Opera Pasir: Sebuah Lelucon Berdarah dari Tanah Gaza


Kol Purn dr Farhaan Abd SpTHT - KL

I.

Selamat datang di teater dunia,

di mana jasad hanya transisi tayangan,

dan anak-anak adalah estetika dalam poster amal.

Para tuan berdasi menyesap anggur tua

seraya menggumam:

“Ini bukan genosida—hanya strategi kawasan.”

Tangan mereka menyeka saus dari piring porselen,

merahnya nyaris menyerupai darah.

Tapi jangan khawatir,

itu bukan darah yang mereka kenal.


II.

Gaza, kau bukan kota,

kau adalah kata kerja yang aktif:

dibom, dibakar, dibungkam

tanpa jeda, tanpa titik.

Kau tidak pernah dimaksudkan untuk hidup,

hanya untuk menjadi infografik duka

dalam presentasi tengah malam.

Langitmu telah diubah menjadi layar tak bernyawa

bagi lintasan besi bersayap.

Dan tanahmu?

Hanya medan uji coba,

bagi ego yang ingin terbang lebih tinggi dari awan.


III.

Para prajurit masuk panggung seperti figuran dalam opera baja:

berseragam rapi, bersenjata algoritma.

Suara mereka berat,

tak seberat puing yang menimpa atap sekolah.

Mereka bilang:

“Ini tugas sucimembasuh tanah dari kesalahan lahir.”

Mereka tidak berdarah.

Mereka menghitung.

Dua klik untuk menembak, satu untuk melupakan.

Di akhir laporan,

yang disamakan dengan target

adalah bayi,

terlalu kecil untuk berkata ‘tidak’,

terlalu muda untuk memilih sisi.


IV.

Di tempat lain,

damai dilipat-lipat seperti napkin meja makan malam.

Para diplomat berdebat tentang geometri meja,

sementara tubuh Gaza

telah kehilangan bentuk dan isi.

Mereka berkata:

“Semua pihak harus diuntungkan.”

Namun suara yang terkubur batu

tak pernah sampai ke ruang rapat.


V.

Kamus dunia mempercantik luka:

genosida jadi “operasi terbatas,”

pengeboman jadi “langkah defensif,”

dan kehancuran jadi “efek samping.”

Penyair dipanggil,

bukan untuk bersaksi,

tapi untuk menulis puisi yang netral,

agar tak mengganggu algoritma

yang menyukai estetika duka.


VI.

Nama-nama agung diseret masuk ke medan,

diukir di sisi rudal,

disematkan dalam semboyan kemenangan,

dipublikasikan sebagai legitimasi abadi.

Entah di mana makna sebenarnya bersembunyi

di reruntuhan tempat ibadah,

atau dalam diam yang terlalu sakral untuk ditebak.

Mungkin yang sakral sedang menutup telinga,

atau menunduk malu

di hadapan naskah yang terlalu sering diulang.


VII.

Beginilah tragedi menjadi konsumsi:

cukup dicuit,

cukup dibagikan,

lalu lanjut ke sereal dan kopi pagi.

Beginilah tubuh menjadi data:

satu anak, dua wanita, tiga keluarga—

masuk ke grafik pastel

yang nyaman dipresentasikan di forum.

Ketika dunia bertanya,

“Mengapa mereka tidak melawan?”

Kami jawab:

“Mereka melawan dengan terus bernapas.

Dan itu pun telah dianggap pelanggaran.”


VIII.

Maka lakon pun berlanjut:

karena panggung belum dipel,

sutradara belum kehabisan dialog,

aktor masih segar

dan sponsor belum mendapat pengembalian modal.

Gaza akan terus menyala,

bukan karena ia ingin,

tapi karena naskah tak pernah selesai ditulis.

Dan dunia?

Akan tetap memberi tepuk tangan

asal jangan terlalu nyaring,

nanti mengganggu selera makan malam.

Karena di zaman ini,

yang membunuh diberi pangkat,

yang terbunuh diberi puisi.


Padang, Jumat 30 Mei 2025 

Kol Purn dr Farhaan Abd SpTHT - KL

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama