Pidato Terakhir di Mimbar Langit



(Sebuah elegi satire-puitis untuk Ustadz Yahya Waloni)


Oleh: Rizal Tanjung 

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...

Maka langit pun bersujud. Bukan karena badai,

tapi karena seorang manusia—yang pernah dibakar hidup-hidup oleh kata-kata sendiri—

kini terbujur kaku di mimbar yang selama ini menjadi medan perangnya.

Hari itu, Jumat yang barangkali telah ditulis dalam kitab takdir sebagai panggung terakhir,

di mana khutbah bukan lagi petuah, tapi semacam isyarat wafat yang dibungkus kata-kata tauhid.

Langit Makassar tampak malu-malu menurunkan tangisnya,

sementara awan, seperti rombongan jurnalis metafisik, menyorot satu tubuh yang rebah

di antara riuh bisikan "amin" dan jantung yang sedang mengemas detaknya ke alam barzakh.

Ia jatuh, bukan karena kehilangan kata-kata,

melainkan karena kata-katanya telah menyentuh langit terlebih dulu,

dan langit, agaknya, memanggilnya pulang.

Yahya Waloni, nama yang sering jadi menu utama dalam obrolan warung kopi dan rapat sensor media.

Suaranya bukan sekadar lantang, tapi seperti palu godam yang menghantam keheningan

dengan retorika nyaring,

yang bagi sebagian orang adalah suara kebenaran,

dan bagi sebagian lainnya adalah gema dari ruang gawat darurat sejarah yang dikutuk.

Ia berbicara bukan dengan bahasa bunga,

tapi dengan parang lidah yang diasah oleh kemarahan zaman dan dendam pertobatan.

Ia tidak berpantun tentang surga, tapi menunjuk neraka dengan peta dan statistik.

Ia bukan pendamai,

ia adalah lonceng yang dibunyikan tengah malam,

mengusik mereka yang terbiasa tidur dalam gelap.

Dan hari itu, tepat pukul 12.30 WITA, ia menyampaikan khutbah yang tidak akan pernah ia tutup.

Barangkali karena doa penutupnya sudah digantikan oleh desahan terakhir

yang terjerat di rongga dada

dada yang pernah menyimpan salib dan kini mengandung jutaan kalimat tauhid.

Dari seorang rektor teologi Kristen,

menjadi dai yang tidak sempat bersarung panjang tapi menyampaikan Islam

seperti orang yang menagih utang kepada dunia.

Ia tidak lulus pesantren, tapi hafal debat seperti seorang pengacara Tuhan.

Dan Tuhan, tampaknya, tidak mencatat IPK dalam daftar nama yang dipanggil pulang.

Masuk Islam tahun 2006 bukan sekadar pindah keyakinan,

itu adalah pernyataan perang terhadap semua versi masa lalunya.

Dan ia bertempur, dengan satu-satunya senjata: mikrofon.

Ia berkhotbah bukan dari kitab tafsir,

tapi dari luka, dari nyeri yang dijadikan ayat hidup.

Ia pernah dipenjara. Lima bulan.

Bukan karena mencuri, tapi karena terlalu banyak berkata "yang benar itu benar".

Ironisnya, penjara tidak meredam suaranya.

Justru menambah gema.

Ia keluar, bukan sebagai korban,

tapi sebagai orator yang dipoles jeruji dan diperkuat isolasi.

Dan kini ia wafat,

seolah Tuhan sendiri mengatur panggung terakhir:

Mimbar. Jumat. Khutbah. Detik keemasan.

Apa lagi yang kurang dari sebuah akhir yang sinematik dan penuh alegori?

Tubuhnya jatuh, suaranya diam,

tapi perdebatan tentangnya justru baru dimulai.

Ia menjadi mayat yang paling fasih.

Karena kematiannya adalah khutbah paling keras

yang bahkan tidak bisa disensor oleh pemerintah atau algoritma media sosial.

Orang menangis.

Bukan hanya karena kehilangan,

tapi karena sadar:

kita hidup di zaman di mana keberanian untuk berkata benar

telah menjadi makhluk langka yang layak diawetkan di museum peradaban.

Ia diterbangkan ke Jakarta.

Tapi sejatinya, ia telah lebih dulu melesat,

melewati ruang VIP para syuhada dan pemberontak suci,

menuju tempat di mana khutbah tidak lagi dibatasi waktu,

dan suara tidak bisa lagi dihentikan oleh laporan buzzer.

Maka langit pun menutup khutbah itu dengan satu ayat sunyi:

“Dan Kami angkat engkau ke tempat yang tinggi...”

— meski sebagian manusia di bumi menuliskannya dengan nada satire.

Selamat jalan, Ustadz Yahya Waloni.

Engkau bukan hanya wafat,

tapi ditutup layaknya bab terakhir dari buku yang tak semua orang siap membacanya.

Semoga Tuhan yang kau serukan setiap hari,

benar-benar telah memelukmu sebelum seluruh dunia sempat meminta maaf karena salah paham.

Sumatera Barat, 6 Juni 2025.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama