In Memoriam: Kwik Kian Gie (1935-2025) dan Sunyi yang Melawan



_Oleh Dikdik Sadikin_

_*"In a time of universal deceit, telling the truth is a revolutionary act.*" - George Orwell_

*ORWELL* barangkali akan tersenyum mengenang seseorang yang bahkan di hari-hari menjelang ajalnya, masih setia mengucapkan kebenaran yang tak enak didengar. Kwik Kian Gie, seorang ekonom, teknokrat, dan pemberontak yang sopan, mengembuskan napas terakhirnya pada 28 Juli 2025. Usianya 89 tahun. Tapi warisan kata-katanya tak pernah sepuh: seperti arus deras yang menyusuri lembah sunyi politik Indonesia, menabrak batu, membelah kebekuan.

Kwik bukan hanya tokoh ekonomi. Ia adalah semacam conscience - suara hati -- yang menolak kompromi atas nama kekuasaan. Dalam suatu wawancara tahun 2021, ia berkata, *"Saya memilih menjadi miskin daripada berbohong untuk jabatan."* Pernyataan itu mungkin terdengar utopis di tengah korupsi yang menjadi semacam kebiasaan kebangsaan, tetapi dari mulut Kwik, ia terdengar seperti sumpah yang dijaga.

Kwik pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi di awal era reformasi, saat Indonesia berada dalam luka pasca-krisis 1998. Ia duduk bersama Megawati Soekarnoputri, tetapi tak pernah sekadar menjadi "pembisik kekuasaan." Ia mengoreksi, mengritik, bahkan mundur saat suara nuraninya tak sejalan. Seorang _insider_ yang tak sungkan menjadi _outsider._

Ekonomi, baginya, bukan sekadar angka. Ia menolak proposal privatisasi BUMN oleh IMF yang mendiktekan Indonesia seperti tanah jajahan ekonomi. Ia menyebutnya: *"penjarahan bersertifikat."* Di tahun 2002, saat banyak tokoh diam, Kwik mengutuk program BLBI yang merugikan negara lebih dari Rp600 triliun---sebuah jumlah setara hampir 25% PDB Indonesia saat itu. Ia menyerukan audit, pengembalian uang rakyat, dan transparansi. Seruannya disambut sunyi.

Namun kesunyian itu bukan kekalahan. Seperti kata Albert Camus, _*"A man's greatness lies in his decision to be stronger than his condition."*_

Kwik, dalam banyak hal, seperti sosok Cassandra dalam mitologi Yunani---mampu melihat malapetaka yang akan datang, tetapi tak didengarkan. Ia mengingatkan tentang bahaya utang luar negeri, tentang kartel pangan, tentang penyeragaman dalam sistem pendidikan yang membunuh kreativitas. Ia menulis. Ia berbicara. Ia hadir di ruang-ruang kuliah dan kanal-kanal YouTube, lebih didengar oleh mahasiswa dan rakyat kecil ketimbang elite istana.

Sikap skeptisnya terhadap kekuasaan mengingatkan kita pada tokoh-tokoh dunia: seperti Thomas Sankara di Burkina Faso yang hidup sederhana dan anti korupsi, atau seperti Yanis Varoufakis di Yunani yang menolak menyerah pada diktat troika Eropa. Tapi tak seperti Varoufakis yang meledak-ledak, Kwik mengkritik dengan wajah tenang dan diksi yang tajam: seperti angin gunung yang menusuk diam-diam.

Kwik juga berbeda dari banyak teknokrat Indonesia. Ia tak pernah merasa nyaman dalam euforia statistik. Di saat para menteri bicara pertumbuhan ekonomi 5,2%, Kwik bertanya: _*siapa yang tumbuh?*_ Ketika BPS menyebut penurunan kemiskinan menjadi 9,36% (2022), ia menyentil soal garis kemiskinan yang terlalu rendah. _*"Yang bisa hidup dengan Rp550 ribu sebulan itu bukan manusia, tapi angka*_," katanya.

Ekonom Harvard boleh bicara _*trickle down effect*_, tetapi Kwik lebih percaya pada _*trickle up honesty*_. Ia percaya bahwa kejujuran seorang pejabat akan menular ke bawah. Bahwa negara harus hadir untuk rakyat kecil, bukan konglomerat rente. Bahwa pembangunan bukan betonisasi, tapi keberpihakan.

Dan meski ia dikenal sebagai pendiri Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan di UGM, warisan utamanya bukan institusi. Tapi keteladanan. Di negeri yang mudah amnesia, Kwik adalah ingatan yang tak mau padam.

Dalam diam, ia hidup seperti daun jatuh yang tidak pernah membenci angin. Dalam lantang, ia berbicara seperti lonceng yang membangunkan tidur bangsa. 

Ia tidak sempurna. Ia pernah keliru. Tapi justru di situlah kemanusiaannya terasa. Seorang manusia yang terus bertanya, terus bersuara, bahkan ketika semua memilih diam.

Kini, suara itu terhenti.

Tapi barangkali seperti kata Vclav Havel, penulis dan presiden Ceko yang juga _dissiden_:

_*"The salvation of this human world lies nowhere else than in the human heart, in the human power to reflect, in human meekness and human responsibility."*_

Dan kita berutang pada suara seperti Kwik. Suara yang datang dari hati yang bertanya, dari tanggung jawab yang tidak tunduk pada tepuk tangan, dari keberanian untuk berkata *"tidak"* saat yang lain sibuk menyusun kata *"ya"*.

Selamat jalan, Bung Kwik.

Angin pun hari ini lebih lambat bertiup.


_*Bogor, 29 Juli 2025*_

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama