Selain menjadi Kota Suci kedua umat Islam setelah Makkah Al Mukarramah, Madinah Al Munawarah juga memiliki sejumlah tempat wisata yang menarik dan sayang untuk tidak didatangi. Salah satunya adalah Jabal Magnet (Magnetic Hill) atau Gunung Magnet. Letaknya 60 kilometer dari Kota Madinah.
Dalam perjalanan menuju kawasan Jabal Magnet dari Madinah, rombongan tidak habis-habisnya melepaskan pandangan ke bagian kiri dan kanan kendaraan yang terlihat sejumlah perkebunan kurma dan hamparan bukit berbatuan. Dan 10 kilometer menjelang Jabal Magnet, rombongan melewati sebuah danau buatan yang cukup besar.
Rombongan membuktikan misteri Gunung Magnet yang didominasi warna hitam dan merah bata itu. Mobil berjalan sendiri ke arah berlawanan (mundur), bakan sanggup mendaki tanjakan. Tidak hanya itu, jarum penunjuk kompas yang dibawa tidak bekerja sebagaimana mestinya. Arah utara-selatan menjadi kacau.
Magnetic Hill warga setempat menyebutnya Manthiqa Baidha, yang berarti perkampungan putih. Namun, banyak yang menamainya Jabal Magnet. Jabal Magnet menyimpan misteri dan decak kagum bagi siapa saja yang berkunjung ke kawasan ini.
Daya dorong dan daya tarik magnet di berbagai bukit di sebelah kiri dan kanan jalan, membuat kendaraan yang melaju dengan kecepatan 120 kilo meter per jam, ketika memasuki kawasan ini, speed-nya perlahan-lahan turun ke 5 kilo meter per jam. Sehingga gigi perseneling terpaksa diubah ke posisi dua. Sebaliknya jika meninggalkan kawasan ini, mobil tanpa diinjak gas pun, bisa melaju dengan kecepatan hingga 120 km per jam.
Jabal Magnet yang menjadi kawasan wisata penduduk Madinah awalnya ditemukan oleh orang suku Baduy. Saat musim haji, banyak jamaah yang menyambanginya. Pemerintah Arab Saudi lalu membangun jalan menuju lokasi tersebut. Di daerah yang terhitung hijau karena banyak ditumbuhi pohon kurma itu, juga dilengkapi sarana wisata lainnya. Ada tenda-tenda untuk pengunjung, ada mobil mini yang bisa disewa untuk merasakan tarikan medan magnet itu.
Fenomena Jabal Magnet bisa dijelaskan dengan logika. Karena, Kota Madinah dan sekitarnya berdiri di atas Arabian Shield tua yang sudah berumur 700-an juta tahun.
Kawasan itu berupa endapan lava “alkali basaltik” (theolitic basalt) seluas 180.000 km persegi yang berusia muda (muncul 10 juta tahun silam dengan puncak intensitas 2 juta tahun silam).
Lava yang bersifat basa itu muncul ke permukaan bumi dari kedalaman 40-an kilo meter melalui zona rekahan sepanjang 600 kilo meter yang dikenal sebagai “Makkah-Madinah-Nufud volcanic line”.
Banyak gunung berapi terbentuk di sepanjang zona rekahan itu. Seperti Harrah Rahat, Harrah Ithnayn, Harrah Uwayrid dan Harrah Khaybar. Tidak seperti di Indonesia yang gunung-gunungnya berbentuk kerucut, sehingga memberi pemandangan eksotis, gunung-gunung di Arab berbentuk melebar dengan puncak rendah. Kompleks semacam ini cocok disebut volcanic field atau harrah dalam bahasa Arab.
Harrah Rahat adalah bentukan paling menarik. Dengan panjang 310 km membentang dari utara Madinah hingga ke dekat Jeddah dan mengandung sedikitnya 2.000 km kubik endapan lava yang membentuk 2.000 lebih kerucut kecil (scoria) dan 200-an kawah maar. Selama 4.500 tahun terakhir, Harrah Rahat telah meletus sebanyak 13 kali dengan periode antarletusan rata-rata 346 tahun.
Letusan besar terakhir terjadi pada 26 Juni 1256, yang memuntahkan 500 juta meter kubik lava lewat 6 kerucut kecilnya selama 52 hari kemudian. http://www.kaskuserz.com/forum/Misteri-Jabal-Magnet-Endapan-Lava-Berumur-Ratusan-Juta-Tahun
Kendaraan mewah itu bergerak, melintasi padang pasir dan jabal alias gunung.
Memang diakui, pada musim haji jamaah tidak terlalu banyak dibawa tur. Sebab lebih memusatkan pada ibadahnya, melaksanan rukun-rukun haji yang utama. Sungguh beruntung bagi mereka yang sebelumnya telah melaksanakan umrah. Pada umrah hampir semua tempat bersejarah akan dikunjungi.
“Nah, gunung ini mengandung magnet, merupakan medan magnet, ibu-ibu dan bapak-bapak. Kendaraan ini, sebentar lagi akan berjalan sendiri. Tanpa mesin, maksudnya tidak dihidupkan mesinnya.
“Oh, subhanallah….”
“Nanti memang kita sudah rencanakan jalan sendiri mobilnya. Dalam kendaraan netral di sana , kita akan belok dan kita akan coba…. Bagaimana kekuatan medan magnet di sana itu dapat menarik mobil kita….”
Kuhidupan kamera digital yang kubawa-bawa, kecuali ke dalam Masjid Nabawi, lebih banyak merekam daripada menjepret foto. Ketika asyik merekam muncul peringatan bahwa memorinya sudah penuh. Terpaksa sebagian kuhapus, setidaknya aku masih bisa mengabadikan fenomena alam yang luar biasa ini.
Dan mobil besar itu dimatikan mesinnya oleh Wan Mesir. Tetapi mobil tetaplah melaju, melaju, melaju dalam kecepatan 60,70,80…
“Apakah ibu-ibu dan bapak-bapak mau kecepatan tinggi?” tantang Ustaz Mahfud.
“Yaaa….jangan, ah, biasa aja!” sahut ibu-ibu khawatir.
Lain halnya dengan bapak-bapak, terutama yang masih muda-muda. Mereka serempak berseru: “Iyaaa….coba ngebuuut!”
Mujurlah, sopir Mesir ternyata bimbang dan memutuskan untuk berpihak kepada ibu-ibu. Aku yang selalu menempati jok di belakang sopir dapat melihat dengan jelas, kaki-kaki sopir diangkat, bahkan menjauhkan badannya dari kemudi. Hanya tangan-tangannya saja yang selalu sigap mengendalikan; lurus, belok kiri atau belok kanan. Suasananya menjadi tegang!
“Bagaimana kalau ada yang punya pin di jantungnya? Apa pinnya bakal terbetot, Ustaz?” tanyaku cemas, kutahu ada seorang jamaah lansia yang mengaku belum lama menjalani operasi “by pass” jantungnya.
“Gigi-gigi palsu yang emas…bagaimana?” dari belakang ada yang nyeletuk. “Ayo, mengaku, siapa yang pake gigi emas..bagaimana?” dari belakang ada yang nyeletuk, “Ayo, mengaku, siapa yang pake gigi emas?”
“Gak adaaa!” rame-rame disahuti. Ketegangan pun mencair dengan tawa, canda dan keriangan.
“Coba ada yang beginian di Indonesia , ya Ustaz?”
“Bener, misalnya di kawasan Madura. Bisa dipake buat penyebrangan Banyuwangi-Madura. Kan asyik banget tuh mobil-mobil pada jalan sendiri. Mengurangi anggaran BBM!”
“Anugerah alam seperti ini hanya akan diturunkan bagi bangsa pilihan Tuhan.”
“Iya juga sih… Bangsa kita mah kebanyakan korupsinya!”
“Hajinya cuma buat menutup dosa, begitu mungkin anggapannya!”
“Kapan ditemukan fenomena alam ini, Ustaz?” tanyaku menengahi dengan penasaran. Mengapa aku tak terpikir browsing segala sesuatunya tentang Tanah Suci, ya? Medan magnet ini luput dari pengetahuanku.
“Kalau tak salah sekitar empat tahun yang lalulah, Bu…”
“Bangsa apa yang menemukannya?”
“Kalau gak salah…” “
“Pasti bener, ya Ustaz?”
“Haha…bangsa Barat…”
“Aaaaarrrgh!” seruan kecewa seketika mendengung memenuhi bis full AC.
Kami turun untuk melihat-lihat. Anak-anak muda menyewa trail yang sudah tersedia. Suku Badewi menyediakan trail-trail sewaan. Hanya bayar antara lima sampai sepuluh real, maka kita sudah berputar-putar di sekitar medan magnet dengan trail tanpa bahan bakar itu. Kuhirup aura medan magnet sepuasnya, kuingin hawanya bisa meresap dalam dadaku.
Beberapa saat kami pun jeprat-jepret. Paris , seorang stylist dari Bali yang sudah keliling dunia, tampak cekatan sekali mengabadikan lanskap indah dengan kamera digital canggihnya. Kami kembali ke dalam kendaraan membawa kenangan indah tentang sebuah keajaiban alam. Allah Maha Besar, telah menganugerahkan medan magnet ini sebagai pembelajaran bagi umat.
“Apa medan magnet? Aku belum pernah dengar tuh!” komentar Marlen yang tidak satu rombongan denganku, begitu kubagikan pengalaman turku saat kami jumpa di lobi hotel.
“Oya?” aku terkejut, mengapa bisa demikian ya?
“Setahun yang lalu aku berhaji, tapi tidak ke tempat yang Teteh bilang barusan…”
“Oh, kalau begitu, mungkin dikau masih akan berhaji lagi tahun-tahun yang akan datang, Dek. supaya dirimu mengunjungi tempat itu.”
“Ah, Teteh bisa saja….amin, amiiin!”
Pernah sesaat kukisahkasn tentang pengalamanku yang greget dan kurasai sebagai ibrah selama berhaji, Marlen tercenung-cenung.
“Teteh kok banyak banget kisah hajinya yang ajaib begitu, ya? Kenapa aku yang sudah berkali-kali berhaji …Mm, rasanya pengalamanku biasa, datar-datar saja. Kenapa lain sekali dengan Teteh, ya?”
“Mungkin, karena aku seorang penulis ‘kali, ya Dek? Biar pengalamanku bisa kubagi dengan pembacaku, dan menjadi ibrah, kisah hikmah untuk khalayak. Terutama yang belum pernah berhaji,” kurasa itulah jawaban yang logis.
@@@
Posting Komentar