Senja Bercahaya Cinta




Oleh : Nurul Jannah

*Lansia Bahagia: Kata, Jiwa, dan Harapan*

Jakarta, Jumat 12 September 2025. Taman Ismail Marzuki (TIM) sore itu tidak hanya menjadi panggung seni: ia menjelma mimbar cinta, doa, dan kenangan. *Aku berenam dari NJD hadir di sana; Bu Fetty, Bu Canting, Bu Dini, Bu Minarni dan Pak Abdul Ghofar* ikut memeriahkan Bedah Buku Lansia Bahagia yang dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai kalangan. 

Suasana aula Lt.4 PDS HB Jassin terasa penuh energi: wajah-wajah bersemangat, mata berbinar, dan tawa kecil yang menandakan rasa kekeluargaan.

*Jejak Perjalanan Buku: Dari Harapan ke Cahaya*

Tepat pukul dua siang, cahaya senja menyapu lembut jendela aula. *MC sekaligus moderator handal, Ibu Fetty Fajriati, membuka acara dengan salam hangat yang menyapu hati*. Musik latar syahdu membuat ruangan terdiam sejenak sebelum ia mempersilakan aku menyampaikan laporan singkat perjalanan buku hingga terbitnya Lansia Bahagia. 

Dengan suara yang nyaris pecah oleh haru, aku berbagi kisah tentang malam-malam panjang, obrolan hangat, dan doa-doa kecil yang menenun setiap halaman buku.

*“Buku ini hadir berkat kegigihan seorang lansia tangguh, Manini Pipiet Senja, yang terus memotivasi kita semua untuk menulis, berkarya, dan tak pernah menyerah,”* 

Tepuk tangan riuh mengguncang ruangan: sebuah gelombang semangat yang menjalar ke setiap sudut. Lalu, *Ibu Pipiet Senja maju dengan langkah mantap.* Senyumannya hangat, menyapa seluruh peserta dengan pesan penyemant yang menghentak sukma.

*“Jangan pernah berhenti bermimpi. Di ujung senja, kita masih bisa menyalakan fajar bagi generasi berikutnya.”*

Beberapa hadirin menahan air mata: kata-kata itu benar-benar membangunkan jiwa-jiwa yang hampir redup.was 

*Talkshow Menghidupkan Jiwa: Kata-Kata yang Berkibar*

Suasana Talkshow terasa hidup sekali. Ibu *Baby Joewono membuka dengan tafsir mendalam tentang kebahagiaan lansia melalui literasi dan rasa syukur.* 

*Bapak Dikdik Sadikin menyambung dengan tema “Lansia Menolak Tua”*, menyoroti Mahathir Mohamad sebagai teladan: mimpi dan karya tak mengenal usia. 

*Ibu Sastri Bakry menegaskan dengan penuh keyakinan:*

“Manfaat berkarya bagi lansia adalah kehidupan itu sendiri. *Jangan berhenti menulis, karena di setiap kata ada napas yang memperpanjang bahagia.*”

Aku sendiri menambahkan dalam catatan reflektif.

*“Bahagia itu bukan takdir kebetulan, ia adalah langkah sadar yang kita pilih setiap hari.”*

Di tengah hangatnya diskusi, ada jeda indah sejenak; *pembacaan puisi oleh Ibu Fanny J. Poyk*. Ia membacakan puisi yang ditulisnya sepanjang perjalanan ke acara. Seperti biasa, pembacaan puisinya diawali dengan nyanyian merdu tentang lansia bahagia. Suaranya menusuk lembut, namun setiap katanya tajam bagaikan peluru cahaya. 

*Sang Moderator, Ibu Fetty Fajriati menutup sesi talkshow dengan sentuhan energi yang luar biasa.* 

“Selalu positive. Keriput di wajah hanyalah peta perjalanan, bukan tanda menyerah.” tegasnya.

*Puisi Menggema: Dari Duh Cikini Hingga Pagar Melingkar di Laut Kita*

Pukul 15.00, sesi baca puisi dimulai. *Ibu Linda Jalil membuka dengan “Duh Cikini”, nostalgia getir tentang Cikini masa remaja yang kini memunculkan kekhawatiran*. 

*Ananda Athena, cucu keempat Manini yang cerdas, melanjutkan dengan puisi bahasa Inggris karyanya, “My Mom is a Badass”,* mengungkapkan cinta dan kebanggaan pada sang mama: membuat hadirin meneteskan air mata.

Kemudian, *Manini Pipiet Senja kembali menggetarkan panggung dengan “Pagar 

sebuah seruan tentang warisan bumi yang harus dijaga. *Setelah itu, duet Ibu Canting Pujeng dan aku menyuarakan kebingungan Gus Mus dalam “Kau Ini Bagaimana atau Aku Ini Harus Bagaimana?”; puisi besutan tahun 1987; yang masih sangat relevan untuk keadaan negeri kini.*

*Ibu Minarni memecah hening dengan tiga puisinya bertajuk “Janji-Janji”*, menumpahkan luka, harapan, dan doa. *Kisah Ibu Anie Din*, penyair sepuh dari Malaysia, mengalir lembut: tentang syukur, ujian, dan ketabahan yang meneduhkan hati. Sebagai pamungkas, *Pak Mbin membacakan sajak WS Rendra “Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” dengan suara berwibawa.* Getarannya menembus dinding ruangan dan merindingkan kulit siapa pun yang mendengarnya.

*Pelukan di Balik Kamera: Foto dan Persaudaraan*

Tepuk tangan panjang menggema. Saat foto bersama dilakukan, senyum-senyum lebar, mata berbinar, dan tawa renyah memenuhi bingkai kamera. 

Foto itu bukan sebuah dokumentasi semata: ia adalah bukti bahwa literasi sanggup menyatukan jiwa, lintas usia dan batas.

*Jangan Pernah Berhenti Menulis*

Menjelang pukul lima, cahaya senja menyelinap melalui kaca-kaca aula. Moderator menutup acara dengan refleksi yang menghunjam.

*“Bahagia bukan hadiah yang jatuh begitu saja. Ia adalah keberanian memilih cahaya, meski usia memanggil senja. Menulis, berbagi, dan berkarya adalah cara kita menolak tua dalam jiwa.”*

Acara usai, tetapi haru, bahagia, dan inspirasi tetap bergema di hati. 

*“Lansia Bahagia” bukan buku biasa: ia adalah pelukan hangat, air mata syukur, dan janji bahwa cahaya bahagia selalu bisa ditemukan, bahkan di ujung senja.*

*Salam Literasi Penuh Cinta: Dari Taman Ismail Marzuki, Jakarta: Senja yang Menghidupkan Kata dan Jiwa*.

*Bogor, 13 September 2025*

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama