Tenanglah di Taman Surga, Mak!


 Sekarang ia melihat anak perempuan umur lima tahun menggeloso di Legian pantai Kuta. Tak jauh dari bekas kios cinderamata milik keluarganya yang kini tinggal kenangan. Ia mengawasinya dari kejauhan.

Di belakang gumpalan mega hitam yang sangat kental dan pekat menghalangi pemandangan di bawahnya. Ada rasa penasaran yang menoreh kalbunya. Rasa ini menyelinap parat terus merambahi dada. Rasanya sudah lama juga, tapi sejak kapan ya?

Segala kewajaran dan keharusan, segala yang menghubungkan dirinya dengan keduniaan itu telah raib. Entah ke mana, entah dibawa siapa. Adakah itu pula yang menyebabkan dia kehilangan memori di otaknya?  Dan jalan yang tengah diterawang ini begitu rumit, terjalnya.

Tapi ia akan berusaha mempertegas anak perempuan itu. Makhluk lucu itu tampaknya lagi diharu-biru rasa pilu. Sayup-sayup terdengar lagu nestapanya. Terbawa angin, melayang mengawang-awang, mengambah jomantara. Sehingga sampai jua menyentuh kalbu, mengusik telinga. Merayapi puncak rasa… keibuankah ini namanya?

Coba, perhatikan dengan seksama. Mega hitam, kok menghalangi terus? “Maaak… Kok ninggalin Butet sih, Maaak? Butet sedih, Mak, sediiih. Mestinya kan Emak yang masak. Kenapa sih Emak ninggalin Butet sama Ayah? Kok Emak malah hilang… dibom orang!” 

Beberapa saat anak perempuan itu menangis sesenggukan.
“Allah, Tuhanku… perkenankan hamba melihat dan mendengar dengan jelas,” jeritnya merambah langit. Tiba-tiba angin seketika menerpa kencang. Mega hitam perlahan buyar, ia merasa diapungkan entah ke mana. Terbang mengawang-awang, terbawa bayu, terseret ombak dan gelombang pasang, terbawa buih-buih samudera. Dan… bruugh!

Untuk beberapa detik ia celingukan seorang diri. Bukan di balik gumpalan mega hitam. Di daratkah, di bumikah ini? Di pantai laut selatan, di… Iiih, jelas ini masih kawasan Legian pantai Kuta. Itu dia bekas peristiwa pemboman.

Krans-krans belasungkawa bertumpuk-tumpuk, menggunung tinggi. Dikelilingi ribuan batang lilin. Diziarahi dan ditontoni bule-bule Australia. Tersaruk-saruk ia menghampiri tempat anak perempuan itu. Semakin dekat semakin jelas tampak.

“Benar. Itu dia sosoknya sudah kutemukan!” soraknya di hati. Dia masih duduk di atas batu karang tepi pantai. Hmm… Mengapa tiba-tiba bimbang? Apa yang harus dilakukannya kini? Ia merandek. Bagaimana ini, apa terus saja didekati?

“Huahaha… wheerrrr, hahaha…!” Ia tersentak dan melirik makhluk yang baru datang. Makhluk apa gerangan dia? Tidak berbentuk, tapi tampangnya kayak raksasa di kotak wayang dalang Sunarya. Wajahnya merah membara, hidung menggumpal, perawakannya besar maha!

Ia melengos jengah, membuang pandangnya jauh-jauh. Makhluk tak tahu tatakrama itu malah menggeram, galak. “Apa lihat-lihat?”

“Eee… apa, apa maksudmu?” sahutnya tetap tak sudi melihat lagi ke arah makhluk mengerikan itu.
“Huaaaarrgh, wheeerr, wheeerrr…!”
“Berisiiik! Diiii-aaamm!” sergahnya sebal dan jijik.

Seharusnya perutnya mual, kepingin muntah. Tapi entah sejak kapan ia tak bisa merasakan mual, apalagi muntah. Tak bisa mengekspresikan segala perasaan lahiriahnya.

“Kalo mau ikutan berisik, ya sudah, berisikkan saja orang…”
“Nggak tahu kesopanan!” tudingnya tak tahan lagi.
“Siapa?”
“Kamu, amoraaal!”

“Ngapain pedulikan peraturan duniawi? Kita ini sudah mampus, tahuu!”
“Kita… mam…?”
“Iya, mampuuus, mampuuus!”
“Eeeh, apa betul begitu, kita sudah mam… mati?”

“Huahahaha… huaaarghhh!” Si Cakil menjauhinya, berjalan tersaruk-saruk membawa perutnya yang berlubang besar?

Penasaran ia mengikutinya pelan-pelan. Ya, sudah, daripada sendirian mending ikuti saja. Jangan dilihat bugil dan buruk rupa sekaligus mengerikannya itu. Bayu seakan istirah, ke mana gerangan? Ombak pun seolah berhenti, mengapa gerangan?

Ia mengejarnya. Makhluk itu merandek dan menatapnya sekilas.
“Hehehe… lihat tuh gimana keadaan dirimu sendiri!”

Ia menunduk dan memperhatikan tubuhnya. Gusti Allah… ke mana bajunya? Ini kan hanya sisa-sisa kain yang tersampir begitu saja? Ke mana dia harus menyembunyikan kepapaannya ini? 

“Sudahlah, nggak perlu dipikirkan lagi yang begitu itu. Percuma!”
“Tapi…”
“Mending cari sana kebutuhanmu!”
“Kebutuhanku… apa?”

“Coba saja rasakan, kamu kehilangan apa?” Ia tertegun sesaat. Cepat memperhatikan keadaan dirinya.

Whoaaa! Ini usus-usus, mengapa sampai berbelit-belit mburudul keluar? Darah berceceran di mana-mana. Mengapa baru ngeh sekarang, ya? Tadi waktu perhatikan baju kok nggak kelihatan? Dan sama sekali nggak terasa apa-apa. Oya, sekarang sudah mam… mati, begitu?

“Begitulah dari sononya. Terima sajalah! Napsi-napsi saja, ya!”
“Eee… kamu mau ke mana?”
“Mau cari punyaku, ketinggalan di sebelah sana… Huaaarghh!”

Celingukan sendirian lagi. Nah, itu dia! Sungguh, setia betul dia. Masih duduk menggeloso di atas batu karang  pantai Kuta. Masih terdengar tangisan dukalaranya. Duh, ada yang ikut mengiris pilu dalam tangis perkabungannya.

Dari pelosok Tanah Air. Menembus jagat raya mayapada. Duka perkabungan seluruh bangsa Indonesia. Duka tak teperi. Sudah jelas kena musibah, kok malah dicap negeri sarang teroris?! Siapa yang menteror siapa? Siapa yang membom siapa?

Malah dijawab ratap anak itu. “Besok mau lebaran, Maak…”
Lebaran? Baru ngeh lagi! Terbayang saja, biasanya sudah mudik ke Banjar. Lebaran di kampung halaman, kumpul dengan orang tua, sanak saudara.

“Mak kan sudah janji kita mau pulang ke kampung Nenek…” Apa begitu janjinya? Ia berdiri tertegun di belakang anak perempuan itu. Seolah ada magnit yang menghubungkan dirinya dengan si anak. Dipandanginya lekat-lekat, ditatap dengan sepenuh hati…

Seketika ada ratusan keping slide berseliweran di matanya, membentuk menjadi sebuah lakon kehidupan. Ayah anaknya, Bang Lorus yang saleh. Saat mereka lulus Aliyah di Bandung, sepakat untuk menikah. Keluarganya mendukung. Mereka dikaruniai anak semata wayang.

Ada yang mengajak mereka ke Bali. Buka kios cinderamata. Enam tahun mereka berjuang di Legian. Sudah punya rumah sendiri meskipun mungil dan amat sahaja. Kios mereka semakin banyak isinya, laris manis. Namun, nurani tak bisa ditawar-tawar lagi. Ingin kembali ke kampung halaman. Lagi pula, kasihan kepada nenek si Butet, sejak Abah tiada.

Ia dan Bang Lorus sepakat untuk berjuang dari awal di Banjar. Mereka akan pulang sehari sebelum lebaran. Malam terakhir itu, mereka bak malam pengantinan kembali. Bang Lorus ada urusan ke Denpasar. Malam Minggu itu ia menggantikannya. Tunggu kios mereka. Tiba-tiba bom itu… entah ulah siapa!

“Mak… ada di sini, ya?” Butet tiba-tiba bangkit. Memandang lurus-lurus ke arahnya. Tatapan tajam tapi sarat rasa kangen tak teperi. Dia surut mundur. Apa Butet bisa melihat keberadaannya? Ah, pasti cuma perasaannya saja, tepisnya.

Sekonyong-konyong dari kejauhan ada yang berseru-seru. “Butet! Oi, Buteeet! Jangan dekat-dekat… Ombaknya pasaaang!”

Dua bayangan berkelebat secepat kilat. Menghambur ke arah Butet. Siapa mereka? Diperhatikannya dengan seksama, duhai, Bang Lorus dan ibunda tercinta!
     
“Butet, anakku…  ngapain kau di sini?” Butet dipeluk erat-erat. “Dari tadi dicari-cari. Lihat siapa yang datang jemput kita?”

“Iya, Butet, Nini sengaja datang jemput kalian. Mari, kita pulang ke Banjar sekarang,” kata ibunda yang sudah sepuh itu sambil berlinangan air mata. 

Beberapa saat ketiga orang itu saling berangkulan erat. Menangis pilu, tangisannya menurih langit kelabu. Menyisir gumpalan mega hitam.  Bayu yang sesaat istirah, perlahan mendesir kembali. Ombak berbuih menyentuh pantai, gelombang mulai pasang.  

Duh, betapa ingin ikut menangis bersama mereka. Tak punya daya dan kuasa. Apa mereka bisa merasakan keberadaannya?

"Sudahlah, Butet, biarkan Emak tenang di alam kelanggengannya. Mending Butet doakan Emak, agar arwahnya diterima di sisi-Nya,” suara ibunda tercinta terdengar menggaung ke mana-mana. Nyeeep! Hawa dingin seketika menembus jiwa-raga.

Butet tiba-tiba melepaskan rangkulan neneknya. “Ayah, Nini, Emak ada di sini.” Tampak Bunda dan Bang Lorus saling pandang. Keduanya memegangi pergelangan tangan Butet. “Iya kok, coba Butet ajak ngomong ya….”

Tapi Bunda mendahului bicara, “Anakku…” katanya dalam buncah air mata. “Pergilah dengan tenang ke alammu, Nak. Bunda doakan, kamu menemukan kebahagiaan di sisi-Nya. Bunda percaya itu, sebab kamu anak yang salehah…” 

Bunda kemudian membacakan doa-doa sambil memejamkan mata. Ia tak kuat melihatnya, melengos.
“Dik, semuanya sudah diselesaikan. Jazad adik sudah teridentifikasi, sudah dikuburkan dengan layak sesuai iman Islam kita,” Bang Lorus pun buncah air mata. Tapi suaranya terdengar pasrah lilahitaala.

“Iya, begitu saja, Emak… Butet juga sudah ikhlas kok,” Butet ikut menyatakan perasaannya. Perlahan terasa ada yang menarik tangannya. Entah siapa, tapi kekuatan itu mahahebat. Membuat dirinya mengapung. Terbang mengawang-awang, mengambah jomantara. Terasa ringan bak kapas.

Kini tak ada mega hitam menghalangi jalan dan pandangnya. Nuansa sekitarnya tampak tanpa aling-aling. Langit biru bening, arakan mega putih. Entah malam, entah siang, tak ada bedanya. Tapi betapa indah!

Ini baru terasakan sebagai suatu perjalanan untuk menemui Junjungan Hati, Sang Kekasih. Dia yang senantiasa disembah, dijunjung dalam tiap sholat lima waktunya. Sayup-sayup terdengar suara takbir. Inilah realita. Takbir di bumi Legian. Meskipun umat Islam minoritas, suara takbir tetap maha agung. Simbol Islam yang takkan luntur sampai akhir zaman. Meskipun diterpa fitnah dan senantiasa dipojokkan. Islam akan jaya selamanya, sesuai janji Allah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walilah ilhamdu…



@@@





2 Komentar

  1. bun... mau ikutan... tapi kalo resensinya gak di muat di media cetak gimana atuh???

    BalasHapus
  2. gak apa-a[pa dimuat di note akunmu saja atau blog dan kirimkan atau tag ke saya, okeee....salam kreatif

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama