Langit Menangis di Arofah




Oleh: Nurul Jannah

*Arafah, 20 Agustus 2018.*

Enam tahun menanti. Lalu tahun 2018, panggilan itu tiba. Bukan sekadar perjalanan, tapi undangan cinta; dari Dia yang tidak pernah salah memilih waktu.

Menjelang keberangkatan, tubuh ini melemah. HB anjlok drastis. Transfusi jadi keharusan. 

Walau ada sedikit cemas yang menyelinap, tapi aku yakin Allah punya cara untuk memanggil hambaNya. 

"Bu Nurul, kalau ingin tetap berangkat haji, transfusinya harus segera. HB Ibu terlalu rendah," kata dokter, serius.

"Baik, apabila Allah yang memanggil, maka Dia pula yang akan memberi jalan."

Setelah transfusi, tubuh ini terasa hidup kembali. Bukan hanya segar, tapi seolah disiram kekuatan dari langit. 

*Masya Allah, ini bukan sekadar darah, tapi jawaban atas doa dan kepasrahan yang tulus.*

Detik pertama menginjakkan kaki di pelataran Masjidil Haram, kaki ini bergetar hebat; apalagi saat Ka’bah tampak di pelupuk mata.

"Inikah rumah-Mu, ya Rabb...? Benarkah aku sedang berdiri di hadapan-Mu?"

Aku terisak, dunia seakan berhenti berputar. 

Hari-hari di Mekah menjadi potret cinta tanpa batas. Thawaf dalam dekap malam, sa’i dalam keheningan penuh harap, shalat lima waktu tanpa jeda, tahajud tanpa putus, yang terus mengalirkan air mata bahagia. 

Setiap langkah seakan dituntun oleh kasih sayang yang tidak terlihat.

*Lalu tiba hari yang ditunggu setiap jiwa yang berhaji; Wukuf di Arafah.*

Pagi itu, langit Arafah mendung. Angin bertiup lembut, seolah membisikkan sesuatu.

Kami duduk dalam tenda, memanjatkan doa dalam keheningan yang suci.

*Namun, menjelang dzuhur, langit tiba-tiba pecah. Badai datang. Angin menderu, hujan mengguyur deras. Tenda bergoyang. Suara gemuruh petir menyambar. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang panik.*

*"Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar!" Takbir bergema dari segala arah.*

Seorang ibu di sampingku menggenggam erat tanganku, suaranya bergetar, seakan ikut menguatkan; *"Kita tidak sendiri… Allah sedang menyentuh kita…"*

Kami semua berdiri di tengah tenda yang bergoyang. Doa dilantunkan dari kerongkongan yang tercekat. Meleleh dalam kepasrahan. Tangis pecah, bercampur hujan. Langit Arofah pun ikut menangis.

*Hari itu, Arafah menjadi saksi; tidak ada manusia yang benar-benar kuat di hadapan Allah.*

Usai mabit di Muzdalifah dan Mina, usai melontar jumrah, usai thawaf ifadah, kami bersiap ke Madinah. 

*Di Madinah, aku menuntaskan Arba'in; shalat berjamaah 40 waktu tanpa putus di Masjid Nabawi*. 

Setiap rakaat seperti pelukan rindu. Suasana lebih tenang, lebih lembut, seperti dada yang dijahit kembali setelah robek di Arafah.

*Raudhah adalah tempat air mata jatuh tanpa malu.*

"Ya Rasulullah… aku datang dari jauh… bukan membawa apa-apa, hanya rindu yang tidak tertampung oleh kata."

Saat itu, aku berbisik dalam sujud;  "Ijinkan aku kembali; suatu hari nanti…".

Dua belas hari di Madinah adalah waktu penyembuhan. Batin yang lelah dipeluk oleh damai.

Saat pulang, koper kami penuh oleh-oleh. *Tapi oleh-oleh sejati tidak bisa dibungkus: ia bernama ampunan, ketenangan, dan rindu yang tidak selesai*.

Sesampainya di Jakarta, hati ini kembali merindu. Merindukan tanah Haram. Sebagian jiwa ini seakan masih tertinggal di Arafah yang basah, di tenda yang diguncang doa dan di Raudhah yang memeluk air mata.

Kini, meski sudah tujuh tahun berlalu; kenangan haji 2018 tetap menghujam dada. 

*Allah memanggilku di waktu terbaik;* saat aku bisa dengan ringan menuju saf pertama, saat raga ini begitu tangguh, saat sujud bisa sedalam-dalamnya, dan saat segalanya begitu dekat dengan-Nya.

*Ini bukan hanya perjalanan ibadah haji; ini merupakan perjumpaan ruhani, perjalanan pulang; ke fitrah, ke dalam diri, ke pelukan Ilahi.*💝💖

*Bogor, 5 Juni 2025*

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama