Malam Pengantin Dudul Surudul


Nostalgia… Gila!

Pesta pengantin ala Sunda usai sudah. Pukul sembilan malam, suasana rumah di Gang Margaluyu 175 itu lengang, sunyi senyap. Tak ada lagi orang lalu-lalang, wara-wiri…
Pendeknya sepi nian, bagaikan di kuburan ‘kali, yah!
“Kita berangkat pukul dua nanti, Piet,” berkata lelaki itu, sosok yang telah resmi menjadi suamiku, sepuluh hari yang lalu. Dan keluargaku baru saja memestai kami sepanjang hari, siang tadi.
“Loh… cepat amat?” tanyaku kaget sekali.
“Iyalah, aku tak ambil cuti itu!” sahutnya, kudengar agak ketus di kupingku.
“Masa pengantin tak ambil cuti sih… mmm, Bang?”
Sepertinya mulailah aku harus memanggilnya Abang. Bukankah demikian menurut adat halak hita yang pernah kupelajari dari seorang karib? Seorang istri pantang memanggil nama kepada suaminya.
“Cutinya sudah kuambil waktu pulang kampung tahun lalu,” jelasnya ringan.
Tak banyak bicara lagi, aku pun berkemas-kemas. Sesungguhnya hanya mengemasi beberapa potong pakaian dan… buku yang banyak!
Bagiku, lebih baik baju itu-itu saja daripada kudu berpisah dengan koleksi buku favorit. Oalaaaah… beginilah orang kalau sudah nyandu buku!
Tahukah, Sodara… ternyata aku baru menyadari tak punya koper!
“Kacow ‘kali kau ini!” sungut lelaki berwajah persegi itu.
“Trus, bagaimana dong, ya?” beberapa saat aku kebingungan sendiri.
“Ya, sudah,  pakai sajalah apapun itu…”
Maka, aku membuntal barang milikku itu dengan seprei. Orang tua dan adik-adikku karuan saja gempar, mengetahui kami akan pergi saat itu juga dari pavilyun yang belum lama kubangun.
Kulihat ibuku sampai rawah-riwih… cucuran air mata, memeluk dan menciumi pipi-pipiku dengan sejuta sayang.
“Jangan lupa… cepat ke dokter, ya Teteh,” bisiknya tampak kuatir sekali. “Teteh sudah lama juga gak ditransfusi…”
Aku mengiyakannya, sambil tak tahu, entah bagaimana nasibku di tangan lelaki bernama Hamdan Eddy Yassin Siregar ini. Bagiku saat itu, kebahagiaan tak teperi karena Tuhan telah menurunkan jodoh (pasti yang terbaik!) untuk diriku, dengan kondisi tak sempurna begini. Jadi, segalanya seolah telah menjadi tidak esensi lagi bagiku. Memiliki pasangan hidup, inilah anugerah terindah-Nya!
“Naik apa kita… Bang?”
“Tak usah panggil aku Abanglah itu, biasa sajalah, seperti biasanya,” tukasnya serba ringkas, seakan-akan tak kenal tatakrama, tenggang rasa en soon…
“Mmm… Sayang, Yayang… yah?”
“Terserah kaulah itu…”
Iiih, manusia satu ini… asing amiiiing!
Maka, kami mendapatkan bis jurusan Bandung-Jakarta di terminal Kebon kelapa. Sampai di Cililitan (dulu terminalnya di sini!) sekitar pukul lima pagi.
Kami pun tiba di rumah kontrakannya di kawasan Setiabudhi.
“Kita harus cari kontrakan hari ini juga…”
“Oooh…” Kepalaku mulai leneng alias nyut-nyutan.
Kenyataan sungguh di luar khayalku, Sodara!
Setelah numpang membersihkan diri, sholat subuh, dia pun memberi perintah kembali. Intinya, dia akan langsung ke kantornya di kawasan Prapatan. Sementara aku disuruhnya mencari rumah kontrakan… sendirian?
Bagaikan orang linglung, aku keluyuran di sekitar Setiabudhi. Menyusuri gang demi gang, kawasan kumuh dan menengah. Yang kami butuhkan hanyalah sebuah kamar sederhana, nyaman dan sewanya terjangkau oleh isi kocek kami.
Hasilnya… nihiiiil!
Tengah hari, perut keroncongan, capek, lemes, binguuuung…
Aku memaksakan diri menuju kantor redaksi Selecta Group.
“Alooow… pengantin baru? Mana pengantin prianya?” sapa mbak Sofie, sekretaris umum yang telah akrab selama beberapa tahun terakhir dengan diriku.
“Eee… masih di kantor. Mbak Sofie, maaf, langsung saja ya… Ada berapa honor yang bisa kuambil sekarang?”
Sekilas kulihat ibu muda yang selalu tampil cantik itu, menatapku penasaran.
“Kami butuh buat ngontrak rumah, Mbak Sofie,” pintaku mulai memelas.
“Oke, sebentar kita kalkulasikan semuanya… Eee, emang mau diambil semuanya nih?”
“Kalau bisa ya!” sahutku penuh harapan.
Ternyata sampai satu jam kemudian, honornya baru bisa diambil sebagian.
“Ini honor empat cerpen… seratus ribu. Yang honor dua noveletnya baru bisa diambil minggu depan. Gak apa-apa kan?”
Selama tahun-tahun terakhir kerjasamaku dengan Selecta Group ini sangat baik. Bapak Dirut, Syamsuddin Lubis sangat perhatian. Beliau biasa membantuku dengan mendahulukan honor-honorku, bahkan jauh sebelum naskahnya selesai.
(Ya Robb, semoga Allah menerangi kuburmu, Bapak Lubis!)
Membawa uang 100 ribu dan beberapa receh, sisa tabunganku setelah dipakai pesta, kusempatkan menelepon suami ke kantornya. Kami janjian di suatu tempat, halte Tanah Abang.
Beberapa menit kutunggu, perut serasa semakin keroncongan… periiiih!
“Oh, Tuhan, akhirnya muncul juga!” seruku girang sekali, manakala kunampak sosoknya, melenggang dengan langkah-langkah panjang ke arahku.
Sebab sempat terlintas di benakku, aku akan ditinggalkan begitu saja di rimba bernama Jakarta ini.
“Aku sudah makan di kantor,” ujarnya tenang saja waktu kuajak makan.
“Oooh… begitu ya, tapi aku kelaparan,” keluhku untuk pertama kali, kusadari ada yang aneh dengan sikapnya.
Aku menggerumel sendiri dalam hati, “Kok gak jentle, yah, Batak satu ini?”
“Ya, sudah, aku pun nanti makan pulalah itu…”
“Bukannya belum lama makannya?”
“Tak apalah itu. Tapi kau bayari makanku dulu, ya?”
“Haaaa?!” seruku tertahan.
“Iyalah, kau yang mengajak, jadi kaulah yang harus bayar!”
Gubraak deh, aaaah!

@@@
  

7 Komentar

  1. Parah amat tuh suami.... hiks hiks

    BalasHapus
  2. bagaimanapun ia adalah ayah dari anak2 ibu pipit......patutlah kalau kita memberi penghormatan dengan setidaknya tidak memberikan komentar yang aneh.bukan begitu ummi :D

    BalasHapus
  3. heppi; silakan sajalah, ini rubrik demokrasi

    bahkan saya sudah sering dicaci-maki, dituding sebagai teroris, broker tkw, dlsbnya...

    biar sajalah Tuhan yang akan mencap kita ini seperti apa...
    terimakasih atas kunjungan anda semua

    BalasHapus
  4. Syatna76; heheheh....begitulah anak muda dari seberang

    BalasHapus
  5. cosmophotoblog; terimakasih telah mampir

    BalasHapus
  6. kesabaran bunda menghadapi hidup bisa menjadi tiket mendapat firdaus :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama