Jumpa TKW Cililin di Masjid Quba




April, 2006:Smart Umroh Cordova

Hari ini, agendanya ziarah ke Masjid Quba, mengunjungi perkebunan korma dan Museum Kiswah. Letak Masjid Quba sekitar dua mil dari Masjid Nabawi ke arah Barat Daya, masih kawasan Madinah Al-Munawarah.
Begitu rombongan jamaah sudah duduk manis dalam bis yang nyaman full AC, maka Ustaz Mawardi pun memandu dengan suaranya yang bariton abiiizz, ehem!
“Masjid Quba ini adalah masjid pertama yang didirikan secara terang-terangan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Awalnya didirikan di atas tanah bekas kebun korma milik seorang sahabat Rasulullah Saw. Di sinilah tonggak pertama syiar Islam yang bakal menerangi seluruh dunia dengan cahaya Ilahiah dengan ajaran Rasulullah Saw.”
Kali ini Ustaz Mawardi membuka dialog interaktif. Beberapa jamaah melontarkan pertanyaan, dijawab dengan serius dan senang hati oleh mutawif kita yang sudah berpengalaman ini.
Kadang Profesor DR. Achmad Satori Ismail menambahinya bila dirasa perlu. Namun, lebih banyak dibiarkan memandu secara bergantian dengan Fauzi, sang adik.
Tentang kru Cordova Abila ini aku mendapatkan kesan pertama yang sangat bagus. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di Intercontinental Mid-Plaza, sungguh grogi rasanya. Maklumlah, kampungannya diriku, seumur hidup baru menginjak hotel bintang lima. Pas lagi celingukan dan poyongkodan alias jalan ragu-ragu seperti Nyi Iteung begitu, tiba-tiba seorang anak muda berjaket Cordova menghampiri. Dengan santun, ramah dia mendampingiku menuju tempat silaturahmi.
Demikian pula saat aku, Marlen dan Aisha celingukan dinihari di pelataran Masjid Nabawi. Fauzi dan Masud sudah berdiri tegak dan siap memandu jamaah Cordova.
Aisha sempat berkomentar; “Wah, apa kalian gak ikut sholatnya?”
“Pssst… pastilah ikut sholat, masa gak,” ujar Marlen yang kutahu sudah akrab dengan Ustaz Mawardi dan adik-adiknya, semuanya menjadi mutawif. Maklum, Marlen sudah berkali-kali umrohnya, demikian pula hajinya.
Kami juga mengenal bunda mereka, seorang wanita paro baya yang tinggal di Lombok, Mataram. Kali ini beliau sama diumrohkan, sebagaimana istri Pak Muharom dan bundanya Dewi.
“Ustaz, apa keutamaan sholat di Masjid Quba?” tanya seorang jamaah dari kursi bagian belakang.
Aku selalu memilih duduk di barisan depan, pas di belakang Pak Sopir yang berasal dari Cililin, Jawa Barat. Konon, dia sudah menjadi mukimin selama 15 tahun di Madinah.
“Kalau kita mau itung-itungan pahala, ya Bu…”
“Rasanya gak tahu terima kasih deh, ya… Masa kita berani berkalkulasi dengan Sang Maha Pengasih,” entah siapa yang nyeletuk.
“Iya, padahal begitu banyak yang telah diberikan Allah Swt kepada kita…”
“Yeee… kita kan kepingin tahu aja, boleh kan Ustaz?”
Ustaz Mawardi berdehem dan tertawa kecil.
“Boleh, Bu… Gak apa-apa kok kita berharap pahala. Karena Allah Wajaala telah punya janji dengan kita, sebagaimana kita juga ada janji dengan Sang Khalik…”
“Jadi?” desak jamaah itu nyaris tak sabar.
“Ya… ada hadist mengatakan bahwa apabila kita sholat dua rakaat di Masjid Quba, maka pahalanya adalah sekali umroh…”
“Waaaa…. Crek, crek…. Subhanallah!” serempak beberapa jamaah yang ada di bis 2 berdecak-decak, takjub.
“Tapi kan buat pergi ke sini saja berapa jetean yah…”
Beberapa saat terjadi saling celetuk, berkomentar. Kadang ada yang guyonan, tapi kemudian Ustaz Mawardi selalu berhasil menengahi. Dengan gayanya yang tawadhu, dia akan melanjutkan memandu, memberi tahu jamaah tentang berbagai hal di sekitar Madinah. Tempat-tempat bersejarah, jejak Rasulullah Saw dan para sahabat dalam memancangkan tonggak Islam.
Pernah suatu kali, dalam perjalanan dari Jeddah ke Madinah, rasa kantuk sangat mendera semuanya. Kupikir hanya diriku yang mengantuk berat. Kepala terangguk-angguk, jeduuuk, jeduuuk!
Ajaibnya, Ustaz Mawardi dengan suara baritonnya yang khas, tetap saja melanjutkan memimpin talbiyah, dilanjutkan doa-doanya yang panjang.
Ya Allah, subhanallah!
Duhai, luar biasa ketahanan mutawif ini, pikirku terheran-heran sendiri.
Sepanjang malam pun dia tahan mengumandangkan doa dan ceramah. Bergantian dengan adik-adiknya yang kebetulan berada dalam bis kami. Kutahu di bis satu ada Al Ustaz Muslim Abdullah yang telah mumpuni dalam hal membimbing jamaah umroh dan haji.
Aku menjadi malu sekali, buru-buru mengambil aqua, dan mengusap wajahku berulang kali dengan handuk basah sebagai penghilang rasa kantuk. Menyesal tidak membawa taperecorder, kesahku.
Penting sekali kuketahui apa saja seluruh doa, dan penjelasan sang mutawif; seputar tempat-tempat yang pernah menjadi saksi kebangkitan Islam di masa lalu.
“Alhamdulillah kita sudah sampai… silakan ibu-ibu, bapak-bapak yang dirahmati Allah, kita turun untuk mendirikan sholat sunat dua rakaat di sini,” ujar Ustaz Mawardi ketika bis berhenti di depan Masjid Quba.
Masjid Quba ini kondisinya terkesan sederhana sekali. Namun, aku masih tetap bisa merasai aura ghirah Islam yang mengental di sini. Airmataku bercucuran saat sholat dua rakaat, kemudian menengadahkan kedua tangan. Seketika di benakku seakan-akan terpeta kembali jejak Rasulullah Saw, Junjunganku, Kekasihku, duhai!
Bagaimana jihad dan pengorbanan para sahabat, di bawah kepemimpinan langsung Rasulullah Saw.  Yup, berjihad memerangi kaum kafir Quraisy!
 “Ya Rasulullah, akhirnya hamba yang lemah ini sampai pula ke tempat di mana Engkau pancangkan bendera Islam…. Menerangi dunia, sehingga sampailah kepada bangsa hamba, kepada diri hamba. Terima kasih, Ya Junjunganku, Ya Rasulullah Saw…” doaku niscaya merepet panjang lebar.
Allahu Akbar!
Puas sudah dan lapang sekali serasa dada ini. Tiba-tiba kurasai ada seseorang yang mengawasi gerak-gerikku. Kuusap mataku yang masih membasah, kuputar sedikit kepalaku ke belakang. Seorang gadis muda mengangguk dan tersenyum manis dari pojokan sana.
Aku bingung, menoleh ke kiri, ke kanan, adakah orang lain yang dimaksud? Jamaah pertempuan sudah bertemperasan keluar. Tidak, kurasa, dia memang hanya menyenyumi diriku. Aku mengangguk dan balas tersenyum ke arahnya.
Ups, gadis berbusana serba hitam itu seketika bangkit, bergerak menujuku. Ya, sungguh dia memang menghampiri diriku. Ada apa, ya, tanyaku dalam hati.
“Dari Indonesia, ya Umi?” sapanya ramah.
“Iya…”
“Indonesianya di mana, maaf… boleh kenalan?”
Kusambut tangannya yang terulur. Kupandangi wajahnya yang manis, seraut wajah gadis ndeso. Mengingatkanku kepada mojang-mojang Sunda yang banyak pula menjadi TKW di Arab. Usianya kutaksir sebaya menantuku, Seli.
“Pantas, Umi, sungguh! Dari tadi aku sudah merasa gak asing lagi. Orang Sunda, ya, sama saya juga nyunda. Maaf, punten, boleh aku memeluk Umi?” ujarnya begitu kuberi tahu asalku.
“Baik… ada apa, ya… mengapa?”
“Umi mengingatkanku kepada Emak… Iya, Emak aku itu sudah meninggal tahun lalu, tapi aku gak sempat jumpa… Kangen…”
Kali ini dia berlinangan air mata, gemetar kurasai jari-jemarinya saat dia segera mengambil kedua tanganku, mencium dengan hormat dan penuh rasa rindu.
Ya Allah… anakku yang malang, desahku.
Tanpa ragu kuraih tubuhnya, dan untuk beberapa jenak kami berpelukan erat sekali. Seakan-akan kami ini ibu dan anak yang telah lama tak bersua, dan tanpa sengaja dipertemukan di antara jamaah yang memasuki Masjid Quba siang itu.
Hanya sebentar kami bercakap-cakap, sesungguhnya lebih banyak aku menjadi pendengar. Namanya Siti Maemunah, asal Cililin, sudah enam tahun menjadi TKW, dan masih lajang. Bekerja sebagai perawat ibu tua, majikannya orang Qatar.
“Boleh kunasehati, Neng?” kataku sebelum berpisah.
“Iya atuh, Umi… boleh, apa nasehatnya?”
“Pulanglah, Neng… jangan biarkan dirimu lama-lama merantau di negeri orang. Tabunganmu sudah banyak kan?”
“Iya Umi… insya Allah… mohon doa Umi, ya… akhir tahun ini kontrakku habis…”
Sampai jumpa, Neng Mae dan spesial Masjid Quba, satu hari nanti, musim haji entah kapan.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama