Pipiet Senja
Anno, 1981
Sejak hari itulah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai saatnya melahirkan. Aku merasa telah kehilangan segala kepercayaan diriku. Takut suatu saat kembali menyerah dan melakukan perbuatan nista; mengakhiri hidupku. Hanya karena tak tahan lagi dengan segala caci-maki, kemarahan dan kebenciannya yang harus kutanggung.
Beberapa jam sebelum melahirkan, kembali peristiwa sumpah pocong itu harus kulakoni. Tengah malam, ketika aku mulai merasai keanehan dalam perutku, dia mendatangiku khusus untuk melakukan ritual yang seakan telah menjadi lagu wajib pernikahan kami.
“Ini atas nama anak kamu dalam perut itu!” nadanya penuh ancaman. “Bersumpahlah pula demi dia! Kalau kamu melakukan sumpah palsu, dipastikan kamu dan anak kamu takkan selamat dunia akhirat. Bahkan kamu pun pasti takkan bisa melahirkan dengan selamat!”
Kucermati isi ancaman sumpahnya kali ini. Benar saja, dia menuliskan dengan jelas karena memakai spidol. Jika aku bersalah niscaya dosanya akan ditanggung oleh diriku dan anakku. Yap, demikianlah istilahnya; anakmu bukan anak kita apalagi anaknya.
Andaikan ada yang memperhatikan perilaku kami berdua, niscaya akan terheran-heran. Bayangkan saja, tangannya meletakkan kitab suci di atas kepalaku. Sementara aku membacakan poin-poin yang telah ditulisinya di atas karton. Air mataku mulai mengering, kupikir, tiada setetes pun air bening yang menitik, membasahi pipi-pipiku malam itu.
“Aku pergi dulu, tak ada yang bisa kulakukan di sini,” ujarnya seraya membawa kembali karton berisikan sumpah mati, sumpah pocong, menurut istilahnya. Sebab kepalaku dibebat mukena dan dia menyebutnya demikian.
Aku ingin memintanya tidak pergi, agar mendampingiku karena mulai kurasai pertanda akan melahirkan. Perut mengembung, tak bisa buang air besar, sesekali keluar cairan bening dari rahimku. Namun, tidak, kupikir tak mungkin menahan dirinya berlama-lama lagi di sampingku. Selain sikap dingin, ketakpedulian, dan terutama pancaran kebencian di matanya yang menakutkan itu. Sesungguhnya jujur saja; aku mulai merasa nyaman apabila kami berjauhan.
Pukul dua dinihari, aku bangkit dari ranjang dan mendirikan sholat tahajud. Beberapa saat lamanya kubiarkan seluruh diriku lebur dalam doa panjang dan zikir tanpa henti.
Saat inilah aku menangis berkepanjangan, lama sekali, semuanya kuadukan kepada Sang Khalik. Begitu nikmat kurasai pengaduanku dinihari itu, dalam keyakinan bahwa semesta keluhanku akan sampai ke kuping-Nya. Semua doa yang kuminta akan dimakbulkan-Nya.
“Ya Tuhan, kuserahkan segalanya ke tangan-Mu. Berilah yang terbaik bagi kami, ya Tuhanku yang Maha Menggenggam,” bisikku berulang kali, mengakhiri doa sekali itu.
Usai berkeluh-kesah, curah hati kepada Sang Khalik, aku turun dari ranjang. Entah mengapa, aku merasa tergerak untuk berjalan-jalan dari satu koridor ke koridor lainnya di rumah sakit itu.
Sepotong dinihari yang hening dengan langit bening, sama sekali tiada mendung apalagi kabut. Kuhirup hawa segar kawasan RSCM. Kuhirup sepenuhnya agar merasuki dada, jiwa, melindap di sendi-sendi tulangku. Allahu Abar!
Tahu-tahu aku sudah berjalan jauh, entah di mana. Sejenak tertegun, langkahku terhenti seketika. Kukitarkan mataku ke sekelilingku. Ya Allah, di hadapanku kulihat ada tulisan; Ruang Jenazah!
Seketika bau busuk bangkai menyergap hidungku. Bergegas kubalikkan langkahku, kakiku nyaris tersandung.
“Ibu kenapa di sini, mau ke mana?” Tiba-tiba ada seorang perawat perempuan menyapaku.
“Eeeh, iya nih, saya nyasar. Ruang rawat inap di mana ya?” Aku balik bertanya, linglung.
“IRNA B apa IRNA A?”
“Itu dia, IRNA B lantai enam!”
“Mari kuantar,” ajaknya dengan ramah.
“Eh, tak perlu, sudah tahu, biar sendirian saja. Terima kasih, terima kasih,” kataku cepat-cepat berlalu, meninggalkannya terbengong.
Diantar, duh, yang benar saja. Bisa-bisa gempar nanti, disangka pasien mau minggat. Aku kembali ke ruangan perawatanku, sekali ini dadaku sungguh dipenuhi dengan zikrullah, tak henti-hentinya, takkan pernah berhenti, takkan pernah.
“Hingga akhir hayatku tiba, hingga ajal menjemput,” dengusku.
Pukul enam pagi, ketika dokter dinas malam melakukan pemeriksaan, kontraksi pertama kualami dengan keterkejutan luar biasa.
“Dokter, maaf nih, aku merasa sebentar lagi akan melahirkan,” keluhku sambil menahan rasa sakit.
Kontraksi perdana bagi calon ibu mana pun, niscaya mengagetkan. Dokter jaga segera melakukan pemeriksaan dalam, kemudian memerintahkan perawat untuk membawaku ke ruang persalinan IRNA A. Sepanjang jalan di atas ranjang itu, kutenangkan diriku semampuku.
“Jangan pernah menyerah, ya Nak, jangan pernah!” pekikku berulang kali sambil mengelus permukaan perutku. “Inilah saatnya kita sama berjibaku, sepakat?”
Mendadak aku teringat akan segala pengorbanan yang pernah dilakukan ibuku untuk diriku. Kubayangkan bagaimana deritanya saat melahirkanku.
“Ya, demikianlah pasti rasanya, sakitnya,” desisku.
Air mataku pun mulai terbit dan berlinangan, bukan karena kesakitan. Lebih disebabkan perasaan bersalah atas segala kesulitan yang kutimbulkan, dan itu harus ditanggung oleh ibuku tercinta.
Sekejap kemudian aku merasa sungguh bisa menikmatinya dan mulai kumaknai keindahan, keberkahan untuk menjadi seorang ibu. Ya, bahkan sebelum peristiwa persalinan itupun, aku telah menikmati anugerah-Nya. Ya Allahu Robb, terima kasih.
Aku merunduk memandangi kaki-kaki yang membengkak. Seketka kenanganku berbalik kembali ke pekan-pekan sebelumnya. Aku diberi tahu dokter bahwa posisi bayi masih melintang. Sejak mengetahui itu aku segera mempergiat sholat malam dan senam hamil.
Menurut Bu Bidan, berlama-lama sujud bisa membalikkan posisi bayi ke posisi normal. Sebulan sudah berlangsung, tetapi posisi bayi masih melintang juga. Mungkin itulah yang membuat limpaku sakit. Karena setiap kali bayinya menendang, ya Allahu Robb. Sakitnya luar biasa.
Sering aku hanya bisa mencucurkan air mata. Menjeritkan asma-Nya, memohon kekuatan dari Sang Pencipta, agar diberi kekuatan dan keajaiban demi mempertahankan bayiku.
“Oh, belahan hati, belahan jiwa Mama. Marilah kita kerja sama, Anakku,” demikian selalu kupompakan semangat berjuang untuk bayi dalam kandunganku.
Aku merasa yakin, dia bisa mendengarku.
Untuk beberapa saat lamanya aku mengajak anakku bercakap-cakap, meskipun dia masih dalam kandungan. Macam-macam yang aku omongkan. Mulai dari membacakan kalimatullah dan tilawah ayat-ayat suci Al-Quran.
Kemudian aku ceritakan pengalaman sehari-hari, harapan dan impianku terhadapnya. Mendongenginya, membacakan cerpen atau sinopsis novel yang hendak aku garap. Hingga menanyakan keadaannya di dalam sana.
“Apa kamu harus desak-desakan dengan limpa Mama, ya Nak?”
“Tolong, Nak…. Jangan tendang sana-sini!”
“Hei, hei! Itu limpa Mama loh, Nak. Bukan bola, Cintaku….”
“Adududuh, nakalnya kamu…. Mau jadi apa sih, kalau gede nanti?”
Untuk mengalihkan rasa sakit, biasanya aku juga akan mengenang kembali saat-saat di-USG. Saat mendengar denyut jantungnya pertama kali. Deg, deg, deg, deeeg.
Subhanallah, terdengar indah nian.
“Mana suaminya? Sudah ditandatangani belum formulir persetujuan operasinya?” Dokter Bambang membuyarkan petualangan anganku.
Aku mengulurkan formulir yang dimaksud dokter.
“Ya, sudah ini cukup,” katanya sesaat memperhatikan tanda tangan suami pasiennya ini.
“Kalau boleh, aku mau menunggu kedatangan orangtua dari Cimahi. Kalaupun mau dioperasi mohon ditunda sampai mereka datang,” pintaku.
Dokter Bambang tidak keberatan. Maka, selama penantian itu aku tetap dirawat gabung. Ternyata orangtuaku baru bisa datang setelah dua minggu kemudian. Anehnya, aku masih dinyatakan bisa bertahan. Caesar pun ditunda lagi. Alasan Mak dan Bapak macam-macam, tetapi aku bisa merasakan keengganan di mata keduanya.
“Enggan kalau ke rumahmu itu. Apalagi sekarang ada mertua perempuanmu. Dia jelas-jelas tak pernah menyukai kami,” kilah Mak suatu kali saat kudesak.
Dalam situasi serba menekan dan menyakitkan itulah aku mempertahankan bayi kami. Tekanan dari pihak keluarga, kejaran deadline tulisan, dan keuangan yang morat-marit. Jika tidak sering sholat tahajud, bersabar, bertawakal, serta berserah diri kepada-Nya, ampunlah!
Niscaya siapa pun akan ambruk saat itu juga.
Alhamdulillah, aku diberi hidayah agar senantiasa dekat kepada-Nya. Merengkuh kemurahan-Nya dan menggapai ke-Maha Kasih-an Ilahi.
“Kita akan caesar minggu depan saja, ya Bu?” kata dokter Bambang setelah selama tiga minggu aku diopname.
“Posisi bayinya sudah berubah ke posisi normal. Ibu juga nggak terlalu merasa kesakitan lagi sekarang,” ujar dokter spesialis kandungan, dokter Laila.
“Beruntung jantung dan paru-paru Ibu tidak mengalami gangguan. Biasanya kami menemukan gangguan jantung untuk kasus seperti Ibu ini,” jelas dokter Kristianto, Kardiolog.
Alhamdulillah, aku pun kembali bersujud syukur. Untuk sementara aku merasa tenang.
Menyusuri koridor-koridor rumah sakit setelah sholat subuh, menghirup udara pertamanan di sekitar RSCM.
Pembangunan sedang dilaksanakan besar-besaran di sini. Kobong-kobong tempat tinggal sementara para kuli, pagar-pagar seng yang tinggi-tinggi, dan bakul nasi yang dirubung-rubung para buruh bangunan. Itulah pemandangan yang setiap hari aku lewati.
Terkadang aku berpikir, “Buruh-buruh bangunan yang berdatangan dari pesisir utara itu kebanyakan masih belasan tahun.
Seharusnya mereka masih sekolah di bangku SMP atau SMA. Namun, tuntutan hidup menerbangkan cita-cita mereka ke tempat ini.”
“Ah, bukankah mereka masih beruntung? Memiliki kebugaran fisik dan kesehatan sempurna?” gumamku pula.
Aku bisa gila kalau tidak mencurahkan gejolak rasa, gelombang nalar yang berseliweran di kalbu dan otak ini.
Namun, dokter sudah memutuskan dengan tegas tak ada lagi mesin ketik. Apalagi minggat-minggat dan mengejar-ngejar honorarium. Aku mengisi buku harian berlembar-lembar tiap harinya. Sebelumnya, jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan sejumlah naskah yang telah dikirimkan ke pelbagai media.
Sudah saatnya panen raya nih, pikirku.
“Biar Mak saja yang menagih honorariumnya kepada mereka,” usul Bapak suatu kali ketika mampir membesukku.
Terkadang suami mau juga melakukannya. Namun, dia sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Akhirnya aku terpaksa membebani Mak dengan pekerjaan ini. Kondisi Mak sedang prima. Dengan senang hati Mak melaksanakan tugasnya.
“Itung-itung jadi manager pemasaran, ya?” katanya sambil tertawa. Kegemarannya jalan-jalan agaknya terlampiaskan.
Sejak saat itu, Mak menjadi wakilku untuk mengejar-ngejar, eh, menagih honorarium ke redaksi-redaksi yang memuat karyaku.
Saat itulah aku mengenal istilah menodong dan mengijon di dunia kepenulisan. Menodong redaksi, artinya meminta honorariumnya dahulu sebelum naskahnya diterbitkan. Sedangkan mengijon naskah adalah menjanjikan akan menyerahkan naskah dengan tempo tertentu.
Namun, honorariumnya diminta lebih dahulu. Itu dua hal yang berbeda. Apa pun itu, tetap saja tujuannya sama, UUD; Ujung-Ujungnya Duit!
Untuk beberapa waktu lamanya Mak menjadi tukang tagih Pipiet Senja. Mungkin karena Mak sangat lugu, memiliki wajah memelas, dan mata lembut sayu. Biasanya segala urusan menjadi lebih gampang. Mak acapkali berhasil menagih honorariumku yang sudah berbulan-bulan sulit diminta.
“Mak sampai menunggu berjam-jam di kantor Anu.”
“Wah, untung saja Mbak Susi ada. Jadi ditalangin dulu nih sama Mbak Susi dari koceknya pribadi.”
“Ini dikasih bonus dari Mbak Anu. Katanya buat bingkisan anakmu yang bakal lahir nanti,” demikian Mak melapor dengan wajah sumringah, setiap kali berhasil menerima honorariumku.
Keberhasilan Mak ditanggapi lain oleh pihak ketiga. Suamiku dikompori, digerecokin. Ujung-ujungnya Mak tersinggung. Minta berhenti jadi debt-colector sulungnya ini. Mak ngambek, pulang ke Cimahi.
“Ya Tuhaaan, apa ini?”
Rasa sakit luar biasa menghajar perutku!
“Ya Allah, aku tak tahan lagiiii!” seruku, meninggalkan seluruh lautan khayal yang pernah kuarungi.
“Ini kontraksi namanya, Bu. Kenapa baru bilang sekarang? Kan ibu direncanakan untuk di-caesar, bla, bla.…”
Aku sudah tak mendengar lagi apa saja yang dikatakannya. Kesibukan segera terjadi di ruangan itu. Infus segera dipasang, selang oksigen pun tersambung ke lubang hidungku. Asmaku dikhawatirkan kambuh mendadak.
Tak berapa lama para perawat dan dokter Bambang membawaku menuju ruang persalinan.
Sepanjang perjalanan yang menggunakan lift itu, otakku masih bekerja normal. Aku sempat teringat film seri Dokter Kildare. Sekarang aku mengalaminya sendiri, pikirku. Bukan dalam film dan bukan dalam cerita novel, seperti yang sering aku reka-reka selama ini. Ya, ini kehidupan dan kenyataan.
“Mana keluarganya?”
“Tidak ada, Dok…. Pasien sudah lama diopname di IRNA B.”
“Dengan apa?”
“Kehamilan pertama, Thallasaemia, spenomegali, asma bronchiale....”
“Busyet! Sampai seabregan begitu?”
“Siapa yang menanganinya?”
“Dokter Bambang, nah, itu dia!”
“Ya, ini pasienku, teruskan saja bawa ke kamar satu!”
Di kamar satu mereka segera memeriksaku. Sudah ada pembukaan. Masih lama. Siapkan darah untuk transfusi!
“Tapi nggak ada keluarganya nih, Dok?”
“Ya, usahakan sama kamu dooong!”
Ketika kontraksinya tak muncul kembali, untuk beberapa saat aku ditinggal sendirian. Ruangan itu memanjang, dibatasi dengan gorden warna hujau daun. Tiba-tiba hatiku digerayangi rasa takut.
Ya Allah. Bagaimana andai Malaikat Maut datang menjemput? Kasihan sekali si Ucok kalau ibunya pergi duluan, ya? Siapa yang bakal mengurusnya? Menyusuinya nanti? Menggendongnya? Membimbingnya saat dia pertama kali bisa melangkah?
Ya Allah, tolong jangan jemput aku sekarang, jeritku membatin.
“Astaghfirullahal adziiim….”
Cepat-cepat aku mengenyahkan pikiran macam-macam dan rasa takut yang kian menyergap. “Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang papa ini berlindung. Begitu banyak kelalaian dan dosa yang pernah hamba perbuat. Namun, kutahu begitu banyak nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada hamba. Ya Allah berilah kesempatan kepada hamba untuk menjadi seorang ibu. Laailahaila anta subhanaka inni quntum minal dzolimin.”
Air mata bercucuran membasahi pipi. Saat kontraksi kembali, aku teringat lagi Mak tercinta.
“Oh, beginilah agaknya dahulu Mak saat hendak melahirkanku. Mak, ampuni dan maafkan segala dosa anakmu ini.” Gumamku membatin.
Lagi-lagi kontraksi. Sepuluh menit sekali, lima menit sekali, tiga menit, dan: “Sekarang saatnya!”
Para dokter telah merubungiku.
“Pecahkan saja ketubannya!”
Inilah jihad seorang ibu. Seluruh semangat juang, energi, pikiran, dan perasaan disatukan demi sebuah kelahiran.
Ketika rasa sakit tak terperi semakin menyergap, mengoyak-ngoyak sekujur tubuh. Aku hanya bisa menyeru asma-Nya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” pekikku membatin. “Hamba sudah pasrah lilahita’ala. Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah….”
Sekonyong-konyong ruangan menjadi hening sesaat. Hingga kemudian serasa ada yang menyambar kepalaku: blaaar!
Ya, petir seakan menyambar dan menyeruak di atas kepalaku.
“Owaaa….. Owaaaa!”
Suara tangis bayi memekakkan telinga memecah keheningan.“Bayi laki-laki. Catat waktunya, Suster!”
“Baik, pukul delapan empat lima, hari Selasa 17 November 1981, dokter!”
“Lihat nih, Bu, anaknya laki-laki!”
Dokter Laila memperlihatkan makhluk kecil yang telah bersemayam selama 34 minggu itu ke dekat wajahku.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,” hanya di dalam hati.
Aku masih sempat melihat seraut wajah mungil dan sebuah tanda hitam di pelipis kirinya. Namun, sesaat kemudian aku tak sadarkan diri.
Tatkala aku kembali siuman, ada rombongan dokter sedang ronda. Ada Prof. Iskandar Wassid, dokter Laila, dokter Bambang beserta dokter kardiologi dan perinatologi.
Mereka menyatakan ikut berbahagia. Konon, aku adalah pasien pertama Thallasaemia yang bisa melahirkan secara normal dan memiliki bayi yang sehat, saat itu.
Kami sudah menyiapkan sebuah nama sejak tahu yang bakal lahir adalah bayi laki-laki. Muhammad Haekal Siregar, itulah namanya. Selama mengandungnya aku sedang gandrung kisah Nabi Muhammad Saw, ditulis oleh pengarang Mesir bernama Muhammad Haekal. Tak dapat aku lukiskan bagaimana bangga dan bahagianya hati ini. Tiada henti-hentinya aku mengucap rasa syukur kepada Ilahi Robbi.
Mak adalah orang pertama yang datang menjenguk dan mengazankan putraku. Perasaan seorang ibu tak bisa dipungkiri.
Subuh itu Mak berangkat dari Cimahi, langsung menuju rumah sakit. Saat diberi tahu bahwa aku sudah melahirkan bayi laki-laki, Mak mengaku hampir tak mempercayainya.
“Deueu… Teteh! Kepingin Mak kasih tahu semua orang waktu menuju ke sini itu. Mak sudah punya cucu laki-laki, dan kali ini dari kamu,” celoteh Mak dengan wajah sumringah.
Mak jualah yang
direpotkan untuk mengurus surat-surat kepindahanku dari ruang persalinan ke ruang Irna A. Kalau tak ada Mak, tak bisa dibayangkan entah bagaimana jadinya aku.
Mungkin dibiarkan kedinginan dan menggigil di koridor. Tanpa makanan dan selimut yang layak, tak ubahnya seorang gembel tanpa keluarga, tanpa sanak saudara.
Alasannya, terlalu banyak pasien yang akan melahirkan. Jadi pasien yang sudah selamat melahirkan segera dikeluarkan dari ruangan. Dibiarkan menunggu keluarganya untuk mencarikan kamar rawat.
Ah, Mak, selalu hadir saat anak-anakmu membutuhkan!
Lelaki Batak itu baru muncul setelah larut malam. Alasannya, banyak pekerjaan dan sibuk mengurus orangtua di rumah. Saat inilah satu kesadaran utuh muncul, kesadaran tentang posisiku. Baginya, aku mungkin hanya nomer kesekian.
Lelaki bergelar suami itu, kemudian menambahkan nama ayahnya dan marga di antara nama bayiku. Maka jadilah; Muhammad Karibun Haekal Siregar. Sebuah nama yang akan mewarnai setiap doaku di kemudian hari.
Sebagaimana nama adiknya dan nama kedua orang tuaku di sepanjang doa-doaku, sepanjang hayat masih dikandung badan.
Belakangan aku baru menyadari bahwa kelahiran sulungku pada bulan Muharam. Tahun Baru Islam, alhamdulillah.
@@@
Posting Komentar