Ketika Rindu Aceh; Setahun Mengenang Tsunami




Sabtu, 24 Desember 2005
Dinihari menjelang tanah rencong, mataku tak bisa terpejam lagi. Sebelumnya pun seperti biasa di perjalanan, mataku memang bisa terpejam, tapi kupingku selalu terus menerus bisa menangkap suara-suara di sekitarnya. Jadi, praktis aku tak bisa tidur sepanjang pejalananan sekitar 12 jam itu.

Aku mencermati suasana yang dilewati bis kami begitu memasuki kawasan tanah rencong. Rawa-rawa menggenang, hutan bakaukah atau memang paya-paya, entahlah. Rara di sebelahku sepertinya ngelanggut terus-menerus, tak bisa kuganggu sejak beberapa jam lalu. 

Jadi tak sempatlah awak meneror nih anak sepanjang perjalanan, paling sepertiganya sajalah itu. Kulihat Rara sudah kewalahan menampung semua lakon yang kukisahkan, semua pengalaman dan ilmu yang kumiliki... Hihi, geer deh si teteh nih, Ra! Cemana daku yaah, yaah...

"Kenapa Teteh suka sekali bikin cerita yang ada unsur etnik Batak-Sunda-Tionghoa-Jawa?" Rara sempat menyelidikiku dengan nada yang serius sekali.
"Apa gak takut disebut SARA?" ini juga dilontarkan oleh salah seorang peserta seminar yang pernah kuisi.

Ah, jangan terlalu jauh menilainya atuh, Sodara!
Aku hanya mengambil unsur dramatiknya, dan alangkah bagusnya kalau kita mengawali novel dengan konflik, dan konflik paling tajam biasanya ada pada perbenturan antara etnik, eeh... multietnik, begitulah. Tentu saja tak seharusnya dan sangat tidak fair kalau tokoh antagonisnya harus Batak atau Tionghoa, umpamanya. Karena semua etnik toh sama saja ada yang baik dan ada yang jahatnya.

Belakangan, terus-terang saja, karena tertantang oleh seorang penulis Nasrani (tak perlu kusebut namanya!) yang begitu hobi mendudukkan tokoh jahatnya dengan nama Islam, maka aku pun menyeimbangkannya dengan... begitulah!

Musik yang semula mendendangkan Melayuan dan lagu-lagunya Mercys, beralih ke musik yang kubilang kepada Rara; "Ini mah musik setan, Ra! Bikin puyeng kepala orang saja. Woooi... Bang Sopir, tolong diganti musiknya!"

Suaraku mungkin cukup lantang, mengimbangi suara musik yang berdebum-debum seperti menggodam kepalaku yang keleyengan dan perutku yang mulai mual tak karuan.
Nyatanya sopir engeuh juga, Aahamdulillah. Musik diganti dengan lagu-lagu lembut campuran penyanyi Barat, Indonesia... aneh 'kali tak ada itu musiknya orang Aceh!
"Mana lagunya Rafli yang... Aceh Lon Sayang, ya Ra?"

Tapi Rara tak menyahut. Kulirik dia masih ngelanggut dengan walkman di kupingnya. Aku geleng-geleng kepala. Kutahu semula dia mau minum pil antimo. Tapi kuingatkan bahwa antimo bisa merusak ginjal. Rara menurut, dan memang toh dia bisa tidur sepanjang jalan tanpa antimo. Semoga antimo yang suka diminumnya selama ini tak meracuni tubuhnya dan ginjalnya. Hidup Rara, ketua DPC PKS Petisah! Hehehttp://images.multiply.com/common/smiles/smile.png

Bis berhenti di kawasan Seulawah, mesjid Batturahman, kalau tak salah, soalnya mataku lamur (maklum beranjak senja nih!) dan kepalaku kian keleyengan. Setelah membasuh muka, mengambil wudhu sekalipun, mataku tetap lamur, kacamataku entah di mana pula itu!
"Bagus sekali mesjidnya, ya Ra," komentarku sesaat kami mendirikan solat subuh berjamaah.
"Iya Teh, di Aceh banyak mesjid yang bagus. Nantilah Teteh lihat bagaimana masjid-masjid itu masih tegar menjulang, sama sekakli tak ambruk diterjang gelombang tsunami..."

Suasana bekas tsunami baru kurasakan menjelang Banda Aceh. Ada pemakaman massal di kawasan Lambaro. Ke tempat inilah rombongan SBY dan para tamu dari 150 negara, 26 Desember, memperingati refleksi setahun tsunami.

Rara mulai melek agaknya, dia berceloteh terus tentang dahsyatnya tsunami.ia bercerita tentang neneknya yang telah berumur 80-an, ternyata sanggup memanjat pohon asam yang tinggi di depan pekarangan rumahnya, sehingga selamat... Subhanallah!

Giliranku yang oleng-olengan, kudengar kisah Rara antara sadar dan tiada, alamak!
Bahkan ketika turun di terminal, langkahku serasa melayang-layang.
"Teteh butuh minuman panas nih, Ra!" kesahku nyaris tak tahan, limbung.
"Iya, Teh... kita bisa minum di kedai itu," tunjuk Rara, buru-buru dia menggandeng tanganku kuat-kuat.

Kami menanti yang menjemput sambil minum teh panas. Banyak becak bermotor pula di Banda Aceh. Akhirnya muncul juga Cut Januarita dengan suaminya, sosoknya mengingatkanku (sosok Alfi!) kepada sosok Tifatul Sembiring.

"Waaah... selamat datang di Aceh, Teteh sayang," Cut Nyak, demikian kemudian aku memanggilnya seperti orang serumahnya. Dia memelukku erat sekali. Mataku mulai terasa memanas dan semakin memanas. Air mataku pun mulai menetes. Terharu nian.

Benar, ini perjalanan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Setelah dua kali gagal. Sebelum tsunami, aku dan Nevi Yuli Safitri (korban tsunami berikut bayi dalam kandungan dan suaminya dan anaknya) pernah berencana untuk launching bareng Januari 2005. Buku Nevi, kumpulan cerpennya kebetulan melaluiku dan kusunting untuk penerbit Fikri Publishing. Judulnya, ini karena permintaan Nevi yang sangat bersikeras; Aku Pulang!

"Kita langsung ke rumah Icut, ya Teteh," berkata Cut Jan sesaat memperkenalkan suaminya, Alfi.

Rara duduk di depan dengan jilbab berkibaran. Aku dan Cut Jan lama berpandangan dan saling mencermati kondisi masing-masing.

"Kirain Teteh, Icut sudah ngidam..." kurengkuh bahu pengantin baru itu erat-erat.
"Iyalah, Teteh... Icut kan ngidam Teteh Pipiet nginap di rumah kami," sahut wanita cantik dengan wajah khas Aceh itu, tersenyum maniiiiis nian!

Di rumah Cut Nyak, kami disambut oleh Bunda Suhada. Belakangan baru kutahu beliau ini seorang mantan Jaksa. Wanita perkasa, satu lagi yang patut kutulis dengan tinta perak (ada gak ya, hehe?).

Maksudku, sosoknya ini mengingatkanku kepada bundaku sendiri di Cimahi sana. Sosok perempuan perkasa yang tak pernah mengenal kata putus asa, dan istilah menyerah sepanjang hidupnya. Nanti, khusus akan kutulis tentang Bunda Suhada ini. Insya Allah!

"Rara mau jalan bareng Eqi dan Kak Mar," ujar Rara setelah membersihkan diri, salin dan tampak segar bugar. "Teteh mau ikut kami?"
"Terang saja, kau ini kan sudah tidur!" gerutuku dalam hati. Yang terucap adalah; "Gak deh, Teteh gak mau ke mana-mana. Teteh mo rehat saja." Aku pun pamitan undur diri, setelah kenyang makan masakan Bunda dengan pepes ikan khas Aceh.

Begitu melihat tempat tidur, kurebahkan tubuhku yang terasa tak karuan, lemas, penat dan linu-linu. Tapi pas memejamkan mata, maka, plaaasssh, tak ingat di bumi alam lagi!


Ahad, 26 Desember 2005
Pagi sekali, kepagian sepertinya, aku sudah  terbangun. Pukul empat, kupikir sudah subuh jadi aku langsung solat. Eeee, sudah solat, sudah tilawah tahu-tahu adzan subuh berkumandang.
Mmm, beda satu jam, pikirku. Maka aku solat kembali. Aneh, sudah solat dan zikir, tiba-tiba terdengar suara adzan menggema lagi. Maka, jadilah kali ini, aku sampai solat tiga kali. 

Dengan terheran-heran, kemudian aku bangkit dan merapikan perantian solat. Tampak Rara masih tidur, kubangunkan dia seperti aku biasa membangunkan si Butet yang sering tidur bareng denganku.

"Di sini subuhnya tengah enamlah, Teh," jelas Rara senyum-senyum mendengar pengaduanku.
"Oooooh!”

Beberapa saat aku berbaringan, tapi sungguh tak betah. Jadi aku coba membaca, tapi majalah Ummi bulan Oktober dan November sudah kubaca kemarin sore. Rasanya aku mulai gelisah nih. Biasanya jam begini aku asyik menulis dengan laptopku. Tapi karena perjalanan jauh dan harus pakai bis pula, aku tak berani menjinjing-jinjing benda mewah yang belum lunas itu.
Mulailah aku bergerak, ke ruang tengah, senyap.

Ke ruang tamu pun senyap, apalagi ke dapur, waduh, gelap dan senyap. Kuputuskan kembali aku mindik-mindik ke kamar, disambut Rara yang masih berbaringan santai.
“Ada apa Teteh? Kelihatannya gelisah?" tanya Rara menatapku ingin tahu.
“Eh, gak apa-apa kokm cuma, hmm….” Aku bimbang.
“Tapi dari tadi kulihat Teteh bolak-balik saja. Sudah tiga kali kuhitung itu!”

Hadeuh! Ini bocah kusangka tidur, ternyata malah usil  menghitung gerak-gerikku, ya? Sungguh usilnya mirip benar dengan si Butet!
"Iya juga sih," akhirnya kuputuskan untuk berjujur-ria. "Aku terbiasa banyak aktivitas kalau jam segini, Ra. Aku gelisah, jujur saja nih. Sebenarnya heran juga sih. Kenapa jam segini orang-orang masih pada tidur ya, Ra?"

“Di sini orang sehabis solat biasanya tidur lagi, Teteh.”
“Euleuh? Sampai kapan?”
“Ya, semaunya orang itu sajalah. Apalagi ini hari libur, Teteh sayang,” jelas Rara bak seorang ibu guru kepada murid kecilnya.

Beberapa saat aku asih mau bertahan duduk mencangkuk di tepi tempat tidur sambil pikiran melayang ke antah berantah. Sungguh, ini situasi yang tidak membuat diriku nyaman. Sampai tiba-tiba aku merasa tak tahan lagi, kali ini mau kucari minuman hangatlah, tekadku.

Masih kudengar suara Rara menanyaiku: “He, mau ke mana lagi itu, Teteh?”
"Aku cari minuman hangatlah, Ra," sahutku kembali keluar kamar menuju dapur.

Ketika aku gentayangan di dapur mencari minuman hangat itulah, Bunda memergokiku. 
Hadeuh, ini baru ketahuan, ada tamu gentayangan di rumah orang!
"Duh, permisi, mohon dimaafkan, ya Bunda. Aku jadi gentayangan begini nih.”
Sumpah, malunya setengah mati euy!
"Oya, silakan... silakan, anggap saja rumah sendiri," berkata Bunda sambil menyodorkan kotak martabak, katanya bawaan Alfi semalam.

Daripada malu terus-menerus, mendingan juga kuterima suguhannya. Hihi. Kunikmati martabak yang sudah dihangatkan di mejikjer itu dengan teh manis panas. Agaknya di rumah Cut Januarita ini tak ada kopi. Karena tak ada yang suka ngopi. Jadi aku janji dalam hati nanti siang akan kucari kopi instan untukku. Kebiasaan nian daku ini harus minum kopi kremer setiap pagi dan sore.

Kulihat Bunda segera sibuk mendampingi Puntari yang biasa dipanggil Ayi. Putranya itu berumur 21 tahun, sekolahnya di SLB setingkat SMA. Ayi memang seorang penyandang down syndrome. Namun, dia mendapatkan limpahan kasih dari seluruh anggota keluarganya.

Selama menunggu waktu, merintang-rintang senggang, akhirnya aku mengisi jurnal; sebuah buku besar milik FLP Aceh yang memang disediakan untuk curhat-curhatan anggotanya.
Semalam buku besar itu telah kucermati isinya. Macam-macam tulisan anak-anak FLP Aceh. 

Mulai dari kegelisahan para pemula, saling memuji, saling mengkritik sampai kalimat-kalimat menyedihkan; Say God Bye-nya Cut Intan.

Cut Intan sedang digembleng berbagai pelatihan, menjelang keberangkatannya ke USA dengan beasiswa IEFF. Agaknya anak-anak, terutama Eqi (sempat kusangka ikhwan, hihi!) merasa sedih sekali harus ditinggalkan oleh Cut Intan.

Dua lembar kuisi buku besar itu; selembar berupa komentar dan catatanku tentang teman-teman FLP Aceh. Lembar kedua tentang kiat-kiat menulis. Demikian sekadar kenangan dariku yang telah banyak merepotkan.

Jadwal hari ini adalah; Tablig Akbar di Mesjid Baitturahman dipimpin oleh Ustad Arifin Ilham. Cut Putri juga mengundangku untuk menghadiri acara pertemuan dengan para Tetua Adat Aceh, tokoh masyarakat dan pers. Acara ini spesial tentang pembuktian fenomena pemurtadan, bukan sekadar isu melainkan kenyataan.

"Gak apa-apa kita naik becak motor, ya Teh?" kata Cut Jan saat becak motor yang dipanggil Alfi sudah datang, siap membawa kami ke mesjid Baitturahman.
"Wis yo... gak apa-apa atuh. Daripada jalan kaki, entar ngeplek deh," sahutku sambil ketawa.
Rara dan Cuk Jan pun tertawa manis, sama manisnya. Rara dengan jilbab biru, baju semu biru. 

Cut Jan dengan jilbab ungu, gamisnya juga semu ungu. Rara duduk di depan kami berdua, artinya saling berhadapan tapi pasti bokong Rara tak genah. Meskipun demikian, Rara senyum-senyum sumringah dan banyak canda.

Sepanjang jalan saya mengambil gambar-gambar dengan kamera digital milik Seli, kadang mensyut videonya. Entah bagaimana cara membukanya, biasanya aku lebih sering gagal kalau memanfaatkan fasilitas videonya. Hmm, semoga kali ini sukses mengambil videonya, doaku dalam hati.

Cut Jan menuturkan tentang suasana saat gelombang tsunami menghantam Banda Aceh setahun yang lalu. Tepat setahun yang lalu, Cut Jan setelah gempa, memaksa pergi juga bareng Mariana.

Mereka dikejutkan oleh massa yang berlarian sambil berteriak-teriak ketakutan.
“Air laut naik! Air laut naiiiik!”
Cut Jan malah tertegun dan berkomentar dengan nada tak percaya; "Ah, ada-ada saja orang itu. Mana mungkin air laut ke sini? Kan jauh dari pantai!"

"Ayo Icut, lari sajalah kita!" Cut Mar menarik tangan sahabatnya kuat-kuat.
Saat itu keduanya sedang jalan kaki di kawasan Gunungan. Keduanya kemudian naik angkutan umum, tapi jalanan sudah macet. Mereka memutuskan turun dan air memang sudah menggelombang-gelombang menuju  mereka.

"Nah, kami berlari-lari dikejar gelombang itu, jauh ke sana tuh, Teteh!" Cut Jan menunjuk ke arah Gunungan. "Kalau telat sedikit saja, aduh, pasti lewat juga kami!"

Mendengar segala kisah yang menakjubkan, kadang di luar akal manusia, bulu romaku meremang hebat. Sepanjang jalan itu, kubayangkan gelombang tsunami menggulung massa, bergerak terus, menggelombang dahsyat menghantam segalanya, menerjang dan meluluh-lantakkan!

Cut Jan juga bercerita tentang satu keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal tak jauh dari Baiturrahman. Mereka menyelamatkan diri dan masuk ke mesjid itu.
"Mereka semua selamat dan menyatakan diri memeluk Islam, Teteh. Mereka bilang, inilah rumah Allah yang sesungguhnya. Karena semuanya diselamatkan diselamatkan di sini.”

“Subhanallah,” decakku takjub, dan tak henti ikut pula menyeru kebesaran-Nya.
"Ya Robb, jangan pernah datang lagi hal semacam itu, kepada siapapun dan di manapun," gumam Cut Jan mengakhiri kisahnya.

Dan kami pun turun tepat di depan Mesjid Baiturrahman.
"Di mana ya aku bisa jumpa Cut Putri?" tanyaku celingukan di tengah masyarakat Aceh yang tumplek blek memasuki pekarangan Baitturahman.
"Coba saja ditelepon langsung, Teteh," ujar Rara.

Tiba-tiba ada SMS masuk. Dari orang yang sedang kucari. Ternyata Cut Putri tak bisa jatuh sakit. Rara menelepon langsung, sementara aku sudah bergabung dengan lautan manusia yang hendak melakukan tablig akbar.

“Iya, aku ini temannya Pipiet Senja. Oooh, Cut Putri dirawat di mana? Boleh kami menengok?” Samar-samar kudengar suara Rara yang masih mencoba berkomunikasi dengan gadis yang pernah mensyut gelombang tsunami dari dekat itu. Hasil rekamannya kemudian ditayang setiap saat di Metro TV.

"Jadi?" tanyaku ingin tahu, menatap wajah Rara yang lebih banyak garis-garis Medan atau Batak daripada Acehnya. Padahal gadis ini mengaku aslinya Aceh. Mungkin karena di Aceh dia hanya numpang lahir, sebagaimana pengakuannya.

"Cut Putri bilang, minta maaf sama Teteh. Malah dia yang sakit di Bunda Harapan."
“Apa kita boleh nengok?”
“Tadi, katanya sih, jangan merepotkan.”
"Nanti kita hubungi lagi, Teh, kalau acara kita di sini sudah selesai," saran Cut Jan.

Manusia dari saat ke saat semakin menggelombang, persis gelombang tsunami setahun yang lalu. Suara Ustad Arifin Ilham yang bertahlil, yang menangis dan menyeru nama Allah, mengumandang, menggema, menggedor nurani setiap insan yang mendengarnya.

Tanpa terasa air mata pun menitik, semakin menitik dan membanjir. Kulihat semua jemaah di sekitarku pun sama menangis, ada yang hanya mengisak, tetapi kebanyakan tersedu-sedan.
"Ya Allah, jangan lupakan kami... Mohon kuatkanlah hati kami.... masyarakat Aceh ini, Ya Rob... 
Jadikanlah musibah ini sebagai pengingat kepada kami... hingga kami bisa memaknainya dengan cerdas, menguatkan hati-hati kami, iman dan ketakwaan kami. Laa illaha ilallahu Muhammadarasulullah...”

Takbir pun terus menggema, menggema dan menggema. Ya Robb, semoga Engkau senantiasa memberkahi masyarakat Aceh, saudara-saudara kami tercinta ini.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama