Oleh: Nurul Jannah
Luka, Langkah, Leluasa
Sebuah Perjalanan Jiwa Melintasi Benua dan Batas Batin
Riak Hati Garsini: Luka yang Tak Bisa Didiamkan
Novel Jejak Cinta Sevilla karya Pipiet Senja bukan sekadar kisah fiksi. Ia adalah jendela sunyi yang dibuka perlahan, menguak luka-luka yang kerap terkubur dalam senyum perempuan.
Sejak halaman pertama, kisah ini langsung menghujam ke jantung emosi pembaca: mengenalkan kita pada Garsini, gadis yang tumbuh di rumah dengan dinding penuh retakan cinta dan lantai yang merekam air mata.
Garsini tumbuh dalam rumah tangga yang sepi kasih, tapi bising oleh pertengkaran.
Ia mengenal suara piring pecah lebih dini daripada lantunan doa. Ia mencium aroma cemburu dari napas ibunya dan merasakan dinginnya kata-kata dari ayah yang memihak. Namun yang paling menggores adalah kalimat ini:
“Kalau kamu seperti adikmu, aku mungkin bisa bangga….”
Kalimat yang membuat harga dirinya retak, dan ia hanya mampu menunduk: menelan air mata seperti menelan permen pahit yang tidak bisa diludahkan.
Ketidakadilan itu melukai, tapi juga menguatkan. Tidak tahan dengan pengabaian dan kekerasan emosi, Garsini memilih meninggalkan Indonesia.
Bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menyusun kembali serpih hidupnya di negeri-negeri yang jauh, asing, dan tidak memberinya jaminan apa pun: selain kesempatan.
*Kapas-kapas di Langit: Menjejak Negeri Orang*
Episode kedua membawa kita menapak langkah Garsini di tanah asing. *Jepang menjadi latar pertama: negeri sakura yang indah, namun penuh kesunyian dan disiplin.* Di negeri ini, Garsini belajar mencintai dirinya yang terlempar dalam keterasingan.
Ia belajar bertahan: belajar dengan bahasa asing, bekerja sambil kuliah, dan hidup dari sisa roti dan harapan.
“Aku ingin menjadi perempuan yang tak hanya kuat, tapi utuh,” bisiknya pada bayangannya di kaca jendela, saat malam terlalu dingin dan airmata terlalu hangat untuk ditahan.
*Kemudian Paris….*
Negeri cahaya yang justru memunculkan kabut dalam jiwanya. Pipiet Senja menggambarkan Paris bukan hanya menara Eiffel dan croissant, tapi juga keraguan yang menyelinap dalam relung Garsini: ketika cinta baru datang, tapi luka lama belum reda. *Garsini jatuh cinta, tapi tidak mampu mempercayai bahwa ia pantas bahagia*. Sebab, di dadanya masih tertanam kalimat lama: “Kamu bukan kebanggaan Ayah.”
*Jejak Cinta Sevilla: Peluk yang Menyembuhkan*
*Episode ketiga menjadi puncak dari ledakan emosi yang Pipiet bangun dengan sabar.*
Di Jeddah, kota yang asing namun hangat, Garsini akhirnya bertemu lagi dengan ibunya: setelah bertahun-tahun tidak bersua.
“Maafkan Ibu, Nak. Bukan karena Ibu tidak ingin membelamu…, tapi Ibu pun sedang berdarah.”
Kalimat itu meruntuhkan tembok yang selama ini membatasi kasih. Dalam genggaman tangan dua perempuan yang saling menyakiti dalam diam, lahirlah ruang untuk saling memaafkan.
Akhirnya, di Sevilla, dalam senja yang menguning dan bangku taman yang sunyi, Garsini menulis:
“Ayah…, aku tidak lagi marah. Semua luka itu ternyata jalan sunyi menuju cinta*. Dan kali ini, aku memilih mencintai diriku sendiri.”
*49 Bab yang Menyembuhkan*
Setiap bab dalam novel ini adalah cermin perjalanan batin seorang perempuan yang tidak ingin menjadi korban. Garsini bukan tokoh sempurna: ia adalah manusia seutuhnya. Luka-lukanya nyata. Perjuangannya dalam diam, ikut mengguncang seluruh sendi kita.
Pipiet Senja merangkai kisah ini dengan bahasa yang indah, elegan, dan menghunjam. *Dialog-dialognya hidup. Latar tempatnya nyata*. Membawa kita dari pengapnya Depok, dinginnya Jepang, remang-remangnya Paris, hingga terik namun damainya Jeddah.
*Novel yang Menyala: Cinta yang Menemukan*
Jejak Cinta Sevilla adalah novel yang menyala pelan, tapi membakar lama. Ia bukan hanya tentang cinta pada laki-laki, tapi tentang cinta pada diri, cinta pada ibu, dan cinta pada luka yang membentuk kita.
Pipiet Senja tidak menulis untuk membuat kita hanya sekadar membaca. Ia menulis agar kita ikut sembuh.
Novel ini layak dibaca oleh siapa pun: terutama mereka yang pernah merasa tidak cukup, pernah terluka, atau sedang mencari rumah di dalam dirinya sendiri.
*Rekomendasi:*
Wajib baca. Bukan hanya karena kisahnya lintas benua, tetapi karena emosinya menembus lintas zaman. *Setiap orang, pada titik tertentu dalam hidupnya… pernah menjadi Garsini. Mencari cinta, lalu menyadari: bahwa yang paling penting, adalah mencintai diri sendiri.*
*Bogor, 28 Juli 2025*
Posting Komentar