Keajaiban Pun Berseliweran: Tersungkur di Telapak Kaki Raksasa



April, 2006
Keajaiban Mulai Berseliweran
Hari kedua di Madinah aku terlambat bangun, karena kelelahan dan baru tidur pukul dua dinihari. Azan Subuh yang pertama menggema aku baru turun dari lantai enam, ditinggalkan oleh Marlen dan Aisha. Di lift jumpa dua orang jemaah Turki yang menyapaku dengan ramah.
“Assalamualaikum…”
“Wa alaikumussalam…”
“Are you Malaysian or Brunei?”
“No Mom… I’m Indonesian…”
“Ooo… I see… Habibie, yeah?”
“Eh… iya, iya Habibie…”
Ops… bangga rasanya ada yang mengenal Indonesia melalui sosok imut-imut, negarawan yang sangat Islami, pendiri ICMI itu. Bukan hanya Sukarno atau Bali belaka.
Kami berpisah di lobi karena dua sosok tinggi besar berbusana hitam-hitam itu melangkah panjang-panjang… Waaa… gak kuku deh daku!
Syukurlah daku masih bisa mendirikan tahiyatul masjid, kemudian berjemaah sholat Subuh. Aku tak beranjak dari perantian sholat, kunantikan kesempatan untuk sholat dhuha. Di sebelah menyebelahku jemaah terdiri dari berbagai bangsa; Malaysia, Brunei, Turki, Nigeria bahkan Rumania dan beberapa negara Eropa Timur.
Di antara zikir dan tilawah, sesekali aku bangkit untuk mengambil air zamzam. Meminum air penuh barokah sejak zaman para Nabi itu sekenyang-kenyangnya, dan aku mengalami surprise di penginapan saat buang air kecil.
Seingatku, seumur hidup urineku senantiasa berwarna merah pekat, lebih merah daripada air teh. Ini akibat penumpukan zat besi, kemudian kerja limpaku yang error; menghancurkan semua haemoglobin baik yang sehat maupun tidak; semua dihancurkan! 
Demikianlah kondisiku sepanjang hayat menjelang separo abad. Sejak memasuki kota Nabi, urineku berwarna bening, subhanallah!
Berlinangan air mataku bahna terharu, kuperbanyak rasa syukur, zikir dan berdoa. Usai Dhuha, kembali ke hotel yang hanya berjarak beberapa meter, makan pagi. Aku ketinggalan rombongan yang telah berangkat untuk Raudhah kembali.
“Mari aku temani, Bu,” berkata mutawif akhwat alias mutawifah, Mbak Nur seraya mengajak serta bundanya bapak Himawan, sebaya emakku.
“Baik… Oya, kita gak perlu memaksakan diri, ya Mbak. Sebisanya hindari bentrok dengan yang tinggi-tinggi besar itu loh… Takut aku… Kemarin limpaku kesikut sakit banget…”  Lagian bau, aku menambahi di dalam hati, tanpa sadar… (astaghfirullah adziiim!)
Kami pun bertiga berjuang luar biasa untuk mencapai kawasan Raudhah, lebih hebat daripada sebelumnya. Di sinilah terjadi buah ceplas-ceplosku, meskipun di dalam hati.
Setelah satu jam berjuang tanpa hasil, jangankan mendekati, mencapai batas antara Raudhah dengan penyekat yang dijaga beberapa asykar perempuan pun tetaplah sia-sia!
Suatu saat tiba-tiba dari arah belakang berderap lima-enam sosok tinggi besar, berbalut kain hitam-hitam, bercadar… Sekelebatan seorang di antaranya ada yang terlepas cadarnya, jantungku berdetak kencang…
Masya Allah… Makhluk apakah ini?
Wajahnya hitam sekali!
Seketika ada yang mendorong punggungku, buuuuk!
Rombongan hitam-hitam itu berhasil menyeruak ke depan, melemparkan manusia-manusia perempuan dari berbagai bangsa yang sejak tadi bertumpuk. Ajaibnya tubuhku serasa mengapung, mengikuti jejak mereka dan; bruuuk!
Kepalaku, wajahku, hidungku sungguh nyungsep tepat di kaki (menurutku, besar sekali, belum pernah kulihat kaki serupa itu!) salah seorang wanita berbusana hitam-hitam itu. Aku takkan melupakannya, bersamaan dengan itu tercium aroma yang sangat memabukkan!
Aku berjuang sedemikian rupa untuk menahan perasaan mual yang mengaduk-aduk seluruh isi perutku itu, dengan zikrullah dan menyeru asma-Nya, memohon maghfiroh dari Sang Pengasih… Subhanallah!
Namun, ternyata, Saudara, justru berkat merekalah aku bisa memasuki areal Raudhah, mendirikan sholat dua rakaat. Begitu menyadari segalanya telah berlangsung amat mudah bagiku, otakku baru konek kembali; ceplas-ceplosku itu, ya Allahu Akbar!
“Ampun Allah, ampunilah hamba-Mu yang tak tahu diri ini, Ya Rob. Hamba telah menghina ciptaan-Mu, seharusnya Engkau marah, mengazab hamba. Tapi nyatanya Engkau malah mengucurkan rahmat-Mu yang tak teperi,” gumamku dalam buncah air mata, perasaan berdosa, penyesalan yang berbaur dengan permohonan pengampunan.
Lama aku tercenung, duduk sendirian di pelataran Masjid Nabawi siang menjelang petang itu. 
Sungguh, betapa ingin kunikmati segala yang berseliweran di sekitarku, tanpa kusadari air mataku terus jua berlinangan. Air mata nikmat, kali ini yang takkan mungkin terlupakan seumur hidupku.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama