Saat Mendukung Anak Untuk Menikah Dini

Ia masih mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dari kejaran dan rasa penasaran ketiga gadis kecilnya. Mereka sudah dewasa, iya, bukan anak kecil lagi tentu saja, jerit Diah membatin. Mereka sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. Bukankah begitu?

“Aku ini kenapa? Mengapa harus sepanik ini?”
Diah menatap cermin rias di hadapannya. Belum lama melewati ultahnya ke-40. Saat inilah ia merasa baru mengawali hidupnya yang benar-benar “hidup”. Karena dinuansa seribu warna yang memupus warna hitam-putih sebelumnya. Tiba-tiba ia baru menyadari makna kesendiriannya, status jandanya. Enam bulan telah berlalu, dan baru sekarang merasai dampaknya?

“Ini sungguh telat mikiiir!” pikirnya dan ia tersenyum kecut.
Selama ini ia tak pernah mau memikirkannya, apalagi mempermasalahkannya. Hanya akan menambah beban hatinya belaka. Sesungguhnya! Ada banyak perubahan dalam hidupnya sejak menjanda. Di kalangan pergaulannya, ternyata cukup banyak juga perempuan yang mengucilkannya. Para istri yang berbahagia itu merasa perlu untuk menghindarinya, baik secara halus atau terang-terangan.

“Pokoknya… Janda cerai itu nggak bagus aja!” Bu Eneng tiba-tiba nyeletuk dengan suaranya yang lantang, ketika mereka arisan di rumah Bu Erwe.
“Loh, emang kenapa dengan janda cerai?” Tante Lisa yang nama aslinya Lilis, nimbrung.

“Kelihatan gagal dan pecundangnya!” sahutnya lebih lantang.
“Pssst, nanti kedengeran sama Bu Diah…”
“Biarin! Lihat aja tuh, makin bergaya! Sekarang dia suka pake baju ungu. Apaan tuh? Kalo bukan disengaja untuk mempertegas statusnya, emang apalagi alasannya coba? Pulas ungu itu kan identik dengan kejandaan!” Bu Ella, sobat Bu Eneng mendukung.

“Oooh, begitu ya…” Koor seketika menggaung ke seantero ruangan. Semua mata menyorot ke arah Diah, ya semuanya!

Diah yang sedang menikmati puding tak jauh dari ibu-ibu itu,  nyaris tersedak. Bu Erwe cepat menyodorkan minuman, mengusap-usap punggungnya sambil menatapnya simpati.
“Jangan diambil hati. Dia itu emang suka siriik!”

“Oh, itu…, nggak apa-apa kok. Biasa saja, Ceu Ai!” sangkal Diah sambil berlagak tak terjadi apa-apa, tak mendengar apa-apa, melanjutkan makan pudingnya.
Jauh di dalam dadanya ada yang menurih-nurih, periiiih!

Ia pun seketika merasa kesal pada dirinya sendiri. Kok sampai tak tahu kalau pulas ungu itu bermakna begitu, dilambangkan sebagai status kejandaan? Ia memilih gaun itu hanya karena itulah yang paling jarang dikenakannya. Sama sekali tak ada motivasi lain.

Uuh,  alangkah naif dan bodohnya diriku, rutuknya dalam hati.
Sejak saat itu Diah tak pernah merasa nyaman lagi berada di lingkungan mereka. Sering ia berdalih berbagai hal, ujung-ujungnya hanya mengirim Imas atau Bi Ikah sebagai wakilnya.

Belakangan ia pun menangkap gejala yang sama di kalangan para pelanggannya. Beberapa pemilik toko kembang tak membiarkan lagi suaminya punya urusan dengan si Teteh, sebutan mereka terhadap dirinya selama ini. Lebih suka memilih orang lain yang mengurus bisnisnya dengan Florista.

Saat-saat begini ia begitu merindukan keberadaan keluarganya. Seandainya orang tuanya memberinya banyak saudara, tentu hidupnya takkan kesepian begini. Seandainya mereka tidak secepat itu meninggalkannya untuk selama-lamanya, sehingga dirinya menjadi yatim-piatu semasa masih duduk di bangku SMA. Seandainya…

Aaah, Emak dan Abah sudah ditakdirkan selalu bersama. Ketika yang satu menghadap Ilahi karena sakit, lainnya mengikuti selang beberapa pekan. Dan hidup memang bukan runtunan pengandaian melainkan rangkaian kenyataan, tak mungkin dielakkan!
***

“Biarin aja, Ma, jangan dipedulikan!” komentar Butet waktu mendengar kekhawatiran ibunya.
“Iya, Ma,” dukung Amalia. “Di Cihideung ini kebun kembang kita jelas-jelas paling variatif!”
“Yaah…, biar pun begitu, nggak enak sajalah. Kok jadi berubah hanya karena status Mama,” kesah Diah muram.

“Sabar, Mama, kita harus lebih istiqomah. Kan begitu kemarin kata Mama,” Amalia seperti biasa suka berpetatah-petitih.
“Gimana sikap teman-teman Mama di liqoh?” tanya Butet.

“Kalo mereka nggak masalah. Di sana tak ada istilah janda, miskin, kaya… Sama saja tulus.”
“Alhamdulillaaah,” sambut Butet dan Amalia lega.
“Paling jauh saja, ya Ma…” Butet mengamati hasil rangkaian kembang Imas dan para pekerja. Ini bisnis baru mereka yang mengalirkan rupiah ke rekening Florista.

Imas agaknya sudah menemukan kariernya di bisnis ini. Meskipun semua mendorongnya supaya melanjutkan sekolahnya. Imas memberikan dalih, kebanyakan ilmu di sekolah nggak bakalan keotakan. Tak ada yang berhasil membujuknya agar melanjutkan ke tingkat SLTA.

“Iya sih, tapi tak masalah. Bersama mereka Mama bisa cocok, bisa sharing… Nah, mana si Teteh?”

“Ngurusin dokumen perjalanan di Imigrasi, katanya, Ma,” Butet menjawabkan.
“Mama…” Amalia menatapnya, penuh permohonan. Ini hari ke-14 sejak niat itu digulirkan. Ia telah meminta mereka tenang dan melakukan istikharoh. Diah paham sekali maknanya.

“Mama sih setuju saja, tapi kita harus tanya juga Papamu…”
“Papa nggak mau jadi waliku, ya?” Wajah Amalia seketika memucat.

Ketika Diah berhasil menghubungi Domu melalui ponselnya, komentarnya sungguh melukai!
“Enam bulan! Bayangkan! Baru saja enam bulan, sudah banyak kejadian macam-macam di situ? Bah! Kamu memang sama sekali tak becus mengurusi anak-anak!”

Diah memejamkan matanya, menahan gelombang amarah yang seketika menyerbu dadanya, dan menimbulkan gigilan hebat di sekujur tubuhnya. Tak becus, katanya! Lantas, apa yang telah dilakukannya kepada keluarga ini? Selain pengkhianatan dan..., tak bertanggung jawab? Sejak bercerai, apa pernah dia mengirim uang untuk keperluan sekolah anak-anak? Tak pernah!

Bahkan sekadar say hello melalui telepon pun sekitar dua bulan lalu, dan itu demi kepentingannya sendiri; menyuruh mereka mengantarkan dokumen yang tertinggal di laci mejanya. Amalia masih tulus meresponnya, bahkan mengantarnya langsung ke Hotel Preanger, penginapan favorit ayahnya bila ada bisnis di Bandung. 
Nadia dan Butet punya seribu satu alasan untuk menolaknya.

“Artinya, kau tak…” Diah susah payah menenteramkan gejolak hatinya. Mengapa lelaki itu menjadi begitu misteri dan sangat berubah?
“Taklah itu! Tak ada istilah nikah dini dalam kamus keluarga besarku! Bilang saja sama si Amalia itu, aku takkan mau jadi walinya! Sampai dia jadi sarjana!”
“Siapa keluarga besarmu itu? Apa mereka sudah menerima keberadaan istrimu yang noni?” tak tahan Diah menyerang.

Gleek, sesaat tak ada sahutan dari seberang sana. Diah ingin sekali membayangkan, roman Domu yang muram. Tak berhasil! Pasti tak ada istilah keluarga besar itu untuk Lience. Apapun sanggup dilabraknya demi perempuan itu!

“Mereka tak pernah tahu apa-apa…”
Cukuplah!

“Kami akan melakukannya meskipun tanpa restumu!”
“Itu takkan bisa…, bagaimana mungkin kalian…”
“Kenapa tidak? Toh bisa memakai jasa wali hakim. Jadi, ini sekadar pemberitahuan saja. Sejak awal kami sudah menduga akan begini akhirnya… Nah, selamat siang! Assalamualaikum!”
Kliiik!

Telepon diputuskan sebagaimana hubungan suami-istri mereka telah berakhir. Diah telah membuat keputusan penting dalam sejarah kehidupan putrinya. Karena ia lebih mempercayai niat suci anak-anak itu daripada segala kekhawatiran, ketakutan yang belum tentu terjadi.

Prosesi akad nikah antara Amalia dengan Gamal akhirnya berlangsung juga secara amat sederhana. Pihak keluarga Gamal memang mengadakan selamatan alakadarnya, hanya di lingkungan sanak-saudara dekat. Sudah dicapai kesepakatan resepsi besar-besarannya akan dilangsungkan kelak, apabila pasangan ini telah meraih gelar sarjana.

“Biarlah ini sebagai tantangan bagi mereka,” ujar sang Profesor kepada Diah yang mempertanyakan hal itu.
Diah pun menerimanya dengan hati legawa. Ia bisa mempercayai ketulusan Profesor dan istri dalam menyayangi Amalia.

“Kami hanya punya Gamal, anak kami semata wayang. Dengan kehadiran Amalia di rumah kami terasa sebagai anugerah terindah,” ungkap besan perempuan, Mariani, asli Sumedang.

Dalam tempo relatif singkat hubungan kekeluargaan mereka terjalin sangat akrab, saling mengisi dan mengingatkan. Diah merasa sangat beruntung memiliki besan sebaik mereka. Ia percaya wajah Amalia yang bersinar-sinar dan semakin cantik, bukanlah kepura-puraan, melainkan pancaran kebahagiaan yang belum pernah diperolehnya.

Ah, Amalia telah menemukan figur ayah dari mertuanya!
“Senang tinggal di rumah keluarga besar Nasution, Cinta?” tanyanya waktu dikunjungi pasangan pengantin remaja itu.
“Senang sih, Ma, hanya sering kangen rumah ini,” sahut Amalia menggelendot manja, menumpahkan rasa kangennya.

“Kalau begitu atur waktu. Seminggu kalian tinggal di sini, minggu berikutnya di Cimahi. Coba minta izinnya sama mertuamu,” saran Diah.
“Sudah diputuskan, Ma. Memang rencananya akan begitu sejak sekarang,” kata Gamal.
“Sungguh? Ibu dan Bapak nggak apa-apa, ya? Bukankah halak hita…?”

Seketika Diah mendegut ludahnya, kesat. Teringat akan perlakuan keluarga besar Domu terhadap dirinya selama itu. Dari awal hingga akhir mereka tak pernah menerima keberadaannya sebagai teman hidup lelaki itu. 

Entahlah apa yang terjadi dengan Lience. Adakah mereka bisa menerimanya?
“Jangan khawatir, Mama,” tukas Gamal pula. “Bapak dilahirkan dan dibesarkan di bumi Parahiyangan. 

Bahkan Bapak tak pernah tahu di mana kampung halaman leluhurnya. 0mpung memang asli Sibolga. Gara-gara nikah dengan Nini yang asli Cimahi, kayaknya resmilah 0mpung jadi orang Sunda juga, hehe…”
“Eeeh, jangan jadi Sampuraga, ya! Nggak ngaku Bat-bat nih?” goda Nadia. “Ntar kualat lho!”
“Heeh, buktinya sang Profesor masih pake marga! Abang juga harus tuh!” tambah Butet.

“Mentang-mentang namamu masih Butet, ya? Sudah gede gitu juga! Mo narik-narik orang jadi pengikutnya laa-gee, wheeei!” balik Gamal meledek.
“Wuiiisss! Bener-bener kualat tuh kalo antipati gitu!” Butet tak mau kalah, memelototin iparnya.
“Yeeeh…, siapa yang bilang antipati dan nggak ngaku? Kok jadi pada suuzon sih?” Amalia membela suami imut-imutnya.

“Teeet… Ayooo! Ada pembelanyaaa! Mending minggat! Woooi, takuuut, taakuuut!” Nadia dan Butet ketawa-ketiwi, berlagak menyingkir ketakutan.

Rumah pun diwarnai tawa dan canda anak-anak kembali. Diah sangat menikmati suasana riang ini, sehingga melupakan segala tatapan sinis dan melukai yang masih dirasakannya. Bahkan sempat menajam, ketika mereka mengetahui Amalia menikah dini. Gosip dan fitnah begitu keji menghantam keluarganya. Banyak yang mengira Amalia si jilbab itu, diam-diam MBA, kata mereka. Nikah dini akibat kecelakaan…, aah, kejinya!

“Nggak apa-apalah, Ma, nggak usah didengerin! Kayaknya kita mulai kebal juga nih. Iya nggak, Teteh?” Butet semakin asyik menikmati perkembangan bisnis kecil-kecilannya bareng Nia.
“Yap! Segala gosip itu…, bulshiiit!” dukung Nadia.

Diah harus mengakui, memang itulah yang paling baik bagi mereka. Tak perlu terjebak gosip murahan. Menata kehidupan yang lebih baik, membentengi diri senantiasa dengan iman dan takwa. Mengoptimalkan segala potensi yang diamanahi-Nya, selalu mencari ridha Allah Swt semata.

“Yaah, begitulah teorinya, Ma. Kenyataannya pasti akan sulit dilakoni,” komentar Nadia.
“Kalau kita melakoninya dengan selalu memegang teguh ajaran-Nya, mengikuti sunatullah melalui teladan Junjungan kita Nabi Muhammad Saw… Insya Allah!”

Diah tak jemu-jemunya membekali sulungnya, bagaimana bila kelak melakoni hidup secara kaffah di negara sekuler.
“Hanya doa restu Mama, itulah yang paling kubutuhkan,” akhirnya Nadia mengakui bahwa hatinya pun sempat gamang.

Semangat ibu dan kedua adiknyalah yang mampu meneguhkan lagi keputusannya, menerima tawaran bea-siswa dari Universitas Sorbonne.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama