Suami Selingkuh: Perempuan Itu Membuang Bayinya ke Kandang Singa


          

         


Judul asli; Perjalanan Sunyi
Cahaya itu telah tiba pada titik kulminasinya. Dia menggelombang, mengembang dan menyuruk terus, terus dan teruuus! 
Sehingga membentuk suatu kekuatan mahadahsyat. Dan jatuh dengan sempurna di antara kumparan kabut, sebuah lorong panjang tempatnya selama itu bermukim. Terpenjara, terperangkap. Kadang tempat itu juga mirip ngarai paling sempit di jagat mayapada.
Begitu banyak bongkahan batu yang nyaris menimbunnya. Sehingga dirinya seringkali merasa tak sanggup bernapas.
Duhai, kesuwungan dan kesunyian nan panjang.
Adakah kini akan memberinya kesempatan? Sebab detik ini, bahkan beberapa menit kemudian, lintasan badai yang biasanya bermain-main di tentangan matanya…, seketika istirah!
Bahkan raib, yaaa! Raib entah ke mana!
Ada sebuah celah. Dan celah itu terkuak, secara perlahan tapi pasti. Kemudian, membiarkan gelombang cahaya parat menyusup. Membentuk titian pelangi yang mengundang hasratnya…. Naaaiiik!
Ada yang menggaplok bahunya. “Heeei, bengoooong muluuu!” hardiknya galak. 
Ia tersentak dan menemukan dirinya di antara sosok-sosok apriori, ketakwajaran dan kesuwungan tak tepermanai.
“Ayooo, main, maiin! Kamu ibunya, aku anaknya, ya, yaaa?” ajak perempuan muda yang barusan menyentakkannya.
"Eeeeeh, apppaaaa, eeeh?!"
Ops, apa itu yang keluar dari mulutku? Ia bertanya dalam hati.
“Nggak mau, ya? Nggak kasihan sama putriku ini, ya? Ayo dong main, ya, yaaa?” pinta perempuan yang sejak tadi menggendong boneka besar itu.
Tatapannya begitu memelas, tapi sangat kosong. Suwung yang mengerikan membias di sepasang mata belonya. Ia mengerjapkan matanya. Tak percaya, mengapa dirinya kini bisa melihat dengan jelas. Mulai paham untuk menimbang dan menilai dengan pas?
“Kamu cuma jadi ibunya kok…. Gampang!” Ditariknya tangannya, dimintainya agar duduk njemprak begitu saja di atas hamparan rumput. 
"Ini, ini taaa-maaaan, di manaaa?"
          Oh, itu memang keluar dari mulutku, bisiknya pula di hati. Wanita muda itu seolah tak mendengar. Dia mulai asyik memainkan bonekanya. Mendudukkannya, bahkan mulai membukai bajunya dan…
"Pinjeeem bentar!” Seorang perempuan paro baya tiba-tiba melintas di sampingnya. Secepat kilat meyambar bonekanya.
“Jangaaan! Jangaaan!” jeritnya histeris. Sekilat itu ia bangkit, mengejar orang yang telah merusak permainannya.
“Hehehe…, kalo berani siniii! Ayo, siniii! Main tak umpet, yuuuk!” teriak si pengacau, sesekali merandek, meleletkan lidah dan mengacung-acungkan boneka.
“Kamu naaa-kaaal!”
“Whoooi, siniii! Ciluuuk, baaa…!” 
Dalam sekejap jeritan dan teriakan memenuhi taman itu.
“Jangan ambil anakku! Jangan ambil anakkuuuu…. Huhuhu, kalian kejaaam! Kalian sadiiiis! Kalian bandel-bandeeel…,” ceracaunya putus asa. 
Wanita itu akhirnya kembali ke sisinya, berderaian air mata. Masygul. Sebelum ia melakukan sesuatu, si pengganggu kembali menghampiri. Diasongkannya boneka itu lurus-lurus ke mukanya.
“Mendingan juga buat kamu, ya Teteh! Nih, niiih, ambiiil!”
“Eeeh, eh….” Ia tergagap, surut menghindarinya.
“Ambil sajalah. Ini kan anakmu juga. Iya, anakmuuu!”
“Teteh, cepetan ambil anakku itu!” pinta si empunya boneka.
Air mata yang berderaian di pipi perempuan muda itu membuatnya tergerak untuk membantu. Diulurkannya tangannya untuk menerima boneka.
“Yeee…, enak ajaaa! Ini anakkuuuu!” teriak perempuan paro baya itu sambil berjingkrak, kembali menjauhi mereka. Meninggalkan tawa panjang yang membuat bulu romanya meremang. Dan tangis yang telah berubah menjadi lolongan menyayat kalbu dari wanita muda di hadapannya.
Menjelang siang para perawat menggiring mereka kembali ke kamar atau bangsal masing-masing. Ia menemukan dirinya di sebuah bangsal panjang, deretan ranjang dan selusin penghuninya. Ia masih merasa kebingungan sekaligus ketakutan, bahkan sekadar untuk menyuarakan ketakmengertiannya. Seorang suster manis berkerudung putih selalu mengawasinya. Ia tahu namanya Mila, terbaca jelas pada pin yang menempel di dadanya.
“Nggak tidur siang, Teh Esti?” ramah dan maniiiis sekali.
“Eeeh, si-si-apa…, Teh Esti?”
“Teh Esti itu ya…, nama Teteh ini,” sahut suster berlesung pipit itu sambil menuding dadanya.
“Eeeh, na-namaaa…?” Betapa ingin ia menanyakan banyak hal kepadanya. Sayang sekali, ia keburu disambangi rekan-rekannya. Mereka akan balik ke asrama. Peralihan shift.
“Nah, sampai besok ya, Teteh maniiiis…!” ujar suster Mila saat pamitan siang itu.
“Eeeh, yaaa, ya…. Sampai ketemu lagi,” balasnya.   
Suster Mila tertegun sesaat dan memandanginya takjub. "Apa gak salah nih kupingku?" tanyanya kepada rekannya.
"Husy, jangan sembarangan dengar, ah!" tegur rekannya sambil ketawa. "Nanti kena skizoprenia pula kamu macam dia!"


          Beberapa saat kemudian ia kembali mengambil posisi menyendiri. Banyak berdiam diri, tapi sekarang sepasang matanya mengawasi sekitarnya. Mencari-cari sesuatu yang bisa menyambungkan keberadaannya kini dengan sejarah kehidupannya. Rasanya tak menemukan apa-apa selain ketakwajaran, kegilaan para penghuni di sebelah-menyebelahnya. Betapa sulit pencarian dalam kesuwungan!
Kurang ajar betul lelaki tak tahu diri itu! Beberapa saat ia hanya tepekur sambil menggemeretakkan gerahamnya. Lila, iparnya yang baru saja mengabarkan berita kacau-balau itu, menatapnya dengan iba.
“Kalau begitu…, biar kubuktikan!” Ia seketika bangkit. Membawa kandungannya yang menginjak delapan bulan, tak menggubris lagi panggilan iparnya. Ia mengemasi barang sekadarnya. Mencegat mobil jurusan Bandung-Jakarta.
Sudah dua minggu itu Asep tak pernah pulang. Alasan sibuk mengurus bisnis sebagai ketua koperasi, menggantikan mendiang mertua. Sebuah alasan yang mulai terasa basi. Tak masuk akal. Buktinya suami Lila, Dadang, juga orang penting di bisnis keluarga mereka. Toh Dadang selalu pulang tepat waktu.
Ketika ia telah berdiri di pintu gerbang rumah megah keluarga besar Sumantri hari telah gelap pekat. Tak ada yang sudi membukakan pintu untuknya. Jadi, ia menggeloso dan meringkuk di depan pintu gerbang setinggi tiga meter itu.
“Dasaaar…, orang gila!” cerca seorang pelayan pada pagi harinya.
“Heeei, aku ini bukan orang gila! Aku istri Asep Suganda!” serbunya menyeruduk masuk tanpa bisa dihalangi lagi. Dalam sekejap suasana rumah mewah itu mendadak hingar-bingar. Teriakan, sumpah-serapah dan caci-maki berhamburan deras dari mulutnya yang nyaris beku kedinginan.
Pagi itu, ia telah membuktikan dengan mata dan kepalanya sendiri. Asep Suganda, lelaki yang sangat dipercayainya, hingga diserahi seluruh deposito peninggalan mendiang ayahnya… Telah menikah lagi! Ia mengamuk sejadi-jadinya. Menendang meja, menggulingkan sofa, menghancurkan kaca…. Persiiiis kesetanan!
“Amankan orang gila ituuu!” perintah Sumantri kepada para pegawainya. Dalam sekejap beberapa lelaki berperawakan tegap mengeroyoknya. Ia masih sempat melihat bagaimana wajah lelaki itu. Diam dan beku!
          Ada beberapa kali ia masih memiliki kekuatan dan keberanian untuk menyambangi rumah mewah itu. Perjalanan Bandung-Jakarta ditempuhnya bagai jalan ringkas menuju kloset. Dadang dan lima orang saudarinya kemudian melakukan penjagaan ketat. Sehingga membuatnya tak berkutik. Untuk sementara situasi terkendali, demikian setidaknya menurut keluarganya.
             Namun, menjelang saat-saat melahirkan, ada sesuatu yang aneh menghinggapi dirinya. Ia mulai mendengar suara-suara itu.
            “Diaaaam!” Ia berusaha keras mengusir suara-suara yang merecoki kupingnya. Sekuat apapun usaha membebaskan dirinya dari teror suara itu, ia selalu gagal.    
Awalnya ia masih bisa membedakan suara-suara itu. Mana yang nyata diucapkan dengan suara tak berwujud. Perjuangan keras tak berujung, tak berakhir yang sangat menguras seluruh enerjinya. Manakala tak sanggup lagi menahan teror itu, maka ia pun mengamuk sejadi-jadinya. Balik meracau, mencerca dan menyumpah-serapahi siapapun adanya.
            Kala itu ia masih merasa waras. Mengingat betul siapa perempuan paro baya yang mendampinginya, menangisinya dan menyerukannya agar mengingat Allah. Mereka tetap mengirimnya ke tempat aneh itu. Menjerumuskannya di tengah-tengah orang tak waras. Sungguh ia merasakan siksaan tak teperi. Ia sempat berontak sejadi-jadinya. Menyuarakan penyangkalan tuduhan kegilaan yang ditimpakan kepadanya. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk menyerah.
            Sejak itulah dirinya terpenjara dalam kesunyian. Terlempar ke ngarai sempit, dihimpit bongkahan-bongkahan batu, Anehnya, ia merasa aman dan nyaman di tempatnya yang baru. Tak ada yang mengusik. Tak ada yang menghantui. Bahkan teror suara-suara itu. Kupingnya pun telah tuli. Bersama mulutnya yang telah terkunci rapat.
            Cahaya mentari terasa hangat menyelimuti petamanan kembang yang asri pada awal pagi. Beberapa perawat wanita berbaur di antara pasien-pasien rumah sakit. Ia menoleh ke arah seraut wajah manis berkerudung putih. 
           Kini ia telah mengingatnya dengan lengkap. Suster Mila selalu menemaninya, mengajaknya ngobrol dan bertutur-kata manis dalam pekan-pekan terakhir.
            “Ibuku…, di mana ibuku?”
Akhirnya! Bongkahan yang serasa menggayuti otak kirinya itu hancur, dan melahirkan satu tanya maha penting. Namun, senyum di bibir wanita itu seketika lenyap, disilih kebimbangan dan kecemasan.
            “Apa yang terjadi dengan Emak?” tanyanya parau, sebab dicekam rasa takut. Telapak tangannya terasa digenggam erat oleh Suster Mila. Genggaman hangat, melahirkan simpul kekerabatan, kedekatan yang seolah tak terurai. Hingga ia merasa ada kekuatan baru mengalir lewat jari-jemari itu, merasuk sukmanya untuk…
            “Aku kuat!” desisnya mendesir di telinga Suster Mila. “Sekarang aku tak takut apapun lagi. Lelaki itu, huuuh! Sudah lama kulupakan!”
            “Ya, ya, sebaiknya begitu. Tak perlu diingat-ingat lagi. Sudah lewat sepuluh tahun. Bisnisnya bangkrut, istrinya minggat jadi TKW…”
            “Emak, Suster! Aku tanya ibuku! Nggak mau tanya lainnya!” sergahnya tak sabar lagi.
Suster Mila menunduk saat mengatakan, ”Ibumu pergi…. Teteh lupa, ya, waktu berhasil minggat dari sini? Ibumu mengajak kalian ke Jakarta, rekreasi ke Ragunan…”
“Ya, aku ingat itu!” Ia memejamkan matanya. Emak begitu bahagia melihat kemunculannya dalam kondisi segar-bugar. Satu mobil keluarga mereka rekreasi ke kebun binatang itu.
Dan makhluk yang mirip bapaknya itu, dilemparkannya begitu saja ke sungai, tempat para singa sedang mengaum-ngaum. Emak nekad, naik tembok dan menerjunkan dirinya ke sungai. Emak berhasil menyelamatkan cucu tercinta, mengulurkannya ke arah petugas, tapi tubuhnya dicabik-cabik singa!
            Sebutir kristal meleleh dari sudut-sudut matanya. Disusul oleh butiran kristal lainnya. Ia sudah tak mau pedulikan semuanya lagi. Ia merasa lebih suka melanjutkan perjalanannya nan sunyi. Begitu menyakitkan hidup dalam kenyataan.
“Duhai kesunyian dan kesuwungan, dekaplah diriku. Jangan pernah lepaskan lagiiiii!” jeritnya mengawang langit.
Depok, Syawal 1424 Hijriyah
***

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama