Bidadari Kecil Itu
Petang itu setelah tawaf kami bertiga (aku, Marlen dan Aisha) berhasil berdoa lama di depan Multazam, kemudian kami bergerak untuk sholat di Hijr Ismail. Ashar menjelang maghrib kali ini sungguh gelombang manusia telah melaut, menyamudera, demikian menurut pandanganku.
Betapa sulit dan sungguh butuh perjuangan sangat keras untuk mencapai Hijr Ismail. Ada kejadian ajaib saat aku berdesakan di sini, terlempar ke sana ke mari oleh gelombang manusia, sehingga kami tercerai-berai.
Di batas menuju Hijir Ismail, tiba-tiba kulihat ada seorang anak perempuan kecil melambai, mengisyaratkan kepadaku agar mendekat. Aku merasa tak asing lagi, ya, serasa aku telah mengenalnya lama, oh, tapi di mana?
Namun yang jelas, berkat anak ini aku mendapatkan tempat untuk sholat dengan tumaninah di antara ratusan manusia yang menggelombang tiada putusnya.
Aku merasa anak kecil itu sengaja menjagaku selama aku sholat, dia berdiri tegak di sebelahku, acapkali kulihat sekelebatan kedua tangan mungilnya mengembang. Kupikir dilakukannya demi menghalangi desakan manusia-manusia di sekitarku, supaya tidak mengganggu posisiku.
“Ah, Nak, Cinta… so sweet deh dirimu…” demikian sempat terlintas di benakku, tapi tak mampu terucapkan, entahlah!
Usai sholat taubat kulanjutkan dengan sujud syukur.
Ya Rob… nikmat-Mu mana lagi yang akan kudustakan?
Kubuka mataku perlahan, anak perempuan itu masih ada, memandangiku dengan sepasang bintangnya yang indah. Begitu sayang sorot matanya, begitu kasih gerak-geriknya dalam melindungiku, desakan gelombang manusia yang semakin menguat setiap detiknya.
Aku ingin berlama-lama berdekatan dengannya, duhai, siapapun dia!
Namun aku harus pergi, memberi kesempatan kepada yang lain. Betapa ingin kuusap kepalanya, wajahnya yang tak asing lagi itu, tapi entah mengapa seperti ada suatu kekuatan yang menghalangi tanganku untuk bergerak menyentuhnya. Kutangkap aura kasih sayang dan kerinduannya yang dalam terhadap diriku.
Ya Allah, sesungguhnya anak siapakah dia?
“Terimakasih, Nak, sudah menjagaku, ya. Alhamdulillah,” bisikku tersendat di kerongkongan, lagi-lagi ia hanya tersenyum lembut.
Duhai, dadaku serasa dibalun kerinduan yang dalam, sejuta rasa aneh menyelimuti sekujur tubuhku. Sesuatu yang sempat hilang, kini serasa menyatu, melebur dan melindap kuat untuk sesaat bersemayam dalam dada ini.
Namun, tiada sepatah kata pun yang mampu terucapkan. Serasa lidahku kelu, mulutku terkunci rapat-rapat. Aku pun berlalu membawa serta otakku yang masih dipenuhi kenangan mimik wajahnya yang penuh pengharapan.
Ya Allah… siapakah bidadari kecil itu?
Beberapa kali aku menoleh ke belakang, melihat sosoknya yang imut-imut, seolah masih mengawasiku dari kejauhan dan tangannya yang mungil masih pula melambai-lambai. Ya, Tuhanku!
“Bagaimana tadi, Teteh?” tanya Aisha yang kembali menghampiriku dan menggamit lenganku. “Sudah lega sekarang?”
“Eh, iya Dek. Aku bisa sholat di Hijr Ismail… tadi itu ada anak perempuan yang menjagaku. Anak itu seperti tidak asing lagi… mmm, seperti bidadari kecil… Ya Allah, apa dia, apa dia?!”
Tiba-tiba otakku melayang ke suatu masa, belasan tahun yang silam, aku pernah hamil, mengandung ke empat kalinya, sebelum Butet dan aku tak mampu melahirkannya!
“Ada apa?” samar Marlen bertanya.
“Mungkin dia anakku yang dulu pernah digugurkan… saat aku pingsan, tahu-tahu formulirnya sudah ditanda tangani…” ceracauku mendadak histeris.
Ya, wajahnya kini jelas melembayang kembali di mataku.
Bidadari kecil itu, sosok yang telah melindungiku dari gelombang manusia, dan menjagaku agar tetap pada posisi sholat yang tumaninah itu, sesungguhnya mirip Butet, putriku waktu kecil!
Aku membalikkan tubuhku, maksudku ingin kembali ke Hijr Ismail untuk mencari sosoknya. Meraih tubuhnya yang mungil namun begitu perkasa menjagaku. Ya, kuyakin dia memang bidadari kecilku yang sengaja muncul, dan ingin melepas rindunya kepadaku.
Ya Allah, mengapa aku bisa begitu lalai hingga sampai lupa?
Sesaat aku merasa diliputi perasaan bersalah luar biasa. Perasaan itu sedemikian merejam dada, dan telak sekali menghantam jiwaku, ragaku serasa lunglai…
Aku merasa tiba-tiba menjadi histeris!
“Itu anakku, anakku, anakku…” ceracauku bagai orang linglung.
Tapi Aisha memegangi lenganku kuat-kuat, sehingga terjadi tarik menarik beberapa saat, sampai tubuhku serasa lemas, lemas sekali!
“Ayo, kita ke sana saja, ya Teteh,” ajak Aisha diiyakan oleh Marlen.
Akhirnya aku mengikuti gerakan Marlen dan Aisha. Mereka membawaku ke barisan jemaah sejajar dengan sudut Multazam. Di situlah mereka membiarkanku menangis tersedu-sedan, menceracaukan anakku, ya, calon putriku, yang kuyakini telah mendatangiku, menjagaiku, melepas kerinduannya terhadapku.
Di dini di areal Hijr Ismail!
“Ini minumlah air zamzamnya, Teteh,” Aisha menyodorkan semuk air zamzam yang bisa kami ambil sepuasnya di sekitar Masjidil Haram.
Kuminum tandas air zamzam itu, sedang pikiranku masih dipenuhi bayangan bidadari kecil itu. Ya Tuhan, kalaulah dia memang merupakan bayangan, fatamorgana putriku, darah dagingku, duhai!
Betapa aku harus mensyukuri pertemuan tak terduga, dan hanya sekilas ini.
Terima kasih, terima kasih, Ya Allah, terima kasih atas nikmat-Mu yang tak terhingga ini. Wallohualam bishawwab. (Kenangan Umrah Maulid, Cordova 2006)
***
Posting Komentar