Depok-Suramadu: Gerangan Dimanakah Makhluk Bernama Carok?

  

Surabaya, 26 November 2010                                                       

Maka, hari ini akan kupenuhi undangan dari Dina dkk, kampus Universitas Airlangga, Surabaya. Dina sudah menjadwalkannya sekitar bulan Juni, ya, sebelum aku berangkat ke Hongkong. Bahna kelamaannya menjadwal, aku sampai lupa kapan tepatnya acara tersebut diselenggarakan. Sempat mengira Oktober dan sudah bersiap akan pergi.

Begitu acara sudah siap, demikian menurut pikiranku, untuk pertama kalinya pesan tiket online, ditanggulangi dulu sendiri, baru keesokan harinya panitia mentransfer dananya.



Aku pesan taksi sejak kemarin kepada taksi yang kutumpungi ke kantor. Pukul 04.00, ternyata taksi pesanan tidak datang, sesuai kesepakatan batal. Sempat panik juga, maklum dari tempatku itu taksi langka dan tak mungkin kalau pesan lagi, bisa-bisa entah kapan datangnya. Sementara pesawat terbang pukul.06.00!

“Ya sudah, biar Butet antar saja,” kata Butet via ponsel, ketika aku celingukan seorang diri di pinggir jalan, menanti taksi. Kembali, putriku bisa diandalkan!



Dalam kesibukan magang, menyusun skripsi dan menunggui si emasnya yang sedang terkapar di RSPAU kena demam berdarah, Butet tetap bisa mengantarku sampai Bandara Cengkareng. Kami berpisah di Terminal 3.

Mandala agaknya memakai Terminal 3, sebuah kawasan di Cengkareng yang imejnya sering dikaitkan dengan TKW/TKI. Kondiisi bangunan dan areal sekitarnya bagus, malah lebih bagus (karena masih baru barangkali) dari pintu-pintu di kawasan Terminal 2.



Hmm, jadi ini ya Terminal 3 itu, gumamku membatin. Ternyata sama sekali tak ada calonya, sebiji pun tiada, mereka yang biasa mengganggu para TKW kita yang baru kembali dari luar negeri. Entahlah, jika mereka sedang sembunyi!

Mataku sempat diedarkan, mencermati penumpang Mandala sambil bertanya-tanya; mana Fahri Asiza, ya? Dia menjadi rekan pemateriku kali ini. Sebelum mematikan ponsel, kulayangkan SMS kepada otaknya sitkom OB dan Kejar Tayang itu.

Dia menjawabnya, setelah pesawat mendarat di Bandara Juanda, dan kembali kubuka ponsel BB hadiah dari Ustaz Ghofur, DD HK itu. Isinya sungguh membuatku terperangah: ”Loh, bukannya acara kita besok, 27 November, Teteh?”

Tengsin nih ceritanya si Manini, ogah diketawain, karena keliru menghitung hari dan jadwal. Maka, kujawab saja begini; ”Iya sih, sengaja datang awal biar bisa dolanan dulu di Surabaya!” Hehehehe, dasar manini, ya, bisa-bisanya salah menghitung hari!



 
Sopir Taksi Itu Suami Seorang TKW

Tiba di Bandara Juanda pukul 07.10, karena sudah menyadari bahwa aku telah salah menghitung hari, maka aku enggan menghubungi Dina. Tak mau merepotkannya. Jadi, kulayangkan saja SMS kepada Ridho, kepala cabang Zikrul Hakim di Surabaya.

“Naik taksi saja, ya Teteh ke Palm Spring Regency Blok D 9,” demikian SMS-nya.
Aku pun melenggang dengan ringan, hanya membawa tas gendong berukuran sedang milik Butet yang sering kupinjam ke mana-mana. Tidak membawa apa-apa selain laptop mungil, baju atasnya saja yang salah ambil, ternyata baju Butet dan tak bisa kupakai alias kekecilan.

Begitu keluar dari pintu kedatangan, kulihat para penjemput sudah berjejer. Bibirku pastinya mesem kecil, tepatnya cengiran, mengingat takkan ada seorang pun panitia yang akan menyambutku, seperti biasanya.



Tidak mengapa, aku pernah mengalaminya di luar negeri. Beberapa bulan yang lalu, ketika celingukan sendiri di Bandara Hong Kong. Tak bisa menghubungi nomer panitia, karena kartu teleponnya masih milik Indonesia. Duit di dompetku pun bukan dolar HK melainkan masih rupiah. Beruntunglah, seorang perempuan langsung menghampiriku dan menyapaku dengan manis dan ramahnya.

“Ibu Pipiet Senja, ya, saya dari DD HK,” katanya yang kusambut dengan sangat sukacita, dan kupeluk dia erat-erat saking lega dan senangnya diriku.



Dan ini masih di Tanah Air, kota Pahlawan yang telah lumayan sering kukunjungi. Kulihat ada taksi berjajar, maka kuhampiri dan kuperlihatkan alamat tujuanku. Sopirnya bilang, karena ini di Bandara jadi tidak pakai argo. “Kalau ke Palm Spring, yah, 70 ribu saja, Bu,” nadanya jelas mengisyaratkan tak bisa ditawar lagi.

Ya, sudahlah, yang penting sampai di tujuan, pikirku. Sepanjang jalan yang masih pagi itu, kucermati jalanan ibukota Jawa Timur. Banyak bangunan baru, terakhir ke sini adalah awal 2008, menjadi juri bareng Andrea Hirata di Graha Pena. Ini hari Jumat agak mendung, belakangan baru kudengar berita tentang status gunung Bromo; Awas!



Sopir taksi seorang lelaki 45-an peramah, sempat curhatan tentang mantan istrinya yang TKW, ketika mengetahui aku seorang penulis dan belum lama pulang dari Hong Kong. Ia mengaku sejak awal tidak mengizinkan istrinya bekerja di Hong Kong. Namun, sang istri memaksa bahkan tak takut dengan ancaman talak.

“Ya, sudah, saya biarkan saja dia dengan pilihannya. Wong saya juga bisa cari nafkah, tapi dia tak cukup dengan penghasilan saya sebagai sopir taksi. Dua tahun, dia tambah lagi kontraknya, kadang mengirimi anak kami satu-satunya dengan macam-macam barang. Masa anak SD kelas empat dibelikan BB. Kesal saya, takut akibatnya sama anak, jadi saya masukkan saja anak itu ke pondok!”


Sementara dia menceracau, pikiranku melayang kepada sahabat, anak-anak yang sudah kuanggap sebagai bagian dari keluargaku. Mereka, para BMI Hong Kong yang kukenal kebanyakan berasal dari Jawa Timur. Mereka, para perempuan tangguh yang membawa niat tulus demi kesejahteraan keluarga.

Mereka, para ibu yang rela mengorbankan waktu, jiwa dan raganya demi anak. Bahkan harga diri dan kehormatan pun rela dipertaruhkan. Asalkan anak-anak yang dicintai bisa sekolah dan hidup sejahtera, tak kurang suatu apapun.


“Dia kirim video, isinya pesta ulang tahunnya dirayakan teman-temannya. Kelihatan pergaulannya bebas banget, dia ketawa-ketiwi, menari-menyanyi. Sama sekali tak mau dengar nasihat suami lagi, ya, sudah saya lebih baik membebaskan dia sepenuhnya!”

Ini sisi lain dari kisah BMI HK yang telah kusunting dalam buku keroyokan: Surat Berdarah Untuk Presiden. Curhatan suami dari seorang perempuan yang bersikeras mengais rezeki di negeri beton.

“Terus, sekarang Mas sudah menikah lagi?” tanyaku ingin tahu.
“Oh, tidaklah, tidak terpikirkan. Anak, dialah sekarang fokus saya!” sahutnya tegas.



“Nah, itu tempatnya, ya Mas!” seruku, merasa terbebas dari celotehannya, entah benar entah hanya dusta. Tetapi, jika kulihat dari keseriusannya dan nadanya yang penuh sesal itu, duhai, siapapun akan percaya kebenaran curhatannya.

Mas Ridho menyambutku sambil ketawa. “Salah hari nih, Teteh?”
“Iya, ini sudah kuhubungi Gufron di Ponpes Al Amien. Apa kita bisa ke sana hari ini, ya,” kilahku menghindar.



Ternyata Gufron baru menjawabnya setelah tengah hari. Agar aku menghubungi langsung Ustaz Hamzah. Dan dia baru membalas SMS aku setelah menjelang sore. Maka, sepanjang siang dan sore itu aku membaur dengan keluarga kecil Ridho, tapi tetap tersambung dengan laptop; melanjutkan garapan novel.

Bada maghrib, aku diantar ke kawasan Rungkut, di mana seorang sahabat yakni Sinta Yudisia bermukim. Ya, di rumah penulis handal inilah aku menginap malam Jumat itu.


Sinta Yudisia Sosok Bersahaja

Petang itu, akhirnya aku tersambung dengan seorang penulis produktif yakni Sinta Yudisia. Aslinya dari Tegal, sejak 3 tahun yang silam pindah ke Surabaya, melanjutkan S2 jurusan Psikologi. Ibu dari empat anak ini kukenal sejak aku bergabung dengan komunitas Forum Lingkar Pena. Beberapa kali kami berjumpa, dalam sebuah forum atau Silnas, Munas yang diselenggarakan oleh FLp.



Terakhir kami berjumpa di Tegal, 2007. Meskipun berjauhan, secara pribadi aku senantiasa mencermati karya-karyanya. Sebagaimana kucermati juga karya para penulis FLp lainnya. Sinta Yudisia termasuk seorang penulis yang sangat produktif, karya-karyanya sering mengambil penglataran sejarah dan banyak juga yang best sellerNyanyian Surga, Pink, Red Jewel of Soul, The Road of The Empire, Lafadz Cinta, Reinkarnasi, Existere.

Pokoknya karya-karya Sinta Yudisia ini bagus-bagus dan menurutku, tema yang diambilnya terbilang langka, tingkat kesulitannya tinggi. Heran juga, jika belum ada produser yang meliriknya. Mungkin, karena Sinta Yudisia sangat low profile sama seperti Afifah Afra dan penulis FLp senior lainnya. Tapi, percayalah, akan tiba waktunya!

Rumah besar di pinggir jalan di kawasan Rungkut itu, ternyata tidak ada kepala keluarganya. Suaminya bertugas di Jakarta, pulang dan berkumpul dengan keluarga pada waktu-waktu tertentu. Melihat kesantunan empat anak; dua putri dan dua putra, bagaimana mereka sholat dan menghafal dan menyetor hafalan Al Quran, nyaris tanpa digebrak-gebrak dulu oleh sang ibu, subhanallah!

“Dek, salut, ah Teteh, seriuuuus!” kusampaikan kekagumanku kepadanya sampai beberapa kali, dan Sinta hanya tersenyum manis, malah balik menyatakan rasa salutnya terhadapku.

Kami, bersama Gola Gong, Fahri Asiza, Joni Ariadinata, Helvy Tiana Rosa, dan tujuh penulis senior lainnya termasuk dalam jajaran Majelis Penulis FLp periode 2005-2009. Sampai saat inipun Sinta masih aktif dalam kepengurusan. Sementara aku tetap terikat secara kuat dengan komunitas yang sering disebut sebagai “pabrik penulis” ini, meskipun tidak aktif sebagai pengurus.

Malam-malam Sinta dengan motornya masih keluar rumah, ternyata mencarikanku cemilan dan minuman segar. Tahu saja dia kalau daku ini tukang ngemil, ya. Selang-seling dari melayani empat matahatinya, Sinta masih meluangkan waktu menemaniku. Biasalah kalau dua perempuan, dua ibu bertemu, maka kami pun saling berbagi kisah inspirasi. Alias tidak mau dibilang bergosip apalagi berghibah, padahal kan batasnya sungguh tilpis, ya Dek? Ehem!

Karena perbawa aura yang tenang dalam rumah Sinta agaknya, aku langsung tertidur lelap dan baru bangun dinihari pukul 03,00. Ternyata Sinta pun sudah bangun, bahkan mungkin lebih awal dariku. Beberapa jenak kami khidmat bersujud di atas hamparan sejadah cinta-Nya.

Seperti jadwal harianku, masih bisa kumanfaatkan waktu untuk menulis beberapa lembar; melanjutkan sebuah novel, semoga kelar tahun depan dan dicetak 2011. Sekitar pukul 05.00, aku baru beringsut dari kamar, dan bergabung dengan keluarga Sinta di ruang tengah.

“Kita sarapan apa adanya nih, ya Teteh,” sambut nyonya rumah dengan wajah sumringah. Agaknya ia sudah keluar rumah juga pagi sekali, mencarikanku bubur ayam yang enak. Duhai, jadi merepotkan nih si Manini, ya Dek.

Panitia awalnya janji akan menjemput pukul 07.30, maka lebih pagi pun aku sudah siap-siap. Kenyataannya, mereka baru datang sekitar pukul 09.00, alasannya harus menjemput Fahri Asiza lebih dahulu, dan sempat ngubek-ngubek mencari rumah Sinta Yudisia.

“Iiiih, si Teteh, sehat, ya! Malah ketemuannya di sini kita, ya Teteh?” Fahri Asiza turun dari kendaraan (Katana buatan jadul) dengan baju yang basah-kuyup.
“Ganti dulu sana, gih, nanti peserta kebauan,” kataku mengolok-olok ayah dua anak ini.

Gara-gara “hebohan” akhirnya saya dan Sinta sampai lupa, kami sama sekali tak sempat berfoto ria. Baru menyadari ketika aku sudah meluncur ke Bandara Juanda malam harinya, dan pesawatnya malah terbang meninggalkanku.

 

Kampus Universitas Airlangga


Surabaya, 27 November 2010
Kampus Airlangga sudah tak asing lagi bagiku. Ada beberapa kali aku diundang ke sini sebagai pemateri acara kepenulisan. Anehnya, sejauh itu yang mengundangku bukan dari Fakultas Sastra, melainkan Fakultas Teknik atau Komunikasi.

Kali ini pun yang menyelenggarakan (kalau tak salah!) anak-anak Teknik. Hanya mengambil tempat di ruang kuliah Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Karena panitia yang menjemput agak molor dari jadwal, maka kami pun tiba di TKP (Hehe!) sekitar pukul 09.00. Kulihat ruangan kuliah itu lumayan sudah dipadati peserta, mungkin sekitar 50-an, mahasiswa dan mahasiswi.

Fahri Asiza membagikan ilmunya, bagaimana bisa menulis 24 buku dalam setahun!

Aku teringat sekitar tahun 2004, Fahri menantangku untuk balapan bikin buku. “Ayo, kita balapan banyak-banyak nulis buku, Teteh!” ajaknya visa SMS.
Kujawab dengan penuh semangat juang ‘45; “Balapan menulis? Ayo, siapa takut?!”

Aku lupa, mengapa ajang balapan itu sama sekali tak menyinggung soal hadiah atau sanksinya bagi pemenang atau yang kalah. Yang jelas, tahu-tahu usai sudah tahun 2004, dan kami masing-masing menghitung karya selama setahun.

“Aku menulis buku sepanjang tahun ini 24 judul, loh, Teteh!” lapor Fahri Asiza ketika suatu saat kami berjumpa di Islamic Book Fair.

Saat itu dia mendapatkan IBF Award Pertama untuk sebuah novelnya (lupa judulnya!) sebagai Novel Terlaris. Sementara aku mendapatkan IBF Award Kedua untuk Kapas-Kapas di Langit sebagai Novel Terlaris tahun itu.

Ketika mendapat penghargaan tersebut, aku malah tidak bisa datang karena sedang berada di Mesir. Pak Remon, Direktur Penerbit Zikrul Hakim yang menerimanya. Setiap kali melihat trophy yang dipajang dengan manisnya di ruang kerja Pak Remon, aku selalu tersenyum kecil, mengingat “kegilaan” sepanjang 2004-2005 itu.

Ya, aku baru menyadarinya saat akhir tahun melakukan semacam muhasabahan, termasuk mencermati hasil karya sepanjang tahun. Masya Allah, 16 judul buku yang telah kulahirkan dalam setahun itu!

Bahkan seorang anggota Majelis Penulis FLp lain, sempat menyindirku; “Teteh, banyak amat bukunya tahun ini, ya. Apa tak sebaiknya kita mengutamakan kualitas daripada kuantitas?” Heeekkkk, serasa ada yang menonjok ulu hati euy!

“Itu kan gara-gara Fahri Asiza!” cetusku, kusampaikan kembali penyesalan yang sesungguhnya malah sempat membanggakan itu kepada otak si OB dan Kejar Tayang.

Dia hanya ketawa-ketiwi saja melihatku seperti mengeluh, tapi, ya, tampangku malah cengiran rasanya? Ah, perasaan yang sulit kujabarkan sendiri jadinya!

Namun, yang jelas, bagiku sosok Fahri Asiza ini termasuk ajaib. Bayangkan saja, sejak dia terlibat langsung dengan tim kreatif PH, bermain di dunia sinetron, situasi-komedi; dalam kurun dua tahun telah menulis skenario berdurasi 30 menit sebanyak lebih 500 episode!

“Berapa lama Anda membutuhkan waktu untuk menulis satu skenario durasi 30 menit itu?” tanyaku saat kami menaiki tangga ke lantai dua, ruang kuliah 13.
“Yah, sekitar 2 jam, begitulah,” sahutnya enteng sekali.
“Berapa halaman itu?” kejarku penasaran.

“Paling 15-18 halaman, Teteh.”
“Kalau skenario durasi 90 menit, seperti film lepas begitu, berapa lama?”
“Itu sekitar 120 halaman, ya, tiga harilah!”
“Haaaah?” aku berseru, takjub.

Dan ketakjubanku makin mencuat, tatkala berhasil mengorek keterangan lebih lanjut, fee yang diperoleh dari bisnis stripping begini. Hatta, dalam dua tahun terakhir, produser mengontraknya untuk dua tahun; 2 M!

“Subhanallah, sudah M-M-an ya urusannya?”
“Baru belakangan ini sajalah, Teteh….”
“Patutlah, Anda betah banget di duniamu sekarang. Em-em-eeeem!” candaku.
“Teteh, bisa saja, hehehe…”
“Ehem! Jadi, mobilmu apa nih sekarang?”

“Duuuh, Teteh, ah, malu aku! Masak sih harus kubilang juga?”
“Pastinya bukan Xenia macam mobil cicilanku itu, ya kan?” desakku, makin penasaran saja.

“Yah, Teteh ini, kok maksa…. Cuma Terios satu dan alphard satu,” sahutnya ringan sekali, disertai kekehannya yang lugas.

Subhanallah, hebat banget nih sosok yang selalu tampil ceria, sumringah dan sama sekali tak terlihat jutawan. Sederhana sekali!

Nah, Sodara, siapa bilang profesi penulis tidak menjanjikan?
Maka, kami berdua semakin bersemangat menyebar virus menulis di kalangan mahasiswa, siang itu sampai selesai tepat pukul 15.00.

Fahri Asiza masih punya waktu menyemarakkan acara selanjutnya, yakni; Jumpa Penulis di Gramedia Royal Plaza petang itu.

Di sini aku mempromosikan dua buku sekaligus, yakni novel Jejak Cinta Sevilla, Catatan Cinta Ibu dan Anak, kolaborasiku dengan putriku Butet atau Adzimattinur Siregar.

Di sini pula kami jumpa dengan para kampiun FLp Surabaya, seperti: Mas Bahtiar yang biasa dipanggil Mas Beh. Sosok yang satu ini, mantan Ketua FLp Jatim, selalu hadir setiap kali aku ada acara di kawasan Jawa Timur.

Terima kasih, ya Mas Beh atas ikhlas dan setiamu, cieee…. Tengkiyulah, Mas Beh!
Bahkan Sang Ketua Aferu, membawa serta pasukannya.

Reuni FLpers, sesingkat apapun, dan di mana pun senantiasa meriah, penuh persaudaraan serta semangat tinggi, dalam visi dan misi menyebar virus menulis; dakwah bil qolam!

Sungguh menyenangkan menjadi seorang penulis, lebih menyenangkan lagi saat memetik hikmah dan berkahnya dari karya. Melanglang buana berkat buku, demikian kira-kira yang kami rasakan.

Nah, siapa mau mengikuti jejak kami? Ayo, menulis, menulis dan menulis!
Satu buku saja sebelum jantung kita berhenti berdetak, masa tidak bisa?
Bisa, insya Allah!

@@@

2 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama