Belati Menghunjam di Perut si Jurig

Belati Menghunjam di Perut si Jurig!

Jurig!
Benar, tak ada lagi sebutan yang paling tepat untuk lelaki itu. Jurig, hantu, monster, momok paling menakutkan atau apalah.... Tapi pantasnya, dia itu jurig! Ya, jurig sajalah. Sebab Titi asli orang Sunda. Dalam bahasa Sunda,  hantu itu kan jurig!

Titi menggemeretakkan gerahamnya. Terdengar gigi-giginya gemeretuk. Untuk ke seribu, ke sejuta bahkan lebih lagi. Dia harus menahan perasaannya. Dilihatnya lelaki itu tengah menghisap rokoknya. Dia merokok dengan nikmatnya. Masih berada di sampingnya di  ranjang perkawinan mereka. Asap rokoknya bergumpal-gumpal memenuhi kamar.

Otak Titi lantas berputar ke suatu masa. Saat pertama kali mereka bertemu. Di sebuah sanggar Jaipongan. Dia melenggak-lenggok menari jaipongan. Tubuhnya yang aduhai menjadi pusat perhatian mata para lelaki hidung belang. Mata-mata liar yang penuh hasrat, nafsu dan birahi itu.... Melahapnya habiiis!
“Aku akan mengawini kamu, Titi,” kata lelaki itu.

Titi tahu, lelaki itulah yang telah menyingkirkan para pengagumnya.
“Kang...? Aku bahkan nggak tahu namamu, Kang?”
“Mereka memanggilku Borias.”
“Nama yang aneh kurasa....”
“Mungkin. Lantaran aku bukan orang sini.”
“Oya, dari mana asalmu, Kang?”
“Dari seberang lautan. Kalau kusebutkan juga pasti kamu nggak bakal tahu. Pokoknya, jauuuh dari sini!”

Plaas, lamunan sebagian memudar…
Seketika dilihatnya lelaki itu mematikan puntung rokoknya begitu saja. Bukan di asbak yang selalu disediakannya. Melainkan di atas meja kecil di sisi ranjang. Yaah, begitulah adat si Jurig! Berbelas tahun mereka lewati sudah. Namun, adatnya tetap saja. Galak, judes, pelit, brutal. Sama sekali tak punya hati!

Anehnya, kepada tetangga, teman atau orang lain, Borias bisa bersikap baik. Manis, ramah, murah hati. Sebaliknya kepada istri dan anak-anaknya. Borias mampu berbuat apa saja demi kesenangan dirinya!

“Ayo cepat mandi sanaaa! Dasar gobloook!”
Titi tersentak bersamaan lenyapnya seluruh lamunan masa silamnya. Ia tergopoh-gopoh turun dari ranjang. Tergopoh-gopoh pula ia menuju kamar mandi di belakang. Sebenarnya di kamar mereka ada kamar mandi. Tetapi, itu khusus untuk Borias. Siapa pun tak boleh ada yang memakainya.

Sekali Oki---salah satu kembar mereka---penasaran masuk ke kamar mandi itu. Borias memergokinya. Maka tak pelak lagi gadis kecil yang malang itu habis dikemplangi Borias. Ya, saat itu Oki masih gadis kecil.

“Memangnya kenapa kalau kita pake kamar mandi itu, Bu?” tanya Oki sambil menangis sesenggukan di pelukan ibunya.
“Karena kita nggak boleh ke situ.”
“Tapi kan di rumah Anet, di kamar mandi mana pun mereka boleh menggunakannya, Bu…”
“Jangan samakan Bapak kita dengan Bapak orang lain, Ki. Bapak kita memang suka aneh!” dengus Oka, saudara kembarnya.

“Betul, Bu? Bapak orangnya aneh, ya Bu?” Mata lugu dan bening itu menatap wajah ibunya.
“Eeeh, sssst, diamlah! Jangan omong apa-apa tentang Bapak!” tegur Titi.

Ya, Titi akan selalu menyembunyikan perasaan bencinya terhadap Borias. Terutama di hadapan Oka dan Oki, buah hati terakung. Sementara anak-anak itu sering cepat-cepat menyingkir dari hadapan Borias. Seakan-akan di mata mereka, Borias adalah monster. Makhluk mengerikan yang siap menerkam, mengerkah tulang-tulang mereka!

Suatu  kali Oka dan Oki memergoki Borias sedang memukuli Titi.
Oka dan Oki saat itu sudah kelas satu SMP. Mereka langsung melemparkan tas sekolah. Menghambur ke arah Titi. Kalau Oki hanya bisa menangis di samping tubuh ibunya yang  meringkuk di sudut kamar. Ia sempat menggugat ayahnya yang telah bertindak kelewat batas itu.

“Bapak jahaaat! Bapak jahaaat! Jahaaat! Oki benci Bapaaak! Benciii!” jerit Oki.
“Mengapa Bapak tega memukuli Ibu, Paaak?!” serunya  pula sambil mengusap-usap pipi dan mata ibunya yang membiru. Diperhatikannya keadaan ibu terakung baik-baik. Ya Allah, tubuh dan wajah Ibu  penuh dengan bilur-bilur kebiruan tapak dipukuli.

Oka lain lagi reaksinya. Remaja putra yang aktif di dojo taekwondo itu langsung berdiri tegak di hadapan Borias. Ia seolah-olah sudah siap tarung dengan ayah kandungnya!
“Bapak bukan lelaki sejati!” dengus Oka dalam sikap menantang. Galak.  “Bapak pengecuuut! Cuma seorang pengecut yang berani memukul perempuan, Paaak!”

Titi yang sudah sangat kesakitan dan teraniaya semakin ketakutan. Titi sudah terbiasa diperlakukan kejam oleh Borias. Namun, sebagaiseorang ibu ia takkan pernah sanggup. Jika anak-anaknya diperlakukan kasar oleh Borias. Meskipun Borias ayah kandung mereka, tidaaak!
Ah, Titi rasanya lebih baik mati saja jika hal itu sampai terjadi!

“Kalian sudah berani menantangku, ya? Dasar anak-anak jahanaaam! Kalian bukan anak-anakku! Kalian anak-anak haraaam!” teriak Borias bagai seekor banteng ketaton.
Plaaak! Borias bermaksud menampar wajah Oka. Tapi Oka yang memang sudah siaga berhasil menangkap tangannya. Plaaak!
Borias semakin kalap. Diulanginya lagi tingkahnya. Plaak!
Lagi-lagi Oka berhasil menangkap tangan ayahnya. Kini bahkan ia membalikkan tenaga lelaki itu. Sehingga Borias terjengkang. Punggungnya membentur dinding di belakangnya.
Beeek! Heeekk!

Borias semakin berang dan kalap. Ia bergerak ke kamarnya dan kembali dengan dobel stik di tangannya. Lantas, sreeet, sreeet, jebreeed!

Titi menjerit-jerit histeris. Manakala dilihatnya Borias menghantam-hantamkan benda iblis itu ke kepala, badan, punggung Oka. Sementara Oki semakin shock, menangis pilu dan menggeloso tak berdaya di lantai.
“Ya Allah, Gustiiiii!” jerit Titi. “Tolong, Kaaang, kumohooon, berhentilah! Jangan siksa si Oka. Kalau Akang masih belum puas, siksalah aku. Jangan dia, jangan anak kitaaaa!”

Titi meratap, melolong. Malam itu menjadi neraka di rumah mereka!
Dengan susah payah akhirnya Titi berhasil juga menarik tubuh Oka dari serangan Borias.
 “Pergi, Naaak, pergilah jauh-jauh!” serunya sambil mendorong Oka keluar rumah.
Borias yang masih kalap, kemudian  kembali menyerang Titi. Giliran Oki yang menjerit-jerit histeris.
“Makanya, kalian jangan coba-coba berani menantangku!” dengus lelaki itu sesaat merasa puas melampiaskan angkara murkanya.

Oki memeluk tubuh ibunya yang tak berkutik lagi. Titi tak sadarkan diri. Disusul oleh Oki.
Malam semakin senyap. Tak ada seorang pun tetangga yang berani ikut campur. Semuanya sudah mengenal siapa itu Borias. Buat apa mencampuri urusan orang?

Sejak  lulus SMU, Oka tinggal di asrama mahasiswa. Sementara Oki memilih bertahan menemani ibunya. Gadis manis ini merasa tak punya kemampuan seperti saudara kembarnya.
“Otakku  cuma ngepas, Bu. Biarlah Oka saja yang melanjutkan kuliah.”
“Baiklah, kalau itu maumu. Lantas, apa rencanamu sekarang?” tanya Titi.
“Aku kepingin jadi pramugari saja, Bu.”

Oki kemudian mengambil les komputer dan bahasa Inggris. Wajahnya yang rupawan telah menarik hati banyak pemuda. Namun, sejauh itu Oki tak meladeni mereka. Ia kemudian melamar sebagai seorang pramugari di perusahaan penerbangan asing. Ia sudah menjalani beberapa tes. Jadi sekarang gadis berparas mirip ibunya itu sedang menunggu panggilan.

Titi selalu merasa khawatir dengan putri kembarnya. Ada beberapa kali ia memergoki Borias memandangi Oki dengan tatapan aneh. Ya Allah, jangaaan, jeritnya dalam hati. Titi bergidik memikirkan hal buruk. Ia punya alasan untuk itu. Karena Borias sering tidak mengakui anak-anak kembar itu sebagai anak kandungnya, darah dagingnya.
“Tidaaak! Mereka putra-putrimu, Kang. Darah dagingmu!” desis Titi sambil mengguyuri tubuhnya dengan air sebanyak-banyaknya.

Seolah-olah ia ingin mengebalkan sekujur tubuhnya. Akibat kegemasan dan pelampiasan nafsu Borias. Ya, memang selalu begini, kesah Titi dalam hati. Bekas remasan kuat, gigitan menyakitkan membekas di beberapa bagian tubuhnya.
Ooh, lelaki itu seperti monster saja! Ya, dasar jurig!

Usai membersihkan dirinya, Titi menuju mushola. Suatu sudut mungil di rumahnya yang amat diakunginya. Tak berapa lama kemudian, ia pun sudah khusuk mendirikan salat  tahajud. Hari-hari terakhir itu Titi telah merasakan suatu hidayah menyirami jiwanya yang hampa. Ia giat mengikuti pengajian-pengajian di kampungnya. Walaupun untuk itu ia harus menanggung akibatnya. Menghadapi suaminya, memberi pengertian akan rasa haus spiritualnya.

Kadang Borias mau membiarkannya begitu saja. Namun, lebih sering lagi dia marah-marah, morang-maring. Lantas, menuduhnya macam-macam. Jika sudah begitu, tanggung sendiri.... Plaaak, plaaak, jegheeer!
 Astagfirullah, gumam Titi dalam hati. Air matanya menitik, parat terus menuruni pipi-pipinya dan membasahi sejadahnya.

“Ya Allah, berilah hamba petunjuk-Mu.... Arah mana yang harus hamba tuju, ya Allah? Berilah hamba jalan yang Engkau ridhoi. Isyarat-Mu, ya Allah,” jeritnya dalam hati. “Bagaimana hamba menghadapi ujian-Mu ini? Bagaimana pula hamba meluluhkan hati suami? Tolong, ya Allah, berilah dia hidayah-Mu.... Jangan biarkan dia selalu menjadi jurig, ya Allah!”

Namun, agaknya jurig  tetaplah  jurig!
Titi baru saja melipat mukenanya, tatkala tiba-tiba  telinganya mendengar jerit ketakutan. Titi tersentak. Otaknya bagaikan disengat  listrik megawatt. Karena terpikir sesuatu yang sangat, sangat, sangat ditakutinya selama ini.
Oooh, si  jurig itu!

Apakah dia sanggup melakukannya, ya Allah? Sampai hatikah dia?
“Ibuuu! Ibuuu! Tolooong!”

Bagai kesetanan Titi berlari menuju kamar putrinya. Saat melintasi ruang makan, dilihatnya ada pisau daging tergeletak di atas meja. Entah bekas apa dan siapa yang meletakkannya di situ. Secara refleks tangan Titi menyambar benda maut itu. Ia terus berlari menuju kamar Oki.
Terdengar suara baaak-buuuk-baaak-buuuk dari dalam kamar.
Terkunci dari dalam. Membuat otak Titi kian tergelinjang. Menyakitkan!

Akhirnya Titi berhasil menemukan  kunci duplikat. Sehingga ia bisa menguakkan pintu kamar Oki lebar-lebar. Benar saja. Titi seperti melihat jurig menyeramkan di atas tubuh putrinya. Ya, jurig itu seketika memperlihatkan wajahnya yang asli. Ia menyeringai ke arah Titi. Matanya melotot sebesar-besar mata naga. Taring-taringnya siap mengerkah tubuh Oki. Bahkan kuku-kukunya sudah mencakar wajah Oki, buah hati tercinta!
“Juriiig! Juriiig!” Titi menjerit-jetit histeris. Ia merasakan tubuhnya bagai terbang. Ia ingin menjadi seorang mujahidah. Perang membela kebenaran. Membela yang dizalimi oleh jurig!

Kata Ustazah Saidah pun, kita sebagai muslimah wajib membela kehormatan diri! Sampai tetes darah penghabisan! Itulah jalan yang diridhoi oleh Allah Swt!
“Allaaahu Akbaaar!”

Titi menyerbu. Titi langsung menghunjamkan pisaunya yang amat tajam ke punggung si jurig.  Terus, dan teruuus. Dihunjamkannya berkali-kali, berkali-kali. Ribuan kali. Seperti selama itu pula si jurig  telah melukai hatinya. Jiwanya, badannya, seluruh kehormatan dirinya sebagai manusia perempuan.

Darah menyemburat ke mana-mana. Makhluk itu sama sekali tak mengira Titi punya nyali. Ia tak berkutik saat Titi untuk ke sekian kalinya menghunjamkan pisaunya. Kali ini ke bagian dadanya. Tepat mengenai jantungnya!

“Ibuuuu! Mengapa, Buuu? Mengapa Ibu bunuh Bapaaak?”
Titi tertegak di depan putrinya.
“Dia bukan bapakmu. Dia itu jurig, anakku. Juriiiig! Ha ha haaa....”
Titi terbahak-bahak enak. Terus terbahak-bahak. Seolah-olah takkan pernah berhenti tertawa berkepanjangan.
***

2 Komentar

  1. Sayang endingnya kurang menarik, Bu Pipiet. Saya sangat menyesal sekali kalau tokoh 'Titi' pada akhir cerita seolah-olah menjadi gila. Padahal dari awal sampai mendekati akhir cerita, saya sudah larut di dalamnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya saat menulisnya saya sedang hopleeesss....hehehe

      Hapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama