Pipiet Senja
Tiap kali dizalimi, Allah Swt senantiasa melimpahiku dengan kado-Nya yang tak tepermanai.
Kali ini, Sang Maha Pengasih memperjalankanku ke Tanah Suci.
Anno, 2006
Di bawah suhu 11 derajat Celsius, kendaraan yang membawa kami dari Jeddah melintasi perbatasan demi perbatasan, check point yang terasa selalu alot dan molor. Para jamaah, termasuk diriku, banyak yang tak pernah mengira akan sedemikian dinginnya suhu yang menyambut kami di luar kota Madinah.
Meskipun aku telah diberi tahu Mbak Susi, sahabat liqo yang mewanti-wanti, supaya aku tidak lupa mengenakan baju tebal jelang kota Nabiyullah. Tetap saja aku pun merasa tersentak-sentak, begitu merasai hawa dingin yang luar biasa itu.
Di salah satu tempat check point, lupa namanya, mobil berhenti agar penumpang bisa mengambil air wudhu dan buang air kecil.
Mobil tidak ada klosetnya, seorang ibu sepuh tak tahan lagi dengan kebutuhan mendesak….werrr, weerrr, keceweeer!
“Aduuh, ngompol we kumaha yeuh?” sayup kudengar keluh-kesahnya, kemudian bergegas-gegas turun, begitu kendaraan berhenti di pinggir jalan.
Aku dan tiga orang jamaah dari Bogor: Mami Uun, Neng Titi, dan ibunya, memutuskan untuk mencari kloset. Aku pun mulai tersiksa dengan desakan kandung kemih.
Namun, selain hawa dingin yang sangat menggigit, tiba-tiba angin berpusing-pusing. Kurasai seketika tubuhku bagaikan hendak mengapung ke awang-awang, kuseru asma-Nya berkali-kali, tak terhitung lagi…. Allahu Akbaaaar!
“Sudah, ah, Neng…. Mami mah gak jadi aja!” seru Mami Uun yang sejak awal sudah melesat di depan hidungku.
Kulihat Mami Uun (mengaku usia 75, tapi selalu superenergik!) berbelok arah kembali ke tempat mobil di parkir, sekitar dua ratus meteran. Aku pun mengikuti jejaknya.
Wuaduuuh, rasanya konyol amat, sudah nyaris celaka diterbangkan angin. Semakin tersiksa pula dengan desakan di kandung kemih!
“Gustiii, nuhuuun, ya Alloooh…. Segini juga kita masih selamat, gak kebawa angin, alhamdulillah,” berkata Neng Titin, juga jamaah dari Bogor. Benar sekali, aku pun segera beristighfar, karena sempat mengeluh atas cobaan-Nya.
Detik inilah kuingat wejangan Ustad Dody Elza, tentang menghipnotis diri dari masalah yang muncul. Pusatkan pikiran, jangan fokus kepada masalahnya melainkan kepada solusinya!
“Benar gak sih, apa aku salah mengaplikasinya, ya? Mmm, bagaimana ini, sudah kubuang jauh-jauh dari benakku hasrat keceweeer, keceweeer bleeeh?” gumam batinku beberapa saat jadi sibuk sendiri.
Bibirku kemudian terpusat untuk dzikrullah, otakku dan hatiku pun serentak mengikuti gerak bibirku. Hmmm, nyeeep…aku tertidur, Saudara!
Aku terbangun mendengar suara Ustad Satori.
“Karena kita sudah memasuki kota Nabiyullah, marilah, saudara-saudara yang dimuliakan Allah SWT. Kita sama-sama membaca doa memasuki Madinah….”
“Allahumma hadza harama rasulika faj’alhu wiqayatam minan-nari wa amanatan minal azabi wa su’il hisab.”
Ya Allah, negeri ini adalah tanah haram Rasul-Mu Muhammad SAW, maka jadikanlah penjaga bagiku dari neraka, aman dari siksa dan buruknya hisab, perhitungan pada hari kemudian.
Kemudian komandan pasukan muthowif Cordova itu memberi tahu kami bahwa bis akan berhenti di sebuah masjid. Kami bisa buang air kecil dan mengambil wudhu, bahkan sholat subuh.
Sejak itu perjalanan terbilang lancar, hingga sekitar pukul sepuluh tibalah kami di pintu gerbang kota Madinah.
Semua ingin segera memasuki Masjid Nabawi, tak terkecuali diriku yang merasai deburan kencang dalam dada, puncak rinduku kepada Rasulullah SAW. Ziarah Rasul, Raudhah, seakan-akan hendak meledak tak tertahankan lagi!
Rombonganku ditempatkan di Hotel Al-Harithiya, biasa juga disebut Hotel Sheraton. Hotel bintang lima, kurasa, jika melihat fasilitas yang tersedia. Sejak sering mengikuti manasikan ala Cordova, aku jadi lebih tahu tentang hotel-hotel berbintang.
Maklum, biro perjalanan umrah dan haji yang baru didirikan dua tahun, manasiknya selalu di hotel-hotel berbintang, hanya sekali di Asrama Haji sebagai pengenalan lapangan.
Kami menikmati makan siang. Kuperhatikan, hampir semuanya bermata mengantuk dan bertampang letih.
Perjalanan sungguh panjang. Jika dihitung, lebih dari 24 jam telah kami lewati nyaris tanpa rehat yang berarti. Namun, ajaibnya, setelah makan, semua jamaah sepakat untuk segera menuju Masjid Nabawi. Subhanallah!
Dan… lagi!
Sensasi itu muncul dalam dada, begitu tampak kembali bangunan masjid yang terindah yang pernah kulihat. Dadaku begemuruh oleh rindu yang bukan alang-kepalang, rinduku kepada-Mu, ya Rasulullah.
Di sana, nun di dalam masjid yang indah itulah junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah-Nya bersemayam bersama sahabat; Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khatthab.
“Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah, ya Allah masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan berikanlah padaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong.
Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Muhammad dan keluarganya. Ampunilah dosaku, bukakanlah pintu rahmat-Mu bagiku dan masukkanlah aku ke dalamnya, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.”
Tumpah ruah sudah air mataku, rasanya bagai mimpi saat menyadari diriku, tanganku, jari-jemariku dapat menyentuh kembali tiang di dalam Masjid Nabawi. Kudirikan sholat tahiyatul masjid dua rakaat, dilanjutkan dengan sholat taubat, berdzikir sambil menanti zuhur tiba.
Waktu serasa bergerak cepat, jika tidak diingatkan jamaah dan perut melilit, niscaya tak ingin bergeming lagi dari tempatku bersimpuh; menikmati aura ajaib yang terserap dari sekitar masjid Nabiyullah.
Aura yang sangat nikmat tak terperi, tak mampu kujabarkan dengan lautan kata.
Kenikmatan yang mampu menggugurkan seluruh rasa sakit, hati, jiwa dan raga, menambah kekuatan takwa dan kenikmatan kita.
Setelah makan siang yang terlambat, kurehatkan tubuh yang memang punya hak untuk itu, tapi acapkali kuingkari.
Menjelang maghrib, kami bertiga, teman sekamarku Anita dan Erna, secara serentak terbangun. Serentak pula bergerak dengan ghirah yang sama. Kami tak ingin melewatkan satu sholat pun, agar beroleh arbain, yakni sholat 40 kali tanpa putus di Masjid Nabawi.
“Nanti kita bangun jam berapa, Teteh?” bertanya Anita sebelum menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.
“Sekitar pukul tiga, biasanya akan ditelepon oleh muthowif Cordova. Kita akan mendirikan qiyamul lail bersama di hotel….”
“Ah, ngapain jauh-jauh ribuan mil kita tempuh…. Ndilalah tahajudnya di hotel?”
“Iya juga ya… Aku minta izin Kepala Suku. Kepingin itikaf dan tahajud di Masjid Nabawi saja,” demikian aku memutuskan.
Alhasil, sebagian ada yang berqiyamul lail bersama di hotel, sebagian lagi bersikeras menuju Masjid Nabawi, menghabiskan sepertiga malam hingga subuh dalam dzikrullah, tilawah, dan itikaf.
Raudhah baru bisa dilakukan keesokan harinya. Karena terlambat beberapa menit saja, pintu Raudhah sudah tertutup, maka kami menanti dari pukul 08.30 sampai bada zuhur.
Sesungguhnya jika dibandingkan dengan saat umrah yang lalu, tatacara memasuki kawasan Raudhah sudah jauh lebih bagus, lebih ditertibkan. Para asykar yang terdiri dari perempuan itu, memegang kendali jamaah.
Jamaah Indonesia dikelompokkan dengan jamaah Malaysia, Brunei, Filipina, suku Pattani, dan entah apa lagi, yang disebut sebagai barisan Bahasa Melayu.
“Asykarnya orang Indonesia, ya Teteh?” bisik Ennike. “Tadi aku sempat ngobrol, dia dari Sumatera Barat.”
“Patutlah mahir bahasa kita,“ komentarku.
Entah mengapa bibirku bergerak lucu setiap kali melihat karton bertuliskan “Bahasa Melayu”. Karton itu dipancangkan di ujung galah, tampak bagai bendera atau panji sebuah pasukan yang hendak maju jurit.
Acapkali sang asykar memancangkan di tangan kanannya, seraya mulutnya tak henti-hentinya menghimbau kami agar mengikuti tata-tertib. Adakalanya pula dia memberikan ceramah tentang keutamaan ziarah Rasul.
Kucermati dari kejauhan asykar wanita itu, kutaksir masih muda, tubuhnya sedang-sedang saja, dibalut oleh busana serba hitam termasuk cadarnya. Hanya kelihatan lubang matanya saja, cileuk-cileuk alias kerlip-kerlip indah.
Ah, benarkah dia wanita bangsaku? Kalau benar, hebat juga dia, demikian aku berpikir. Bagaimana tidak, ini muktamar spiritual internasional, diikuti oleh ratusan bangsa dunia. Dan sosok imut-imut itu, suaranya menggelegar pula!
“Indonesiaaa… berdiriii!”
“Indonesiaaa….duduuuk!”
“Berdiriii….duduuuuk, berdiri-duduk, berdi…dud, dud…berdi…dud-dud….”
“Subhanallah! Kita memang bisa tertib, disuruh duduk ya duduk. Disuruh berdiri ya berdiri…”
“Hmm, tapi lihat tuh… Eh, nyelonong aja?!”
Belum sempat kulihat siapa yang berkomentar, sudah tampak ratusan jamaah yang berasal dari Afrika, berbadan tinggi besar, secara serentak bergerak melintasi barisan di depannya, jamaah Iran. Mereka menembus dari kiri-kanan, segala sudut, sehingga barisan yang terkenal revolusioner itu bertemperasan pula dibuatnya.
Dalam hiruk-pikuk, tiba-tiba seorang jamaah Cordova dari Jakarta pingsan. Punya penyakit maag, demikian pengakuannya, jadwal makannya jadi kacau.
Kami segera sibuk memberi bantuan, menyadarkannya. Ada yang memijiti, menggosok tangannya, perutnya dengan minyak telon dan kayu putih.
Ada pula yang memberinya biskuit, kurma, dan air zamzam.
Sudah lewat pukul dua, belum juga kami berhasil menembus pintu Raudhah.
Jangankan melintasinya, barisan Bahasa Melayu ini belum juga diperbolehkan mendekati kawasan Raudhah. Jamaah yang baru pertama kali ke sana, tampak semakin penasaran, ingin segera mengetahui seperti apa makam Rasulullah.
Ada pula yang menyesalkan, mengapa salah memilih waktu, kurang informasi, sehingga harus menanti berjam-jam, tanpa kehadiran dokter pula dan sebagainya.
Kegelisahan mulai melanda dan berpusing-pusing di atas kepala kami bagaikan virus menyesatkan.
Kukatupkan mata dan mulut, khawatir terpancing dan ikut berkomentar aneh.
Maka, beruntunglah kami memiliki seorang saudari yang istiqomah, dinda Ennike mengajak semuanya untuk bertasbih; “Subhanallahi wabihamdihi wala illaha ilalahu Allahu Akbaaar….”
Semua mematuhinya, kukira, semua berdzikir sepenuh hati, sekhusuk yang kami mampu.
Menjelang Ashar, tiba-tiba suara asykar terdengar lantang sekali.
“Indonesiaaa….masuuuk! Sepuluh-sepuluh, ya ibu-ibu… Sepuluh-sepuluh supaya ibu-ibu bisa sholat dengan tumaninah di Raudhah!”
Bereyeeek, bruuul!
Barisan Bahasa Melayu bergerak secara serentak, langkah-langkah terdengar berderap. Meski telah menanti berjam-jam, akan tetapi tetap semangat, sarat dengan ghirah. Ketika semua terpusat ke pintu Raudhah, sekonyong-konyong…bruuuk, gedebuuuk!
Pasukan African-look, entah bagaimana bisa, sebab sebelumnya mereka telah dipersilakan lebih dulu masuk. Agaknya sebagian dari pasukan bongsor itu ada yang belum puas, jadi setelah dibubarkan asykar untuk keluar, mereka kembali ingin memasuki Raudhah.
Beberapa menit suasananya menjadi crowded (istilah ini sangat sering kudengar selama berhaji!) sebab tanpa tata-krama, tanpa babibu lagi, mereka menerobos di antara kami.
Kentara sekali tak peduli dengan orang lain, main sikut, main desak, main tonjok, main bejek. Seakan-akan hanya merekalah yang paling berhak berada di kawasan Raudhah itu… na’udzubillahi min dzalik!
Tak ada artinya lagi menanti berjam-jam, mematuhi segala aturan, mengikuti tata-tertib demi kenyamanan, demi keamanan. Sebab buktinya sudah jelas, semuanya menjadi bubar bertemperasan dilanda tubuh-tubuh raksasa!
“Allahu Akbaaar! Ya Rasulullah, ya Habibillaaah! Inilah umat-Mu, ya Junjunganku, Kekasihku? Inilah umat-Mu, duuuh, hiksss….”
Kesahku tanpa sadar. Tubuhku sempat terangkat, terjepit di antara tiga badan raksasa, kakiku mengambang di udara, dadaku sesak sekali!
Air mataku berlinangan, merasa kesal, dan kecewa sekali dengan perilaku saudara-saudariku seiman itu. Mengapa, duh, mengapa mereka harus demikian kasar, demikian tak peduli, demikian liar dan garang?
Ya Allah, ampunillah hamba-Mu yang berkeluh-kesah begini. Ampunilah saudara-saudariku yang tak tahu apa-apa itu. Barangkali mereka memang tidak dibekali pengetahuan tentang keutamaan Raudhah.
Bahwa bukan berhasil tidaknya kita mencapai Raudhah, melainkan prosesnya agar tidak menyakiti sesama saudara seiman.
“Sini, Teteh, kita sholat sebelah sini… Pegang tanganku kuat-kuat, ya!” entah siapa yang menyelamatkan diriku dari situasi darurat, superduper kacau-balau itu.
Yang jelas, setelah diombang-ambing lautan manusia perempuan, akhirnya berhasil juga diriku menggapai kawasan Raudhah. Di sini kebanyakan jamaah, kukira, lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain.
Aku pun bergegas mendirikan sholat taubat dua rakaat, setelah mengucap salam dan berdoa di depan pusara Rasulullah SAW.
Begitu sunyi kurasai saat itu, detik demi detiknya serasa sangat hening.
Serasa keseluruhan batin dan jiwaku mengapung untuk membaca kembali
syirah Nabiku, Muhammad SAW dengan para sahabat, dalam memancangkan panji-panji Islam pada zamannya.
Dan di sinilah, saat inilah diriku yang papa ini dapat berdiri di depan pusara junjunganku dan tiga sahabatnya.
Berkat Nabiku inilah diriku mengenal jalan lurus, jalan kebenaran, jalan Islam.
Oh, duhai Nabiku, duhai Rasulullah, duhai Habibullah!
Manakala sepotong teriakan lantang memerintahkan kami segera bergerak, memberi kesempatan kepada jamaah lainnya; kurasai nikmat itu seolah melesak dalam batinku, dalam jiwaku, dalam hatiku!
“Mari, beri kesempatan yang lain!” seseorang menghela lenganku.
Kami pun bergerak meninggalkan kawasan Raudhah. Kulihat puluhan jamaah lansia dan lumpuh sudah menanti.
Mereka mendapat pintu khusus, didorong dengan kursi roda oleh para asykar atau pengantarnya. Hatiku terharu melihat wajah-wajah penuh pengharapan itu. Mereka datang dari segala penjuru dunia, ya Rabb.
“Kita sholat ashar dulu, bagaimana?” pintaku kepada ibu-ibu.
“Iya, aku juga berpikir begitu, Teteh,” sahut Ennike.
“Bagaimana dengan dia yang sudah tak tahan lagi penyakit maagnya?”
“Aku sembuh, maagku sudah hilang!”
Setelah berjamaah kami pun kembali ke Al-Harithya dengan perasaan mengharu-biru. Kami disambut hangat dan tatapan kagum para bapak. Mereka terheran-heran menanti dengan rasa cemas dan penasaran.
“Mengapa begitu lama di dalam sana?” seorang bapak menyelidik kepada istrinya.
“Ya, namanya juga kepingin mendapat keutamaan ziarah Rasul, Mas,” jawab sang istri.
“Hebat ibu-ibu kita ini, ya….” Komentar seorang muthowif.
Kami tersenyum-senyum bahagia, segera menyerbu sisa makanan yang memang selalu berlimpah di restoran.
Pengajian petang masih kami ikuti, walaupun tampak sebagian ada yang terkantuk-kantuk dan kelelahan.
Kupikir, pengajiannya lebih baik dialihkan waktunya mungkin bada makan malam.
Bersambung
Posting Komentar