Dokter Tifauzia Tyassuma
Aku tidak menyimpan dendam padanya.
Tidak ada keinginan untuk menyakitinya, tidak pula nafsu untuk menjatuhkannya.
Aku tidak ingin kekuasaannya. Aku tidak ingin tahtanya.
Tapi setiap kali aku mengingatnya,
jiwaku menjerit — bukan karena benci, tapi karena luka yang terlalu lama ditutup.
Aku mengingat Bambang Tri,
yang kini meringkuk dalam sel karena berkata jujur tentang sesuatu yang seharusnya menjadi milik publik.
Ia hanya bertanya — tapi pertanyaannya dibalas dengan penjara.
Aku mengingat KM 50,
para pemuda yang darahnya ditumpahkan di malam gelap,
bukan karena mereka membawa senjata,
tapi karena mereka membawa semangat yang ditakuti oleh kursi kekuasaan.
Aku mengingat Kanjuruhan,
di mana tangis ibu dan jerit anak-anak ditenggelamkan oleh gas air mata.
Dan di atas semua itu…
ada seorang penguasa yang hanya tertawa ketika ditanya wartawan, bagaimana dengan 135 korban,
masih terngiang kata-kata kejinya:
"Saya akan jawab di lain waktu, hehehe"
Aku mengingat Yahukimo, Wamena, dan Papua, kematian akibat kelaparan,
dan tubuh-tubuh yang jatuh,
dan tak pernah disebut dalam pidato istana.
Manusia disiksa, dibakar, ditinggal, seolah bukan bagian dari bangsa ini.
Aku mengingat ratusan petugas KPPS,
yang wafat dalam sunyi,
tanpa kejelasan,
tanpa penyelidikan yang adil,
tanpa satu pun tangisan dari wajah pemimpin tertinggi negeri ini.
Aku tidak dendam. Tapi aku tidak bisa diam.
Karena setiap luka itu…
ditinggalkan begitu saja oleh seorang penguasa yang tak pernah terlihat berkabung.
Tak pernah menunduk dengan jujur.
Tak pernah menangis bersama rakyat.
Tak pernah meminta ampun atas tragedi yang terjadi di bawah namanya.
Dan kini… aku menyaksikan
tubuhnya mulai dihancurkan oleh kekuatan yang tidak bisa ditolak siapapun: Alloh.
Bukan oleh pengadilan.
Bukan oleh media.
Bukan oleh rakyat.
Tapi oleh Tangan Langit itu sendiri.
Perlahan…
kulitnya hancur.
matanya kosong.
langkahnya melemah.
suaranya kehilangan ruh.
Dan wajahnya,
wajah yang pernah dielu-elukan,
kini menjadi wajah yang jadi peringatan siapapun yang berani jahat kepada rakyat.
Aku tak pernah berdoa agar ia hancur.
Tapi aku tahu,
Alloh telah menjawab tangisan umat ini dengan cara paling menakutkan:
menghancurkannya sedikit demi sedikit, di hadapan jutaan pasang mata.
Ia tidak digantung di tiang kota. Atau diarak di jalanan, seperti nasib penguasa zalim di masanya.
Tapi ia diarak secara ruhani, oleh penyakit, oleh kehancuran tubuh, oleh sejarah.
Aku tidak benci padanya.
Tapi aku mencintai kebenaran.
Dan cinta itu membuatku tak bisa pura-pura buta.
Aku tidak ingin membalas.
Tapi aku ingin bangsaku melihat, belajar, dan bangkit.
Agar kita tak pernah lagi tertipu oleh wajah lugu…
yang diam-diam bisa menjadi biang kehancuran.
Agar kita tak lagi diam
saat pemimpin kehilangan rasa takut pada Alloh.
Posting Komentar