Oleh Dikdik Sadikin
ADA yang lebih berat dari menyembelih anak: yaitu menyembelih cinta itu sendiri.
Ibrahim tak diminta Tuhan untuk membunuh Ismail hanya karena Tuhan senang melihat darah. Tidak. Ibrahim diminta untuk melepas sesuatu yang paling dicintainya.
Dan dalam setiap cinta, selalu ada bahaya tersembunyi: ia bisa berubah menjadi berhala.
Idul Qurban bukan tentang kambing, bukan tentang sapi. Ia tentang apa yang paling enggan kita lepaskan. Harta? Mungkin. Tapi lebih sering: anak. Atau jabatan. Atau pasangan. Atau kebanggaan atas karya kita sendiri.
Di negeri ini, kita menyebut anak sebagai "anugerah Tuhan," tapi dalam praktiknya, kita perlakukan mereka sebagai proyeksi diri. Kita desain masa depan mereka dengan _blueprint_ yang dibangun bukan atas panggilan mereka, tapi atas kegagalan dan penyesalan kita sendiri.
Dalam laporan World Values Survey 2023, Indonesia termasuk negara dengan skor tinggi dalam indeks “ _family-centered culture”,_ tapi rendah dalam “ _individual autonomy”._ Di sinilah letak paradoks: cinta yang terlalu lekat bisa menjadi tirani.
Dan ketika cinta itu kita letakkan lebih tinggi dari Tuhan, ia berhenti menjadi berkah. Ia menjadi belenggu.
Bukankah ini juga terjadi di negeri lain, hanya dengan cara yang lebih tenang?
Di Jepang, misalnya, fenomena “ _karoshi_ ” atau kematian karena kerja, sering terjadi karena orang tua terlalu menekan anaknya untuk sukses.
Di Korea Selatan, survei KOSIS 2024 menunjukkan bahwa 52% remaja merasa hidup mereka “ _bukan milik mereka sendiri.”_ Mereka hidup untuk membayar cinta.
Cinta kepada anak menjadi candu ketika ia menempatkan Tuhan di kursi belakang.
Ibrahim, dalam tafsir para sufi, adalah simbol keterputusan. Ia menunjukkan bahwa bahkan cinta yang sah pun bisa menjadi hambatan dalam perjalanan menuju Allah.
Jalaluddin Rumi berkata, “ _Try not to resist the changes that come your way. Instead, let life live through you.”_
Maka, Ibrahim melepaskan, agar bisa menerima.
Tapi bagaimana kita?
Kita tak ingin melepas, tapi menuntut digenggam.
Kita tak ingin diuji, tapi merasa paling saleh.
Tiap tahun kita potong kambing, tapi tak pernah potong keterikatan.
Kita sembelih sapi, tapi enggan menyembelih ambisi.
Kita terus berdoa minta diberi anak, tapi jarang berdoa agar tak diperbudak cinta kepadanya.
Di sebuah rumah di Bandung, seorang ayah tak bisa berkata ‘ _tidak_ ’ pada anaknya. Ia korbankan rumah, hutang menumpuk, demi pesta ulang tahun.
Sementara di pelosok Papua, seorang ibu merelakan anaknya ke sekolah berasrama 7 jam dari kampungnya demi masa depan.
Keduanya berasal dari cinta. Namun yang satu tahu: mencintai bukan berarti menggenggam erat, melainkan merelakan langkah anak menyusuri takdirnya sendiri.
Kita hidup dalam masyarakat yang cenderung menuhankan kasih sayang. Tapi Tuhan dari Ibrahim mengajarkan, cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang merelakan.
Maka pertanyaannya bukan: sudahkah kau menyembelih hewan qurban? Tapi: sudahkah kau sembelih kelekatanmu?
_*“Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” — (HR. Bukhari-Muslim)*_
Idul Qurban mestinya bukan nostalgia darah, tapi refleksi cinta. Cinta yang suci adalah cinta yang bersedia kalah. Bahkan pada Tuhan.
Dan di saat itulah, kita betul-betul layak disebut hamba.
_*"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” - Quran Adz-Dzariyat: 56."*_
*_Bogor, 5 Juni 2025*_
Posting Komentar