Oleh: Nurul Jannah
*Jejak Cinta Senja : Menulis, Menyulam, Menyala*
Buku Lansia Bahagia adalah bukti bahwa senja tidak selalu berarti usai. Ia bisa menjadi fajar baru bagi jiwa-jiwa yang memilih untuk tetap menyala.
Ditulis oleh 15 penulis hebat lintas profesi dan pengalaman hidup, buku ini menghadirkan 33 kisah inspiratif yang mengguncang hati, mengaduk emosi, dan merayakan makna sejati dari “menjadi tua dengan bahagia”.
Agung Pribadi membuka lembaran dengan “Tongkat Sialan”, yang justru menjadi tonggak spiritual bagi tetangganya. *Baby Joewono* mengajak kita berdamai dengan dunia dan diri sendiri dalam “Hadapi Dengan Kapasitas Diri Terbaik”. *Canting Pujeng* menyulam makna dalam “Berkarya di Ujung Usia”, memeluk rindu dalam “Cucu-Cucu yang Selalu Kurindu”, dan merayakan ketangguhan di “Usila: Siapa Takut!”
Dikdik Sadikin menorehkan memori dalam “Hanami Terakhir di Ueno” dan menuliskan cinta seorang anak dalam “Perjalanan Papah Melawan Waktu”. Ia juga menggugah lewat refleksi tentang Mahathir dan luka Muharram. *Fanny Jonathans Poyk* mengantar kita merenung dalam “Kloset” dan “Mata”, dua cerita pendek yang tak sekadar metaforis, tapi menghunjam langsung ke dada.
Gus Nas u menyimpan kenangan dalam “Jejak Dalam Usia”, sedang *Muto Abi* mengukir rindu dan kehilangan dalam “Ayah Dalam Sunyi”. *Minarni Masran* menyentuh batin dengan “Cinta Ibu Mengantar Pulang”; sebuah kisah spiritual tentang cinta yang tetap hidup meski ragawi telah tiada.
Munasri Hadini membagikan cahaya dari perjalanannya menua dengan semangat global dalam “Lansia Bahagia Melanglang Buana” dan “Di Bawah Langit Istanbul”. *Nurul Jannah*; dengan gaya puitik dan reflektif; mengurai luka dan doa dalam “Pertemuan Mengaduk Rindu”, “Kebahagiaan Tak Sembunyi Dalam Gemerlap”, hingga “Cinta, Rindu, dan Pulang”.
*Pipiet Senja, sang penyunting, menghadirkan potongan hidup yang tajam dan jujur: “Luka Dari Masa Silam”, “Setelah 32 Tahun: Merdeka!”, hingga satire sosial “Kelakuan Manini dan Gipal”. *Rizal Pandiya* menyentil dalam “Rebutan Pulau” dan “Emak-Emak Antre Minyak Goreng”, membuat kita meringis sekaligus merenung.
Rita Audriyanti menggerakkan kita lewat “ Sampai Tua” dan “Pena dan Pensiun Mbah Mito”; kisah bahwa pena tak pernah pensiun. *Sastri Bakry* menggugah dalam “Baca Puisi di Jam Gadang” dan “Di Ujung Pengabdian”, menunjukkan bahwa panggilan jiwa tak pernah berakhir. Dan *Shintalya Azis* menutup dengan warna manis dalam “Gas yang Satu Itu”, “Berkah Orang Tua ke Tanah Suci”, dan “Sosok Idaman: Papa”.
Ini bukan sekadar buku antologi. *Ini adalah museum cinta dan ketabahan.* Sebuah pelukan bagi siapa saja yang sedang belajar berdamai dengan usia. Buku ini membuktikan: menulis adalah cara paling sunyi dan paling jujur untuk melawan lupa.
*Saat dunia melambat, buku ini justru menyala.* Saat tubuh renta, kata-kata mereka tumbuh. Lansia Bahagia bukan eulogi. Ia adalah elegi yang hidup, nyanyian cinta dari mereka yang tak pernah menyerah menebar cahaya.
*Inilah jejak cinta di ujung usia: yang akan terus menuntun kita pulang, kepada makna, kepada harapan, dan kepada-Nya sang Ilahi Robbi.*❤🔥🌹🎀
*Bogor, 10 Agustus 2025*
[10/8, 10.47] Nurul Jannah: *"Lansia Bahagia; Jejak Cinta Senja: Menulis, Menyulam, Menyala"*
Senja bukan akhir, tapi fajar baru bagi jiwa yang memilih tetap menyala.
*Buku ini merangkum 33 kisah inspiratif dari 15 penulis lintas profesi: tentang cinta yang tak lekang, rindu yang menguatkan, dan ketabahan yang memeluk*.
Dari tongkat yang jadi tonggak spiritual, cucu-cucu yang jadi cahaya, hingga cinta yang menuntun pulang.
Dari luka masa silam hingga semangat menulis sampai napas terakhir.
Bukan buku biasa. Ini adalah museum cinta & ketabahan, elegi yang hidup, nyanyian hati mereka yang menua tanpa menyerah menebar cahaya.
Karena menua bukan berarti padam.
#LansiaBahagia #JejakCintaSenja #BukuInspiratif #MenulisMenyulamMenyala
Posting Komentar