Sakit Tapi Sehat: Rita Audriyanti



Rita Audriyanti

Luar biasa sastrawan senior Indonesia yang satu  ini, Teteh Pipiet Senja Dưa.  Betapa tidak, deraan 7 jenis penyakit komorbid serius yang menghantam tubuhnya yang semakin menua, tak menggoyahkan semangat dan jiwa pejuangnya. Luar biasa.

Aku menyempatkan menjenguk beliau ke rumah sakit di siang yang terang dan terik. Tiba di ruang perawatan, nampak nenek kesayangan para cucu beliau yang tak kalah cerdas dan gercep, sedang duduk santai di atas pembaringan. Wajahnya masih terlihat pasi. Aku disambutnya dengan ulasan senyum manis. Aku bahagia melihatnya sebab ada pertanda bahwa saatnya boleh pulang meskipun dua buah tabung infus masih tergantung di sisinya. 

Kami mulai bicara ke sana ke mari, ngalor ngidul. Hebatnya bukan perihal gosip apalagi cerita-cerita panas belakangan ini. Justru aku belakangan tersadar bahwa aku lupa sedang berhadapan dengan siapa. Ya, Teteh Pipiet masih belum pulih, kok aku asyik memborbardir dengan aneka cerita pengalaman literasi beliau. Aku semakin “mabuk dan lupa diri” menggali ilmu kepenulisan, dari biografi, novel, cerpen, cerita anak sampai teknik-teknik mengumpulkan data dan informasi. 

Salah Teteh juga, sih…., gak menampakkan kelelahan, apalagi mengeluh lalu  terus minta aku berhenti ngobrol. Tidak sama sekali. Aiihhh, aku yang tak tau diri. Maafkan ya, Teh.

Lalu datang perawat yang mengabarkan bahwa Teteh sudah boleh pulang. Tiang dan botol-botol infus pun dibawa ke luar. 

“Bu, ini makan siangnya ya,” ucap perawat sambil meletakkan makan siang di atas meja pasien.

Eh, Teteh bukannya makan malah melanjutkan lagi ceritanya. 

“Tanggal 7 Mei ikut yuk ke Padang.”

Aku ternganga.

“Ga salah Teh? Emang kuat?”

“Insya Allah. Udah janji sih,” jawab beliau seperti sikap bukan orang sakit.

“Atuh da kumaha? Emang sudah biasa begini. Bissmillah aja.” Mata beliau berbinar.

“Emang Teteh ga takut sakit di jalan?”

“Ah, dulu juga begini. Aman. Palingan yang penting dekat WC biar ga tekewer-kewer kayak dulu di jalan Sitinjau Laut waktu macet.  Saya dan emak-emak saling menutup diri dengan kain agar bisa buang air kecil… Legaaa…” Tawa Teteh pecah saat mengenang peristiwa lucu yang berkesan. Aku takjub dengan kegigihan dan semangat beliau yang tidak pernah menyerah. Penyakit baginya bukan penghalang tapi sudah menjadi kawan dalam perjalanan hidup.

Kekagumanku bertambah-tambah saat ngobrol soal menulis dan uang. Ternyata sastrawan yang belum lama ini mendapat penghargaan sebagai salah seorang penulis yang telah mengabdikan diri lima puluh tahun, beliau juga seorang writerpreneur. Karya-karyanya bisa laku karena beliau juga terampil “menghargai” karya sendiri. 

“Lah, saya mah hidup dari menulis, ya harus pandai-pandai menghasilkan uang dari menulis.”

Duh, bagian ini yang ingin kupelajari lagi lebih dalam dari beliau. Tapi, pesan singkat dari anakku yang sudah berada di lobi, mengakhiri pertemuanku dengan Teh Pipiet Senja.

“Maafkan ya Teh, keasyikan aku ajak ngobrol. Selamat kembali ke rumah. Sehat terus.”

Aku menyalami beliau lalu kami berpelukan. Pamit.

Luar biasa. Aku tetap melihat seorang Pipiet Senja penyandang Thalassemia sepanjang hayat sebagai orang sakit tapi sehat.  Sakit tubuhnya namun sehat jiwanya. Masya Allah.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama