlah, kenangan masa kecil dengan penyakit kelainan darah bawaan. Kukenang kembali, saat lebaran itu umurku sekitar lima tahun, sudah sekolah di TK Persit Kartika Chandra. Hanya berkat Kemurahan Ilahi jualah jika kini pada umur 55 tahun, diriku masih bertahan.

Alhamdulillah, terima kasih, segala puji syukur kupanjatkan untuk-Mu, ya Robb. Engkau memberiku orangtua yang luar biasa penyayang, tak pernah pilih kasih terhadap anak-anak mereka. Karena kemudian aku tahu juga, ada sejumlah anak yang menderita penyakit kelainan seperti driku, bukan disayangi orangtua, sebaliknya malah dibuang.

Kasih sayang orangtua, kepedulian semua anggota keluarga, inilah pula yang menguatkan diriku hingga terus bertahan, bertahan dan bertahan dari gempuran penyakit dan dampak transfusi secara berkala.

Terimakasih, Emak, Bapak, kalian telah melahirkan diriku, dan mengasihiku sepanjang hayat kalian. Semoga kita berjumpa kembali, jika telah tiba waktuku, dan kita dapat berkumpul kembali di alam kelanggengan.  (Pipiet Senja)

7 Komentar

  1. Wah, bikin terharu ceritanya...

    BalasHapus
  2. An Maharani terimakasih ya dirimu sering mampir dan meninggalkan jejak cinta, luuuuv!

    BalasHapus
  3. NIna cantik; terimakasiiiih

    BalasHapus
  4. Resna; ya, cinta ibu dan ayah senantiasa luhur dan tak terjabarkan mulianya

    BalasHapus
  5. Asslm bunda. Saya orangtua dari anak laki2 dg penyakit thalassemia sejak usia 4 tahun. Skrg alhamdulillah sdh berusia 10 tahun kelas 4 sd dan selalu masuk ranking 3 besar di klsnya walaupun tiap bulan harus ijin tdk masuk sklh 2-3 hari utk transfusi.
    Subhanallah membaca tulisan bunda sy merasa tersentil sekali. Walaupun dari luar sy selalu berusaha terlihat kuat tapi kadang sering terlintas pikiran kalau anak sy akan "pergi" meninggalkan saya terlebih dahulu krn penyakitnya, astaghfirullahaladzim. Setelah berbagai alternatif pengobatan sy tempuh tanpa hasil, skrg hanya doa kpd Allah senjata terakhir saya.
    Bunda, saya ingin anak sy tetap merasakan hidup spt teman2nya yg sehat tapi krn kondisinya saya cenderung menjadi overprotective......
    Bunda, bgmn sebaiknya sy bersikap?

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama