Lelaki Itu Bilang: Emas Kawin Diutang Dululah, Bah!



Walimahan itu berlangsung singkat, meskipun dia harus mengulang kalimat akad sampai tiga kali.
“Saya terima nikahnya dengan Etty Hadiwati binti Arief, dengan emas kawin seperangkat alat sholat dan uang seratus ribu… diutang!”
Setelah Bapak Kadi memberikan nasihat panjang-lebar, acara walimahan pun usai, diakhiri dengan makan malam bersama. Pukul sepuluh, kurasa duniaku mulai bergeming, bergeming… ke dalam pusaran keajaiban!
“Aku akan pulang ke Jakarta,” dia berkata, kutahu kami nyaris tak bisa memicingkan mata sepanjang malam itu.
Kulirik jam dinding, angkanya menunjukkan pukul dua dinihari. Kebiasaan ayahku apabila dia pulang setiap minggu, adakah akan diikuti oleh dia, lelaki yang baru resmi menjadi suamiku beberapa jam lewat?
Hanya bapakku kali ini masih cuti jadi tak ada kegiatan apapun di rumah.
“Maksudmu… aku akan ditinggalkan saja di sini?”
“Terserah kaulah itu,” sahutnya terdengar dingin dan apatis sekali.
Kebimbangan dan ketakutan mulai menjarakkan kami. Berbagai peristiwa, lakon tragis pernikahan singkat seketika berseliweran di benakku. Apakah hal itu akan terhjadi pula pada diriku?
Aku tidak pernah memaksanya datang ke sini, tak pernah! Mengapa dia memperlakukanku sedemikian rupa? Hanya karena ketaksetujuan keluarganya, karena diriku perempuan Sunda?
“Kalau begitu aku akan ikut ke mana pun kamu pergi,” cetusku memutuskan.
Dia hanya mengangkat bahu. Dan memang benar, dinihari itu dia membiarkanku mengikutinya. Meskipun setelah sampai di Jakarta, dia menyuruhku tinggal di rumah adikku di Cibubur. Dengan alasan di rumah kontrakannya hanya ada satu kamar, dan dia menghuninya dengan seorang familinya (lelaki) sejak lama.
“Bagaimana dengan rencana resepsi pernikahan… minggu depan?” tanyaku sebelum berpisah.
“Semuanya kuserahkan kepada kalian!” jawabnya tandas.
Inilah agaknya bukti firasatku sebelumnya. Jadi, seluruh biaya selamatan pada akhirnya memang aku yang menanggungnya, semuanya. Kasihan ayahku, masih banyak beban yang harus ditanggungnya. Jadi, aku tak sampai hati untuk mengusiknya demi kepentingan diriku.
Maka, aku pun meluncur ke sebuah penerbitan dan menjual sebuah naskah novel.
“Semoga ini bermanfaat,” berkata seniorku di divisi penerbitan itu, menyerahkan uang sejumlah tiga ratus ribu rupiah. “Sisanya nanti kalau naskahnya sudah diterbitkan.”
“Terima kasih, ini sudah cukup, Mbak,” air mataku berlinangan bahna sukacitanya.
Tuhan mulai memperlihatkan janjinya bahwa pernikahan adalah berkah. Buktinya aku mendapatkan uang ini nyaris tanpa susah payah.
“Ini Ma… tiga ratus ribu, dicukup-cukupkan saja, ya,” kataku saat menyerahkannya kepada bundaku di rumah adikku. Uang sejumlah itu bila disetarakan dengan nilai saat ini sekitar 3 jutaan.
“Ini… dari suamimu?” selidik ibuku.
Aku hanya mengangguk perlahan, masih berharap kelak suami akan menggantinya.
“Sekarang di mana dia?” kejar ayahku.
“Ya, di kontrakannya…”
“Kenapa kamu tak ikut bersamanya?”
“Di sana ada familinya, seorang lelaki,” ibuku mencoba memberi pengertian.
Ayahku beberapa kali menggerutu, mengumpat tentang ketidakksatriaannya suamiku. Akhirnya aku tak tahan lagi, dirasanin oleh keluargaku… tepat di depan hidungku!
“Aku akan pergi menyusulnya,” ujarku empat hari sebelum acara hajatan.
Sementara ibuku sudah berkemas kembali ke Cimahi. Ayahku akan menyusul dua hari sebelum acara. Lagi-lagi, adikku, En, berhalangan hadir.
“Sungguh kalian akan datang tepat waktunya?” kejar bundaku dengan wajah khawatir.
“Kupastikan bakal datang berdua!” janjiku.
Siang itu, esoknya dan esoknya lagi aku tidak bersamanya. Karena dia terkesan menghindariku dengan berbagai alasan. Jadi, aku terpaksa menginap di rumah seorang teman, sesama penulis di kawasan Rawamangun. Saat dia mengetahui aku menginap di keluarga keturunan Tionghoa dan non Islam itu, barulah dia bereaksi.
“Cepat, temui aku di halte dekat kantorku siang ini!” perintahnya melalui telepon.
Kutemui dia di tempat yang dimaksud, tampak gurat-gurat kerisauan di wajahnya yang persegi. Nada-nada curiga dan cemburu berlebihan dalam sekejap berhamburan dari mulutnya. Manakala aku dianggap tak bisa memuaskan serbuan pertanyaannya, kulihat garis-garis di wajahnya mengeras dan mengelam.
Aku mulai merasa ketakutan sendiri.
Ya Tuhan, ini baru minggu pertama, dan aku telah banyak mengalami berbagai hal, seorang diri. Mulai dari desakan keluarga, mencari uang untuk biaya perhelatan, pertanyaan teman-teman penulis tentang kesendirianku setelah menikah… Sekarang, telah ditambah perilakunya yang di luar kewajaran!
Pernikahan ini, adakah ini wajar-wajar saja?
“Kurasa aku mulai tak nyaman,” cetusku lebih mirip erangan daripada protes.
“Kalian, keluarga kau itu yang sudah mengacaukan semuanya! Kalian memaksaku untuk menikahi kau!” sergahnya bak menggeram.
Aku tak ingin membantah, tak ingin menambah kemarahan dan kerisauannya yang membuta. Jadi, aku menarik diri dan lebih memilih; langkah-langkah apa yang harus kuambil menghadapi situasi yang mulai tak nyaman begini.
Sebelum aku bisa mengambil langkah-langkah itu, dia terus berkutat dengan pemikiran, opininya yang negatif terhadap diriku. Intinya, dia meragukan kesungguhanku menjadi pendamping hidupnya.
“Sekarang, bilang saja apa maumu?” cetusku mengambang di antara hiruk-pikuk kakilima. Oya, selama perdebatan hangat itu kami berada di halte depan Toko Gunung Agung, kawasan Senen.
Akhirnya kesabaranku ada batasnya, tatkala beberapa saat lamanya kubiarkan dia menceracaukan penyesalannya menikahiku. Dia sungguh meracau secara terus-menerus, bahkan tanpa jeda sedikit pun sejak bersua kembali… di pinggir jalan!
“Baiklah, ini sudah telanjur. Nasi sudah jadi bubur,” sahutnya setelah beberapa jenak tercenung-cenung. “Sekarang, kira-kira apa saja yang kau miliki di Cimahi?”
Tak perlu kuurai lagi maksudnya di sini. Intinya, dia ingin menginventarisasi semua harta yang kumiliki. Alasannya, semuanya itu bisa sebagai modal pertama rumah tangga kami di Jakarta. Karena aku tak ingin berlarut-larut dalam ketegangan dan pertengkaran, akhirnya aku berjanji untuk mengurus hal ini setelah acara perhelatan.
“Baiklah, kupegang omongan kau ini. Ayo kita ke Cimahi sekarang,” ajaknya selang kemudian.
Tengah malam, barulah kami berdua sampai di rumah orang tuaku. Ibuku menyongsongku dengan matanya yang sembab. Dia memelukku erat-erat, menghujani pipiku dan rambutku dengan air matanya. Tentulah dia telah menanti dengan segala resahnya dan nyaris putus asa.
“Kalian hanya berdua?” sambut ayahku, kurasai sikapnya yang dingin terhadap menantunya.
Belakangan baru kutahu penyebabnya. Ayahku sudah mengetahui, semua biaya hajatan bukan berasal dari menantunya melainkan dari putrinya sendiri.
“Besok pagi abang dan istrinya akan datang, juga seorang famili,” sahut suami tak kalah dingin dan kaku sikapnya.
Malam itulah, dia memintaku untuk bersumpah setia, dengan saksi kitab suci Al Quran. Bahwa aku akan menjadi seorang istri setia, takkan mengkhianatinya dan akan selalu mematuhinya apapun keinginannya…
“Sebaliknya, ini takkan berlaku kalau kamu yang menyeleweng, tegasku di akhir sumpah setia yang sangat ajaib itu.
Dia tidak menyahut, hanya menyedot rokoknya dalam-dalam sebagaimana laiknya seorang perokok berat.
***


2 Komentar

  1. BUNDA..
    perlahan saja...
    biarkan tuhan mendengar..
    atas cerita dan kisah yang terjajar..

    semoga mulia atas mu bunda..
    ibu dan istri yang hebat..

    BalasHapus
  2. Ini kisaHnya bunda ya.??
    Subhanallah...

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama