Oleh Rita Audriyanti
“Besok kita hajian yuk, Pak?” pintaku pada suami yang langsung diiyakan.
Besok hari Arafah. Masih ada waktu menuju jantung ibadah Rukun Islam kelima itu.
Lepas salat Subuh, urusan anak sudah beres dan mereka di rumah bertiga. Aku dan suami naik taksi ke Terminal SAPTCO Balad. Nasib baik, ada taksi dengan supir _walad Makkah_ (laki-laki asli Badui penduduk Mekkah) mengantar kami sampai batas di luar lokasi wukuf di padang Arafah.
Cerita selanjutnya tergantung nasib. Dan benar saja, seorang polantas yang sedang bertugas menyetopkan sebuah mobil van untuk kami.
_”Please, come in,”_ ajak mister supir warga India kepada kami. Jadilah kami bergabung bersama keluarga India dengan istri dan tiga orang bocahnya. Gema talbiah syahdu menuju Arafah.
“Haji adalah Arafah”, begitu hukum berhaji. Tidak sah haji kalau tidak wukuf di padang Arafah.
Sebagai mukimin yang tinggal di Jeddah sejak 1998-2011, tempo ini menjadi kesempatan emas bagi kami dan siapa saja yang ingin melaksanakan haji.
Apalagi umroh. Bebas, kapan saja. Mengapa demikian? Aturan perhajian saat itu tidak seketat saat ini. Maka, siapa saja yang mendadak berniat haji, sementara waktu wukuf masih ada, _cus_ ke Arafah. Tentunya secara syar’i sah. Sekalipun demikian mudahnya, ternyata berhaji itu memang tergantung niat. Seperti supir walad Mekah itu, katanya ia lahir di Mekah tapi belum pernah melaksanakan ibadah haji. _Why?_ Boleh jadi niatnya tidak ada.
Untuk mengenang perjalanan spektakuler dan boleh jadi tidak akan pernah diizinkan lagi oleh otoritas Arab Saudi, aku berhasil menuliskan kisah perjalanan ritual tersebut ke dalam sebuah buku bertajuk, *”Haji Koboi: Catatan Perjalanan Haji Backpacker, Grasindo, 2013”.
* Tidak sekadar buku, namun catatan ini, kurasa, menjadi bagian dari sejarah umat Islam bagaimana sebuah prosesi haji terjadi pada suatu era.
Kalau Danarto mencatatnya ke dalam buku, “Orang Jawa Naik Haji”, aku seorang mukimin menuliskan pengalaman tersebut dengan istilah Haji Koboi. Mengapa istilahnya demikian? Ya, sebab pergi dengan cara santai alias ngoboi, namun dengan tetap berpegang pada ketentuan syar’i dalam melaksakan seluruh prosesi ritualnya.
Wallahualam.
PG, 5 Juni 2025
RA
Posting Komentar