Langit Semakin Kelam: Romansa Anak Gaul Bandung







Lembayung menyuruk petang di Kota Kembang. Honda Accord hitam yang semula melaju kencang, tiba-tiba mengerem hingga suara bannya terdengar berdecit-decit. Sekejap terdengar pekik manja, mengaduh berbaur dengan cekikikan dan napas kepuasan.
Mobil sesaat dilajukan agak perlahan, tapi…

“Deketin tuh, deketiiiin! Tasyaaa…, aduuuh!” desis Nafa bagai seekor ular betina, mendesir di kuping gadis yang mengemudikan mobil.

Jari-jemarinya bergerak ke sana ke mari dari belakang kuduk Tasya. Seolah ingin mengesankan kepada semuanya, bahwa seandainya dia yang menyetir tentu hasilnya akan jauh lebih baik.
“Bentaran ngapa…, nggak sabaran amat sih!” teriak Nuke yang duduk di antara Nafa dengan Sissy di jok belakang.

“Jangan gegabah, Tasya, please…!” pinta gadis di sebelah Tasya, mencoba mengingatkan kelakuan gengnya.

“Huuuh, pengecut lu!” dengus Tasya.
Gadis ber-tank-top, memperlihatkan pusarnya yang bertatto kalajengking itu, kembali mengerem secara mendadak. Lagi-lagi pekik manja, mengaduh dan helaan napas puas menuansa kendaraan itu.

Nun di rumah kuno sisi jalan Ciateul, seorang nenek keluar dari pintu depan. Ia mengenakan kain dan kebaya, kelihatannya siap untuk pergi ke perhelatan. Bergegas-gegas ia menggapai pekarangan, mulutnya menceracau.

“Euleuh-euleuh…! Itu sigana mah mobil Den Farhan teh. Naha atuh Aden meuni keresaan? Jajap Ema ku nyalira, nya? Awahing nyaah ku Ema meureun nya, Aden teh… Yap atuuuh!”1

Di dalam kendaraan. Terlihat oleh Salsa, tiba-tiba Tasya mengeluarkan sesuatu dari ransel di kakinya.
Deeegh! Jantung Salsa seketika bergendang heboh.

“Aduuuh, apa itu, Tasya? Kok kelihatannya bukan cuma petasan…”
Namun, ternyata telanjur!

Secepat kilat tangan Tasya keluar jendela, beberapa detik kemudian disusul bunyi…, blhuuuaaar!

Jerit si Nenek dalam sekejap tenggelam, dilindas oleh deru mobil yang melesat kencang dari TKP. Salsa melotot hebat, napasnya sesak sekali. Apalagi waktu dilihatnya gadis berbusana seronok di sebelahnya itu malah terkekeh-kekeh… Sungguh, Dajaal!

“Yeees! Yesss! Yeeesss…!” jerit anak konglomerat itu histeris, ditingkahi jeritan lain dan sora heboh  dari jok belakang. Tak tahan Salsa pun menjeritkan protesnya.

“My Goood! Tuhanku! Kamu kelewatan, Tasya! Katamu tadi cuma petasan kecil, sekadar menakut-nakuti…. Tapi tadi itu bukan petasan!”
“Emang buuuu-kaaan!” dari belakang kompak menyahut.

“Yang tadi itu namanya….” Tasya dilagukan.
“Bom molotoooov, Darliiing! Huahahaha…!”

Maria menghela napas dalam-dalam.
Hhhh, menyesal sekali ikut Tasya and her gank. Padahal, ia sudah hampir sebulan sama sekali tak pernah gaul dengan mereka lagi. Nggak pernah nyambangi markasnya di rumah Tasya. Nggak pernah jalan bareng ke kafe-kafe, berkubang dosa dan nista dalam dunia gemerlap. Bahkan ia telah janji kepada Nadia, ketua keputrian Rohis di kampusnya.

Sejak diajak baksos bareng Nadia dan kawan-kawan ke kawasan kumuh pinggir kali Cikapundung, ia harus mengakui ada yang telah berubah dalam dirinya. Pandangan negatifnya tentang anak-anak Rohis dan para akhwat pun mengalami perubahan. Minimal ia tak punya hasrat untuk mengganggu kegiatan mereka lagi. Sebagaimana selama itu telah sering dilakukan Tasya and her gank dan kerap melibatkan dirinya pula.

Sayang, ia belum punya keberanian dan tekad kuat untuk mengukuhkan perasaan dan pandangan barunya itu. Apalagi membuktikannya dengan menentang perilaku kawan-kawan jahiliyahnya. Ia malah tenggelam dalam kemelut keluarga besarnya. Berusaha mengingatkan Josefine, kakak perempuan yang lagi mabuk kepayang terhadap seorang pembalap. Mencoba mendekati dan menyayangi si bungsu Brian yang sudah terpuruk dalam dunia gemerlap, kecanduan narkoba.

Bahkan mulai mencoba memperhatikan Mami yang senantiasa sibuk dengan bisnis berlian dan jalan-jalan keliling mancanegara. Entahlah apa yang terjadi dengan Papi, sebulan terakhir mereka nyaris tak pernah ketemu. Papi dalam jajaran elit politik, anggota majelis yang terhormat; digelimangi intrik dan uang panas!

“Kamu ini anak kecil, nggak tahu apa-apa! Jangan banyak komplen!” sergah Papi ketika akhirnya kemarin bertemu juga.

Disusul oleh Mami, lebih garang lagi mencela perilakunya.
“Jadi anak itu jangan banyak mengkritik orang tua. Nikmati saja apa yang masih bisa kamu nikmati!”

“Elo sih…, ngapa lagi jadi sok petatah-petitih segala?” tambah Brian.
Ini ibarat menjaring angin, jeritnya mengawang langit.

“Mending elo lanjutin hubungan elo ama si Patrick, anak Dubes itu…”
“Hooh, biar kita-kita gampang masuk jajaran orang-orang penting. Ikut party-party heboh mereka,” sambar Yosefine.

“Memangnya kau nggak bisa masuk ke sana, Sister?” tanyanya heran. “Bukannya Andrew-mu itu masih sepupuan sama Patrick?”

“Sepupu! Itu masalahnya, cuma sepupu!” Yosefine, model tanggung itu ketawa sumbang dan tak puas. 

Selamanya gadis ini memang takkan pernah puas atas segala miliknya. Persis Mami dan Papi! Dia selalu merasa serba tanggung dalam segala hal. Cepat bosan dan nggak pernah punya kepercayaan diri. Meskipun dilimpahi pemanjaan berlebihan dari Mami dan Papi. Aneh memang!

“Naaah, kalo gitu kenapa Sister nggak gebet si Patrick sekalian?” ejeknya merasa sudah sangat sebal dan muak.

“Masalahnya Patrick cuma ngincer kamu, Sister!” tukas Brian cengengesan.

Sama seperti Yosefine, anak satu ini juga tak kalah serba gagalnya. Sejak TK sekolahnya nggak pernah beres. Otaknya di bawah standar, tapi Mami selalu membanggakannya. Maka, bisa dipastikan saban tahun Mami harus selalu siapkan segebung duit untuk nyuap sana-sana. Biar anak kesayangan tetap bertahan bisa sekolah.

Lima tahun di SMU, gagal terus akhirnya Mami menyuap sekolahnya yang terakhir. Asalkan putranya punya ijazah, berapapun Mami berani bayar. Menginjak bangku kuliah, hanya administrasinya yang dipenuhi. Jadwal perkuliahannya tak pernah dilakoni. Mami sudah siap-siap untuk nyogok pihak universitas, demi selembar ijazah lagi bagi putra kesayangannya.

Sementara Brian semakin tak tahu diuntung. Petantang-petenteng pamer Porche atau Harley ratusan juta di kampus, meskipun cuma swasta dan sama sekali tak bergengsi… Teman-teman mahasiswa akhirnya meledak juga, menendangnya tanpa ampun. Hingga Brian terpental dari dunia kampus!

Hmmm, produk di rumah mewah ini akhirnya memang serba gagal!
Termasuk dirinya yang kuliah tanpa harapan dan tujuan, asal nongol di kampus pilihannya di Kota Kembang. Setahun tinggal di Bandung, menyingkir dari keluarga besarnya yang bersinggasana di Ibukota, bukannya memperbaiki diri seperti angannya semula. Ia malah terlibat pergaulan dugem juga dengan Tasya and her gank.

Adakah ini akibat memakan uang haram? Bahkan sejak dalam kandungan Mami? Jika tiba pada perenungan itu, Salsa merasa bulu romanya meremang hebat dan tubuhnya gemetaran. Ia harus mengakui tausyiah-tausyiah Nadia di depan peserta baksos tempohari. Bahwa hidup ini hanya singkat, mengapa harus disia-siakan untuk hal tak bermanfaat? Bahwa begitu banyak yang belum sempat dilakukan, bagaimana seandainya tiba-tiba Sang Malaikat Maut menjemput?

Ah, manakala ia mencoba membawa sepercik sinar pencerahan itu ke dalam istana megahnya di Jakarta… Ia hanya menjadi bulan-bulanan orang serumah, bahkan dianggap sudah saatnya untuk konsultasi ke psikiater!

Itulah malam terakhir bersama keluarga besarnya. Sebagai anak kedua yang tersingkirkan. Dianggap nyeleneh dan patut dikeroyok rame-rame. Situasi begitu akhirnya malah membuatnya semakin berpikir keras. Sehingga ia tiba pada puncak perenungan. Bahwa dirinya sesungguhnya masih punya secercah harapan. Harus keluar dari kemelut ini, lingkaran setan berkubang lumpur begitu.

Kembali ke Bandung, ia telah memutuskan untuk berhenti kuliah di Unpar. Lebih baik tinggal jauh dari keluarga besarnya, melanjutkan lembaran baru kehidupannya di sana. Bukankah demikian yang seharusnya, sebuah hijrah?

Di Boston ada seorang adik Mami yang perhatian terhadap dirinya sejak dulu. Mereka tak punya anak. Ia pernah beberapa kali berlibur di sana, menikmati perhatian dan kasih sayang yang bijak dari suami-istri itu.

Ia telah mengurus segala sesuatunya untuk keberangkatannya. Bahkan Bibi Maria telah mengirimkan tiket sekali jalan untuknya. Seharusnya ia lebih membulatkan tekadnya untuk hijrah, mengubah total jalan hidupnya…

Tiba-tiba sore itu datang Tasya dan ketiga rekannya ke apartemennya yang mewah dan asri di kawasan Setiabudi.

“Jadi nih pergi ke Amrik?” tanya Tasya, memperhatikan sekilas sebuah koper berukuran sedang yang telah rapi dipak.
“Iya, besok sore…”
“Hanya sebegini bawaanmu?” Tasya agak keheranan.
“Barang lainnya sudah dikemas dan diangkut duluan.”

“Denger-denger, elo mo menetap di Boston? Nggak balik-balik lagi nih?” selidiknya Nuke penasaran.
“Hmmm, begitulah rencananya…”
“Sendirian?” Nafa nimbrung.

“Tumben…, biasanya kan suka heboh bareng kakak apa Mami kamu?” sindir Tasya.
“Heeh, jangan-jangan minggat lo?” cecar Sissy.

Ia tak menjawab kepenasaran mereka. Tapi, ia tak bisa mengelak ketika Tasya memintanya untuk bergabung. Apalagi saat menerima ucapan selamat jalan yang terdengar tulus dari mereka. Tasya bahkan sempat mendoakannya agar sukses meraih cita-cita.

“Ini kan malam terakhir kita. Mungkin kita nggak akan pernah ketemuan lagi,” bujuk Tasya pula.
“Tapi…”
“Gue janji deh, nggak bakal ada minuman keras apalagi ngeboat!” Tasya meyakinkannya.

“Bener nih, janji?”
“Sure! Gua kan selalu hormati pilihan elo, Sal! Iya nggak Man-temaaan…?” Tasya mengerling ketiga cewek yang sudah tak sabaran lagi bereksyen di belakangnya.

“Yeeeaaah!” sambut ketiganya ditingkahi cekikikan centil.
“Kita cuma mo kasih peringatan sama seseorang aja kok!”
“Peringatan…, sama siapa?” Sesuatu berdering di kepalanya. Bel bahaya!

“Mak Kesih, itu tuh bekas pembokat gue dulu yang minggat ke rumah bututnya di Ciateul…”
Apabila akhirnya ia memutuskan untuk ikut bersama mereka, sesungguhnya ia masih berharap bisa meninggalkan kesan baik. Minimal ia mencoba untuk menanamkan sedikit pencerahan, bahwa apa yang telah mereka lakukan selama itu adalah kezaliman.

Dan terutama ketika Tasya menyebut-nyebut nama Mak Kesih, mantan inang pengasuhnya itu. Seseorang yang mengingatkannya kepada Farhan dan Nadia. Dua sosok yang telah sangat mempengaruhi pandangan hidupnya dalam sebulan terakhir.
Cekiiiit, bruaaaakkk…!

Salsa memejamkan matanya. Tak sanggup melihat sosok tua terpental di kakilima sebelah gerobak soto mie. Ini kejahilan yang ketiga kalinya dilakukan, setelah sepasang kasmaran yang nyaris diserempet dan… Mak Kesih!

“Ya Tuhaan! Apa yang kamu lakukan ini, Tasya? Sungguh kejaaam!” protesnya di antara cekikikan dan jerit histeris kepuasan.

“Alaaah…, kakek-kakek gitu mah persiiiis Mak Kesih. Nggak kita celakain juga bentar lagi…, mati sendiri. Huahahaha…!” Tasya ngakak berkepanjangan.

Di mata Salsa sudah mirip iblis betina yang baru muncul dari hellgate!
“Kalian sudah seret aku jadi kriminal! Jagaaal?!”

Tak ada yang peduli. Mobil semakin dilarikan kencang, gila-gilaan. Sumpah serapah dari pinggir jalan semakin sering terdengar. Bahkan ada yang menyumpahi mereka agar mati…, masuk jurang!

Musik digeber habis, Noah, aduhaaaay!
Lanjut dengan lagu-lagu cadas. Di kuping Salsa terdengar bak gaung para iblis dari dasar neraka. Mengerikan sungguh! Sementara kendaraan telah meninggalkan Bandung, melesat ke arah kawasan luar kota.

“Apa sih yang bikin kamu amuk-amukan begini?” teriak Salsa.
“Sebulan gak gaul sama kita-kita, elo kupeeer! Huahaha…” Tasya makin geli. Botol minuman keras entah sejak kapan sudah berseliweran dari tangan yang satu ke tangan lainnya.
“Jelasin, Meeeen!” teriaknya kemudian.

“Dengerin, ya, Sa!” teriak Nuke, sambil menggedik bahunya keras hingga Salsa mengaduh kesakitan. “Nenek-nenek sialan itu tau banyak rahasia masa lalu si Farhan sama si Nadia…”

“Intinya tuh,” Nafa nimbrung. “Yang mo walimahan malam ini di Mesjid Istiqomah, sebenarnya adik-kakak…”
“Beda ibu, tapi satu bapak. Jenderal Zach Forga!” tukas Sissy menyatukan segala repih keheranan di benak Salsa.

Untuk beberapa detik ia merasakan tubuhnya gemetar. Membayangkan musibah besar akan menimpa sosok mulia, Farhan dan Nadia… Ya Allah!

“Turunkan akuuu, please…,” pintanya mulai bercucuran air mata.
“Mau apa lo? Ngasih tau kebenaran ini sama dua orang yang sudah cuci otak elo itu, hah?” Tasya terdengar sengit.

“Jangan kejam begitu, Tasya…. Ini sungguh kejam, dosa besaaar! Kalian tahu kebenaran yang wajib mereka ketahui!”

Tiba-tiba ia punya keberanian untuk menantang Tasya. Bahkan ketiga makhluk di jok belakang. Kezaliman harus dilawan dengan apa saja yang masih kita miliki. Jangan pernah berdiam diri bila melihat kezaliman. Minimal dengan kata-kata… Kira-kira begitulah sepercik pencerahan yang pernah membasuh kalbu dan nuraninya.

“Sudah, turunkan saja di tengah hutan karet tuh. Sebeeel, denger rengekannya!” kata Sissy.
“Heeh, biar disergap preman Kalijati…”
“Diperkosa dan dipotong-potong-potong!”

“Diiaaaam kaliaan, diaaaaam!” jerit Tasya sambil lagi-lagi merem mobilnya mendadak, hingga bunyi kepala terantuk dalam sekejap baur lagi dengan jerit manja.
Salsa membuka pintu di sebelahnya dengan mudah kini.

“Sudah sana, turuuun, turuuun!” sergah Tasya sambil mendorong punggungnya dengan kasar.
Bruuuk, pintu mobil telah tertutup baginya.
Salsa terpaku di tengah hutan karet itu manakala mobil melesat meninggalkannya. Begitu senyap, lengang bak kota mati. Otaknya cepat diputar, harus menghubungi  ukhti Nadia. 

Ya Robb, jangan biarkan mereka… Ya Allah, lindungi muslimah berhati mulia itu, jeritnya mengawang langit. Dirogonya saku bajunya, syukurlah ponselnya masih aktif. Beberapa detik kemudian sudah ada komunikasi.

“Oh, syukron, Dek Salsa…”
“Tidaaak, jangan lakukan, jangan menikah! Jangaaan!” tukasnya terengah-engah.“Lho, memangnya mengapa, eeh, tapi kami memang…”

“Kalian belum sempat menikah, ya ukhti? Belum?”
“Astaghfirullah…, Dede ini ada di mana? Kami lagi di rumah sakit, kasihan Mak Kesih, parah keadaannya. Kami terpaksa menunda…”

“Baguslah, eh, eh… Artinya, kalian memang belum sempat…”
Air mata mengalir deras membasahi pipi-pipinya. Rasa syukur dan lega telah menyilih ketakutan dan kengerian. Meskipun Mak Kesih…

Suara apa itu? Seperti bunyi keras membentur, lolong ketakutan, teriak kengerian dan jeritan menyayat hati. Salsa tersentak berlari ke arah suara-suara aneh sebelah kirinya. 

Nun di bawah jurang sana tampak api berkobar-kobar, membakar sebuah mobil yang baru saja terlempar. Kobaran api itu semakin besar dan besar, ditiup angin yang pernah dijaring oleh para penghuni mobil itu sebelumnya. (Depok, Pipiet Senja)


           


1 “Amboi, itu kayaknya mobil Den Farhan. Kenapa Aden mau repot? Jemput Ema sendiri? Saking sayang sama Ema, ya Den? Mari sini!”

3 Komentar

  1. konfliknya benar-benar klimaks, Bunda.. kereeen ^_^

    BalasHapus
  2. bagus sekali ceritanya bunda, suasananya terasa dan kebayang. The best deh bunda, ntar kapan2 mampir lagi ke Mesir yan bunda, saya pengen masuk kelas Fiksi bunda. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama